Penyelidikan dugaan korupsi proyek agribisnis peternakan senilai Rp, 37,4 miliyar di Dinas Pertanian dan ketahanan pangan (DPKP) Kabupaten Buol Sulawesi Tengah terus didalami unit I Subdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Sulteng.
Sejumlah pihak yang dianggap berkaitan telah dipanggil untuk dimintai keterangan.
Diantaranya kepala bidang peternakan Sumiati, PPTK Syarif Badalu dan ketua Tim konsultan perencanaan dan pengawas Prof Marhawati.
Sementara mantan Bupati Buol dua periode dr.H.Amiruddin Rauf, S.Pog mengaku belum.pernah dipanggil penyidik Polda Sulteng untuk dimintai keterangan.
Siapakah yang bakal masuk kandang (penjara) atas dugaan korupsi proyek agribisnis peternakan Buol itu?
Semoga penyidik tipikor Polda Sulteng benar-benar serius mengusut tuntas dugaan korupsi Rp, 37,4 miliyar proyek agribisnis peternakan Buol itu, yang meliputi pembangunan mini ranch, pembersihan lahan, pengembalaan, penanaman rumput gajah untuk pakan ternak, pembuatan sumur sumber air, pembuatan pos jaga,pemagaran keliling, pengadaan ratusan ekor sapi dan lain sebagainya.
Sehingga tidak bernasib seperti kasus dugaan korupsi proyek pasar raya kabupaten Buol yang ditangani asisten pidana khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi yang berakhir dengan penghentian penyelidikan dengan alasan bukti tidak cukup.
Aparat penegak hukum mestinya berkaca pada kasus sejumlah hakim agung ditangkap komisi pemberantasan korupsi (KPK) atas dugaan komersialisasi hukum dan keadilan.
Artinya ada dugaan jual beli hukum dan keadilan oleh oknum hakim agung dalam berbagai perkara hukum.
Meringankan hukuman bagi seorang pelanggar hukum mungkin wajar dengan berbagai pertimbangan.
Tapi membebaskan atau mengurangi hukuman seorang terpidana karena membayar itu adalah pengkhiatan terhadap nilai keadilan dan hukum itu sendiri.
Maka wajarlah jika KPK menangkap sejumlah hakim agung dan menyeretnya ke penjara atas pengkhianatannya terhadap keadilan itu.
Mahkama Agung adalah jalan terakhir bagi pencari keadilan. Namun sayangnya sejumlah oknum hakim mengkomersialkan hukum dan keadilan itu.
Kepolisi dan Kejaksaan adalah pintu pertama bagi penegakan hukum. Olehnya penyidik Polri dan Kejaksaan harus memiliki integritas, jujur dan hidup apa adanya, tidak hedonis, seperti pernah disinggung Kapolri Jendral Pol.Listyo Sigit Prabowo.
Sehingga tidak tergoda ketika ditawari sesuatu yang dapat mempengaruhi kinerjanya dalam penyelidikan suatu kasus tindak pidana, baik korupsi maupun pidana umum.
Diharapkan penyelidikan dugaan korupsi proyek agribisnis peternakan di Buol itu membuahkan hasil. Paling tidak ada yang ditetapkan sebagai tersangka dan dikandangkan (Di penjara).
Kalaupun kemudian penyidik tidak mampu menemukan dua alat bukti yang cukup, sehingga berakhir dengan penghentian penyelidikan dugaan korupsi proyek agribisni peternakan itu, maka pihak penyidik melalui bidang hubungan masyarakat (Humas) Polda Sulteng mempublikasikannya melalu berbagai saluran media massa.
Jangan seperti Kejaksaan Tinggi Sulteng diam-diam dalam penghentian penyelidikan dugaan korupsi proyek pasar raya Buol.
Penghentian perkara di Kejati sudah cukup banyak dan tanpa dipublikasikan apa penyebabnya. Diantaranya kasus dugaan korupsi proyek pembukaan jalan Kalamanta – Sadautah di Kabupaten Sigi.
Kemudian proyek pembangunan kardu Listrik di Morowali dengan anggaran puluhan miliyar. Dan terakhir penghentian penyelidikan dugaan korupsi proyek pasar raya di Buol.
Semoga aparat hukum kita selalu transparan dalam berbagai penanganan kasus dugaan pelanggaran hukum. Dan yang lebih penting tidak mengkomersialkan hukum, sehingga dugaan pelanggaran hukum benar-benar diseliduki dengan cermat.
“Jangan jadikan laporan masyarakat terkait dugaan korupsi untuk mendapatkan keuntungan pribadi”.
Kata kawan saya terkadang laporan masyarakat itu dijadikan beras bukan berkas. Diharapkan penyelidikan dugaan korupsi proyek agribisnis peternakan di DPKP Buol itu tuntas dan transparan.
“Mari kita awasi dan kawal proses penyelidikan dugaan korupsi yang terjadi di negeri ini. Agar keuangan negara tidak bocor kemana-mana, sehingga kita rakyat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan seperti janji-janji politik para pemimpin kita.” ***