“Komite Jadi Tameng”

Komite sekolah adalah tempat berkumpulnya para orang tua wali siswa dan siswi. Hanya saja, terkadang organisasi yang didalamnya ada unsur orang tua wali siswa dan pihak sekolah ini, dijadikan “tameng” untuk melakukan pungutan dengan alasan sumbang dari orang tua.

Padahal konsep pungutan berkedok sumbangan dari para orang tua wali siswa yang diberlakukan di sekolah-sekolah itu, baik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun SMA/SMK, berasal dari pihak sekolah sendiri.

“Format dan konsep besaran pungutan yang disebut pihak sekolah sumbangan dari para orang tua wali siswa adalah konsep jadi dari pemangku kebijakan di sekolah-sekolah. Sehingga orang tua siswa/siswi yang diundang rapat hanya dimintai persetujuannya dengan bukti tanda tangan.”

Celakanya lagi jika ada orang tua yang berkeberatan, secara tidak langsung anak-anak mereka “terancam” tidak lulus atau naik kelas. Sehingga mau tidak mau orang tua wali siswa itu terpaksa setujuh saja dengan konsep yang disodorkan pihak sekolah melalui komite.

Padahal sesungguhnya namanya sumbangan itu tidak boleh ada paksaan, target dan jumlah nominal. Tapi berapapun kemampuan orang tua wali siswa tersebut.

Dalam konstitusi Negara (undang-undang dasar 1945), setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Artinya Negara berkewajiban membiayai pendidikan warganya (rakyatnya), jika tidak memiliki kemampuan secara ekonomi untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Hal tersebut bersesuaian dengan undang-undang pendidikan nasional No.20 tahun 2003. Dimana Negara harus hadir ketika warganya membutuhkan pendidikan, namun tidak memiliki kemampuan pembiayaan.

Makanya dalam undang-undang No.20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional itu, Negara harus menyiapkan biaya pendidikan minimal 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) setiap tahunnya.

Begitupun dengan pemerintah daerah berkewajiban menyiapkan biaya pendidikan paling sedikit 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setiap tahunnya. Hal itu dimaksudkan agar pemerataan pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat di Negeri ini.

Pendidikan tidak boleh hanya dinikmati oleh orang-orang kaya, tapi orang miskin sekalipun dapat menikmati layanan pendidikan secara adil dan merata.

Tapi apa yang dirasakan sebagian rakyat belakangan ini, sejumlah sekolah melakukan pungutan terhadap siswa/siswi melalui komite sekolah dengan alasan dana biaya operasional sekolah (BOS) tidak mencukupi.

Apalagi jika seorang kepala sekolah di sekolah-sekolah tertentu merasa kreatif, mempercantik ruang-ruang guru, ruang kelas, halaman dan lingkungan sekolah, sedangkan anggaran terbatas.

Padahal memperbaiki ruang-ruang guru, kelas, dan mempercantik halaman serta lingkungan sekolah adalah tanggungjawab Negara, bukan urusan kepala sekolah.

Guru bantu (Honor) jadi jualan. Honor para guru bantu menjadi salah satu alasan kepala sekolah untuk memaksa komite melakukan pungutan yang mereka sembut sumbangan.

Ironisnya terkadang guru bantu itu lebih aktif dari guru definitive. Diduga guru definitive malas masuk mengajar deangan alasan ada urusan di luar sekolah, sehingga tanggungjawabnya dibebankan ke guru bantu (honor), tapi hak-haknya sendiri setiap bulan didapatkan secara ful, tanpa berbagi ke guru bantu.

Mestinya hak-hak guru definitive yang malas masuk mengajar dikurangi (dipotong), karena tanggungjawabnya hanya dibebankan ke guru bantu. Dengan demikian sebagian haknya diberikan ke guru bantu.

Kepala sekolah adalah manager di sebuah sekolah. Kepala sekolah mestinya berfikir bagaimana dapat menghasilkan anak didik yang mampu bersaing, bukan berfikir membangun dan mempercanti gedung, ruangan dan halaman sekolah. Karena soal itu adalah urusan kepala dinas, kepala daerah, menteri pendidikan atau presiden sebagai perwakilan dan penyelenggara Negara.

Memang si, tidak haram jika ada dermawan atau orang tua wali siswa yang mau berpartisipasi menyumbang untuk membangun sekolah. Tapi tidak boleh dipaksakan dan disama ratakan seluruh orang tua wali siswa. Sebab kemampuan ekonomi orang tua wali siswa tidak sama.

Permen Dikbud No.75 tahun 2016 yang menjadi dasar sejumlah kepala sekolah untuk melakukan pungutan yang disebut pihak sekolah sebagai sumbangan dari para orang tua wali siswa, perlu dicabut. Apalagi jika memberatkan para orang tua wali siswa.

Dan jalankan amanat konstitus Negara (UUD 1945) dan Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. (Baca uud 1945 – uu no.20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional). Dan pihak sekolah diharapkan tidak menjadikan komite sebagai “tameng” untuk melegalkan pungutan di sekolah-sekolah. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top