Jakarta (koranpedoman)-Intervensi Bank Indonesia berhasil membuat rupiah menguat tajam. Pada penutupan perdagangan hari ini, 17 Desember 2014, kurs rupiah naik 0,45 persen ke level 12.667 per dolar Amerika Serikat.
Rupiah menguat signifikan jika dibandingkan dengan mayoritas mata uang Asia yang cenderung melemah. Won melemah 0,77 persen menjadi 1.094,8 per dolar AS, yuan melemah 0,11 persen ke 6,19 per dolar, dan yen merosot 0,6 persen ke 117,11 per dolar. (Baca: Cinta Rupiah, BI Minta Pengusaha Tolak Dolar)
Analis PT Platon Niaga Berjangka, Lukman Leong, mengatakan rupiah menguat akibat intervensi Bank Indonesia. “Upaya bank sentral membeli surat utang negara senilai Rp 1,7 triliun menggiring rupiah ke level 12.677 per dolar,” kata Lukman kepada Tempo. (Baca: BI Turun Tangan, Rupiah Mulai Jinak)
Pergerakan rupiah mengalami anomali luar biasa sejak awal pekan. Rupiah berpindah level sangat cepat dan dalam waktu yang singkat. Satu waktu ada di level 12.900 per dolar, kemudian pindah ke 12.700 per dolar, kemudian bergeser lagi ke 12.600 per dolar. (Baca: Jokowi-JK Janjikan Insentif Jaga Rupiah)
Lukman mengatakan volatilitas rupiah yang sangat tinggi membuat investor resah. Namun investor sadar bahwa jika BI terus melakukan intervensi, cadangan devisa terkuras tanpa hasil. Dia mencontohkan tindakan bank sentral Rusia yang menghabiskan dana US$ 200 miliar untuk membeli rubel dalam waktu dua bulan. Upaya itu tidak mampu menyelamatkan ekonomi Rusia. Ujung-ujungnya, bank sentral mengambil langkah moneter dengan menaikkan suku bunga hingga 650 basis point.
Begitu pula negara-negara berkembang yang memiliki karakteristik yang sama dengan Indonesia. Brasil, Venezuela, Thailand, dan Filipina mengalami defisit dan bank sentral masing-masing aktif di pasar uang. Tapi, kenyataannya, nilai tukar mata uang mereka terus tertekan oleh dolar. “Akhirnya mereka stop intervensi dan membiarkan sesuai harga pasar,” kata Lukman.
Karena itu, kata Lukman, stabilitas rupiah sangat bergantung pada fundamental ekonomi. Pemerintah harus mengurangi defisit neraca berjalan dan meredam inflasi. Otoritas moneter juga perlu memainkan instrumen suku bunga untuk meredam gejolak inflasi sekaligus menekan capital outflow. (sumber Tempo.co).***