Oleh KH A Hasyim Muzadi
Di kalangan umat Islam di seluruh dunia ada tiga hal yang tidak boleh disinggung atau direndahkan, yakni Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Kitab suci Al-Quran. Apabila salah satu, apalagi ketiganya disinggung dan direndahkan, maka dipastikan akan ada reaksi spontan dari umat Islam tanpa disuruh siapapun.
Reaksi spontan itu akan segera meluas tanpa bisa dibatasi oleh semacam sekat-sekat organisasi, partai, dan birokrasi. Kekuatan energi tersebut akan bergerak cepat dengan sendirinya tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Fenomena demo yang terjadi pada 4 November 2016 tentu secara lahiriah dipimpin oleh beberapa tokoh yang merasa terpanggil untuk membela kesucian kitabnya. Namun jumlah massa yang hadir membuktikan adanya kekuatan (energi spritiual) yang dahsyat dari pengaruh Al-Quran tersebut.
Para pemimpin yang melakukan demo atau mengumpulkan massa tanpa dorongan spiritualisme tidak mungkin dapat menggerakan umat yang berjumlah jutaan. Mereka berjalan dengan damai, tertib, dan siap untuk berkorban.
Karena itu, sesungguhnya tidak perlu dicari dalangnya, provokator, atau siapa yang membayar, karena provokator dan bayaran setingkat apapun tidak akan mampu menggalang kekuatan sedahsyat itu. Yang ada, mereka adalah menempel gelombang besar untuk kepentingannya, dan bukan kemampuan menciptakan gelombang itu sendiri.
Kedahsyatan energi Al-Quran tersebut hanya bisa dimengerti, dirasakan, dan diperjuangkan oleh orang yang memang mengimani Al-Quran. Tentu sangat sulit untuk diterangkan kepada mereka yang tidak percaya kepada Al-Quran, berpikiran atheis, sekuler, dan liberal.
Kenapa? Karena mereka jangan lagi memahami energi Al-Quran , menerima Al-Quran pun belum tentu bisa, sehingga perdebatan antara keimanan kepada Al-Quran dan ketidak percayaan kepada kitab suci tersebut hanya akan melahirkan advokasi bertele-tele dan berbagai macam rekayasa serta akan banyak menyita waktu.
Al-Quran adalah kitab suci, sekaligus kitab pembeda (Al-Furqon) yang membedakan antara yang hak dan yang bathil. Maka, tak heran kalau kemudian kelihatan di kalangan umat sendiri mana yang bertindak sebagai pejuang, sebagai pengikut perjuangan yang ikhlas tanpa pamrih, yang mengambil posisi memanfaatkan keadaan (kepentingan duniawi sesaat), dan mana yang menyelewengkan Al-Quran.
Di sisi lain, di kalangan non Muslim sendiri sangat sedikit yang membuat konflik lintas agama dengan kaum Muslimin. Mayoritas mutlak non Muslim tetap bersatu bersama kaum Muslimin dalam penegakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di era demokratisasi politik di Tanah Air, gerakan pembelaan umat Islam terhadap Al-Quran tidak akan lolos dari upaya pihak-pihak tertentu dalam melakukan politisasi yang tujuannya membelokkan dan mengaburkan tujuan suci tersebut.
Politisasi sebenarnya tidak hanya terjadi pada malam hari tanggal 4 November 2016, tetapi sesungguhnya telah dimulai semenjak rakyat merasakan penggunaan kekuasaan untuk mendukung atau tidak mendukung salah satu pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu.
Seorang gubernur petahana yang akan mencalonkan kembali sebagai gubernur diharuskan oleh undang-undang untuk menjalani cuti. Artinya tidak boleh ada penggunaan kekuasaan di dalam proses demokratisasi pemilihan. Apabila terjadi, maka akan termasuk “abuse of power” (Penyalahgunaan kekuasaan).
Adapun perdebatan tentang siapa dalang, atau provokator, atau penunggangan politik, sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi sebagai isu yang harus diangkat atau dikedepankan, demi kesatuan dan persatuan di dalam wadah NKRI.
Lebih bermanfaat kalau kita fokus kepada kewajiban negara dalam melindungi hak yang adil bagi kaum Muslimin di Indonesia sehubungan dengan adanya penistaan Al-Quran tersebut yang harus diproses menurut hukum negara (Undang-undang No 1. Tahun 1965).
Hal semacam ini sebenarnya pernah terjadi di Indonesia pada masa lalu, yakni pada kasus Arswendo Atmowiloto, Lia Eden, dan Musadek. Namun bedanya kasus mereka tidak sebesar masalah penistaan kitab suci umat Islam yang dilakukan Ahok.
Khusus bagi kaum Muslimin Indonesia agar terus memperbaiki kualitas perjuangannya. Hendaknya janganlah masalah kemurnian perjuangan pembelaan Al-Quran ini dicampur aduk dengan isu khilafah, pendirian negara Islam, atau disebut-sebut memberi peluang terhadap ISIS, peluang terhadap teroris, dan perlawanan terhadap pesatuan dan kesatuan bangsa.
Karena apa? Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh kaum Muslimin, maka masalah itu akan menjadi alat pukul balik terhadap kaum Muslimin itu sendiri serta akan bisa mengakibatkan umat Islam di Tanah Air menjadi tercerai-berai.
Seluruh kaum Muslimin di Indonesia, apapun ormasnya, jangan sampai beranggapan bahwa sekat-sekat ormas itu dapat menghadang energi Al-Quran, karena kalau dipaksakan justru akan berakibat tidak ditaatinya pemimpin oleh umatnya sendiri yang memang ghirah Al-Qurannya tinggi.
Saat ini upaya untuk menciptakan opini bahwa Ahok tidak menistakan agama tampaknya akan berlanjut. Kita masih menunggu hasil finalnya. Hasil Final itu bergantung siapa yang dimintai pendapat dan fatwanya oleh pihak kepolisian. Semoga akan selaras dengan keputusan MUI (Majelis ulama Indonesia). *Penulis, Pengasuh Pesantren Al-Hikam/Sekolah Tinggi Kulliyatul Quran Depok Jawa Barat yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Sumber antara. ***