JIHAD POLITIK GUBERNUR NURDIN ABDULLAH

 Oleh : Akbar Endra (Mantan Anggota Fraksi Demokrat DPRD Maros Periode 2009-2019).

Berawal dari pencopotan Kepala Biro Pembangunan, Pemprov Sulsel, Ir Jumras, kegaduhan dalam Pemerintahan Gubernur Nurdin Abdullah, terus berkembang. Ada yang memuji sikap Gubernur mencopot pejabatnya yang bermasalah, juga ada yang mencaci makinya.

Pro kontra tak bisa dibendung. Di sini, bukan soal pro atau kontra. Ini adalah soal rasionalitas, visi, misi dan ketegasan seorang Gubernur, juga pemimpin wilayah.

Nurdin Abdullah adalah produk pemimpin yang lahir dari suksesi pemilihan kepala daerah secara langsung. Ia dipilih oleh rakyat melalui proses pemilu demokratis yang elegan. Ia dikenal dan disukai oleh masyarakat Sulsel karena prestasi selama memimpin Kabupaten Bantaeng – Kabupaten paling maju di Sulsel.

Nurdin Abdullah (NA) adalah pemimpin yang berasal dari dunia akademik. Ia seorang Doktor pertanian yang bergelar Profesor. Tentu, sebagai seorang Profesor, NA tak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Ia memiliki visi dan misi untuk membenahi Sulsel hingga Tahun 2023, nanti. Karena visi dan misinya, ia dipilih.

Menoleh Prestasi NA di Bantaeng

Wujud impian (visi) NA, sungguh nyata. Ia dikenal sebagai Bupati terbaik yang pernah ada di Nusantara ini. Ketika menjabat sebagai Bupati Bantaeng Dua Periode (2008-2018), Bantaeng – daerah kecil yang tidak populer – dalam waktu singkat menjadi daerah terkenal dan santer dibicarakan.

Tahun 2013, wajah Bantaeng berubah drastis. Wajah yang dulu memble, menjadi kece: jalanannya mulus, kotanya tertata, pantainya keren. Bantaeng yang dulu terbelakang, mengalami kemajuan pesat. Untuk membandingkannya, Bantaeng maju dua puluh tahun di depan, dari daerah lainnya di Sulsel.

Suatu hari, Tahun 2015, Anggota DPRD Maros Periode 2014-2019, berkunjung ke Bantaeng. Kunjungan ini, untuk membuktikan informasi bahwa Bantaeng sekarang, jauh lebih maju dari Kabupaten Maros.

Ya. Tiga hari berkeliling di Bantaeng, kami harus mengangkat topi. Jujur, semua yang ikut dalam kunjungan ini, setuju: kita harus belajar bagaimana mengelolah pemerintahan secara baik dan benar kepada Prof.Dr.Ir.Nurdin Abdullah – Bupati Bantaeng saat itu.

Pertama, Prof NA memiliki visi. Ia mampu membayangkan, bagaimana wajah Bantaeng 10 Tahun dalam masa kepemimpinannya. Ia tak berkoar-koar tentang impiannya, tapi ia bekerja keras, siang dan malam mewujudkan mimpi menjadi nyata.

Kedua, Ia menertibkan aparatnya. Semua ASN memahami visi dan misi NA. Visi NA ini, menjadi impian bersama seluruh ASN hingga seluruh masyarakat Kabupaten Bantaeng. Mereka loyal pada tujuan dan niat NA menggenjot Bantaeng bangkit dan maju pesat.

Dalam percepatan pembangunan Kabupaten Bantaeng NA sangat tegas. Yang neko-neko, ia singkirkan. Jika ada ASN tak loyal pada tujuan bersama, itu menjadi potensi penghambat untuk mencapai cita-cita bersama.

Ketiga, Tahun 2013 NA terpilih kembali menjabat Bupati Bantaeng Periode kedua, 2013-2018, dengan mencapai lebih 80 persen suara pemilih, tanpa money politic. Masyarakat merasakan karya nyata NA. Tak hanya masyarakat Bantaeng yang membanggakannya, tapi juga Bantaeng menjadi kebanggaan Sulawesi Selatan.

Artinya, NA bukan pemimpin abal-abal. Tak hanya sekedar pimpinan, tapi ia pemimpin sejati, memiliki visi, misi dan karakter yang padu -seorang yang konsisten pada visinya, meyakini kemampuannya mewujudkan mimpi menjadi nyata.

10 tahun memimpin Bantang, Prof NA melakukan terobosan: menurunkan angka kematian ibu melahirkan, membangun sektor pertanian, dan ia bangun infrastruktur secara massif.

APBD Bantaeng naik tiga kali lipat. Bayangkan pendapatan asli daerah naik, justru empat kali lipat, Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita penduduk naik lima kali lipat. Jumlah penduduk miskin di Bantaeng, pun merosot dari 12 persen ke 5 persen, sampai tahun 2016.

Bantaeng terus melaju. Prof NA pun meraih penghargaan berskala nasional dan internasional. Ia masuk jajaran Kepala Daerah Pembaharu, tokoh perubahan, dan Kepala Daerah Inovatif bersama Walikota Solo, Ir Joko Widodo – kini Presiden RI ke 7.

Kecendekiawanan Prof NA, berbasis akademik. Ia jebolan Universitas Kyushu, Jepang. Ia menguasai ilmu Teknologi dan Pertanian. Berbekal itu, NA berkreasi di Bantaeng. Hasilnya, memukau.

Jadi, tak heran jika Tahun 2018, nama NA menyolok. Masyarakat banyak yang berdecak kagum, memuji sekaligus mengidolakannya. Popularitas NA sulit dibendung. Prestasi Kabupaten Bantaeng menjadi “boster” popularitas NA.

