PROPORSIONAL TERBUKA ATAU TERTUTUP ?

 

 

Oleh Fransiscus Manurung

Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem pemilu legislatif menjadi proporsional terbuka dilaksanakan pertama kali pada Pemilu 2009, berdasarkan UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Sebelumnya, – sejak masa orde baru hingga pemilu 2004 – pemilu legislatif di Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup.

Perubahan sistem pemilu dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka dimulai sejak UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, disahkan.

Anwar Hafid

Hal mana diatur pada pasal 5 ayat (1) yang menetapkan bahwa :

Hendri Muhidin

“Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD prov, kab dan kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”

Syarifuddin Hafid

Pemilu serentak 2024 – yang jadwal dan tahapannya saat ini sedang berproses – dilaksanakan berdasarkan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), juga menganut sistem proporsional terbuka. Sistem tersebut tampak pada pasal 168 ayat (2) yang menetapkan bahwa :

“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kab/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.

Secara sederhana, pengertian sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu di mana pemilih secara langsung memilih wakil-wakilnya di legislatif, sebagaimana dilaksanakan sejak Pemilu 2009.

Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politik peserta pemilu saja, sebagaimana dalam pemilu 2004 dan sebelumnya.

Uji Materiil Proporsional Terbuka

Saat ini, sistem proporsional terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tengah diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara konstitusi Nomor 114/PUU-XX/2022.

Perkara konstitusi tersebut diajukan untuk menguji pasal 168 ayat (2), karena – menurut Pemohon – pasal 168 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam perkara tsb, pemohon menuntut agar Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa frasa “terbuka” dan “proporsional” pada pasal 168 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang frasa “proporsional” tidak dimaknai sistem proporsional tertutup.

Artinya, Pemohon menginginkan agar pemilu legislatif 2024 kembali pada sistem proporsional tertutup.

Rabu (08/03), Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Prof.Yusril Ihza Mahendra tampil sebagai Pihak Terkait di sidang Mahkamah Konstitusi memberikan keterangan berkaitan dengan perkara uji materiil terhadap sistem proporsional terbuka.

Dalam keterangannya, prof Yusril mendukung pemberlakukan sistem proporsional tertutup dengan alasan a.l bahwa sistem proporsional terbuka saat ini bukan hanya menurunkan kualitas wakil rakyat tetapi juga kualitas partai politik. Selain itu, menurut prof Yusril, pasal 168 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.

Artinya, baik Pemohon maupun Pihak Terkait Partai Bulan Bintang, sama-sama menginginkan agar sistem pemilu legislatif 2024 dikembalikan pada sistem proporsional tertutup.

Kedaulatan Rakyat

UUD 1945 tidak menentukan sistem apa yang akan digunakan dalam pemilu. Sebab, penentuan sistem pemilu, baik terbuka atau pun tertutup, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang dan ditetapkan oleh partai-partai politik yang memiliki wakil di legislatif berdasarkan kesepakatan ketika proses pembahasan di DPR (legislative review).

Namun, pilihan untuk memilih sistem proporsional terbuka dapat dipandang lebih rasional ketimbang sistem proporsional tertutup dan lebih selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam UUD 1945.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.

Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat sehingga dalam berbagai kegiatan pemilu, baik pemilu presiden, legislatif dan bahkan pemilu kepala daerah, semestinya rakyatlah yang langsung memilih siapa yang dikehendakinya.

Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh calon legislatif maupun eksekutif. Sebaliknya, rendahnya perolehan suara menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan.

Dalam negara demokrasi, prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar, dimana rakyatlah yang berdaulat.

Rakyatlah yang langsung memilih dan menentukan siapa yg dikehendakinya. Meskipun harus diakui bahwa rekrutmen pimpinan politik diperankan oleh partai politik sebagai peserta pemilu, namun harus ada batas yang jelas bahwa partai politik tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat, yang merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan.

Pasal 22 E UUD 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil harus menjadi landasan utama untuk dikembangkan dan diimplementasikan oleh undang- undang mengenai pemilu.

Sehingga, rakyat sebagai subyek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai obyek oleh partai politik peserta pemilu dalam mencapai kemenangan semata.

Adanya keinginan rakyat untuk memilih dan menentukan wakil-wakilnya, sesuai dengan kehendak dan keinginannya, dapat terwujud manakala sistem pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Dengan sistem ini, rakyat dapat secara bebas memilih dan menentukan calon legislatif dengan harapan agar wakil yang terpilih tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi juga mampu membawa aspirasi rakyat pemilih.

Dengan diberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap anggota legislatif, di samping memberikan kemudahan bagi pemilih untuk menentukan pilihan sesuai keinginannya, juga lebih adil, baik bagi pemilih maupun bagi calon anggota legislatif tersebut, karena kemenangan seorang calon untuk terpilih tidak lagi digantungkan pada partai politik peserta pemilu, tetapi sampai sejauh mana besarnya dukungan yang diberikan rakyat kepada calon tersebut.

Prediksi

Perkara konstitusi No.114/PUU-XX/2022 merupakan uji materiil terhadap sistem proporsional terbuka, dimana pemohon menuntut agar sistem proporsional terbuka dalam pasal 168 ayat (2) UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Meskipun perkaranya belum diputus karena proses pengujian sementara berlangsung, namun putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara uji materiil pasal 168 ayat (2) sangat dinantikan banyak kalangan, karena putusan mahkamah tsb akan mempengaruhi sistem yang akan diterapkan pada pemilu serentak 2024 : proporsional terbuka atau tertutup.

Berdasarkan argumentasi kedaulatan rakyat pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu pasal 22 E UUD 1945, dan kewenangan menentukan sistem pemilu merupakan open legal policy pembuat undang-undang, maka sangat diyakini bahwa penyelenggaraan pemilu legislatif serentak 2024 akan dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, bukan dengan sistem proporsional tertutup seperti yang diinginkan oleh Pemohon. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top