Mau tak mau, NA terdorong ke tingkatan politik regional. Ia menjadi Calon Gubernur. NA menang telak bersama wakilnya Andi Sudirman Sulaiman. Mereka memasuki Kantor Gubernur di Jalan Urip Sumiharjo, sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel, produk demokrasi yang otentik.

Belum setahun menahkodai Sulsel, Prof NA menghadapi turbulence. Gaduh. Kursi Gubernur digoyang oleh Hak Angket DPRD Provinsi Sulsel. Berawal dari ulah Wakil Gubernur, Sudirman – nyeleneh meneken SK Mutasi. Padahal itu bukan ranahnya.

DPRD menduga, terjadi dualisme kepemimpinan. Wagub menjadi matahari kembar. Dan ini harus ditata ulang. Wagub harus paham tupoksi. Juga banyaknya pejabat digeser dan dicopot. Semua bermetamorfosis menjadi suatu rangkaian persoalan.

Prof NA membiarkan Angket DPRD. Tentu, prinsipnya, kebenaran akan terungkap di sana. Ia tak gentar digoyang issu pemaksulan. Agenda besar politik pemaksulan di balik angket DPRD, pun redup.

Prof NA hadir dalam sidang Panitia Angket DPRD Sulsel di Gedung DPRD, menjawab pertanyaan-pertanyaan Ketua Pansus Angket, Kadir Halid secara lantang. Prof NA menyajikan karakter seorang pemimpin sejati.

Ia tak gentar sedikitpun dicecar pertanyaan. Ia menjawab apa adanya. Terungkap ketiga pejabat yang dicopotnya karena punya masalah, ada dalam LHP inspektorat.

Bahkan Prof NA membuka, bahwa pencopotan itu juga karena saran dari komisi anti rasuah, KPK. Dalam LHP, ada dugaan oknum pejabat tertentu berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Akhirnya, Angket selesai. Terang benderang, persoalan diungkap. Prilaku Wagub mesti diubah, agar lebih sadar posisi.

Pencopotan tiga orang pejabat eselon dua, Lutfi Natsir (Kepala inspektorat), Muhammad Hatta (Kepala Biro Umum) dan Ir Jumras (Kepala Biro Pembangunan), terus berlanjut, menjadi polemik. Hingga terbitlah rekomendasi dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Ir. Jumras, tak menerima dicopot. Ia melawan. Setelah berdendang di muka Sidang DPRD Sulsel, opini miring terhadap NA terus disebar. Prof NA tak peduli, ia terus bekerja. Persoalan Angket dan celoteh Jumras dan kawan-kawan, tak dirisaukannya. Kerja nyata lebih penting. Banyak yang membandingkannya dengan Prof Amiruddin. Gubernur Sulsel di masa Orde Baru.

Bagi saya, tak perlu membandingkannya. Biarlah Prof NA memimpin dengan dirinya. Bukankah setiap zaman punya orang dan setiap orang punya zaman? Tentu Prof Amiruddin, beda dengan zaman Prof NA.

Di Zaman Gubernur Achmad Amiruddin, sistim informasi masih tertutup. Prilaku aparatur pemerintah hanya sedikit saja yang bisa diakses oleh publik. Beda sekarang, era transparan diiringi kebebasan pers.

Hampir semua kelakuan aparatur pemerintah terbuka dan diketahui publik. Gubernur sedang galau saja, jadi trending topik di media sosial. Zaman Prof Amiruddin, kegalauan Gubernur hanya segelintir orang yang tahu.

Kontroversi Rekomendasi KASN

Angket DPRD Sulsel baru saja usai. Suasana di Pemprov Sulsel pun sudah stabil. Tiba-tiba muncul rekomendasi KASN, meminta Gubernur mengembalikan Lutfi Natsir, Muhammad Hatta dan Jumras kejabatan semula. Rekomendasi ini tentu tidak terkonfirmasi ke Prof NA.

Padahal masalah pencopotan ketiga pejabat tersebut, juga alot dibahas pada Panitia Angket DPRD. Menurut Gubernur Nurdin Abdullah, ketiga pejabat tersebut dicopot karena bermasalah.

Logika sederhananya, jika mencopot pejabat karena ada masalah, KASN tentu harus mengkonfirmasinya, paling tidak melakukan konsultasi kepada KPK dan Gubernur Sulsel.

Tidak langsung membuat rekomendasi begitu saja, sehingga terkesan KASN bisa ditunggangi oleh kepentingan oknum. KASN harus menjaga wibawa dan kredibilitasnya dengan cara tidak gegabah.

Nasi sudah jadi bubur. Gubernur Sulsel, Prof NA bukan pemimpin abal-abal yang mudah didikte oleh kepentingan oknum. Ia seorang yang rasional. Ia mencapai prestasi di Bantaeng karena ia menjadi pribadi yang kuat. Prof NA tidak mau dipaksa menjadi orang lain. Ia ingin tetap menjadi dirinya sendiri.

Rekomendasi KASN ia abaikan karena tidak sesuai visi dan misinya. Prof NA ingin mengelolah pemerintahannya secara bersih. Jika ada yang mengotorinya, ia punya kekuasaan dan kekuatan politik untuk menentangnya. Karena dia adalah Gubernur pilihan rakyat. Bukan Gubernur yang diutus. Ia dipilih dan rakyat di belakangnya.

Prof NA tak pernah sendirian. Rakyat di pihak yang benar. Andai ia dicaci karena benar, maka cacilah sepuasnya. Prof NA teruslah bekerja. Rakyat bersamamu. (dikutip di Kompasiana).***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top