Pilihan dan dukungan politik boleh beda dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak tahun ini (2018). Tapi persaudaraan sesame anak Bangsa harus tetap terpelihara dan dijaga. Silaturahmi tidak boleh putus. Kepala boleh panas, namun hati harus dingin dan tetap bersabar serta berusaha agar calon dukungan dan pilihan kita mendapat tempat di hati rakyat .
Negara republik Indonesia di diami berbagai latar belakang suku, agama dan ras (SARA). Olehnya isu SARA harus dihindari dalam pilkada. Karena pilkda adalah proses politik dan harus dicapai dengan cara demokratis, bukan saling hujat, caci maki, apalagi jika sampai menjelek-jelekkan suku, agama dan ras tertentu.
Isu SARA berpotensi memecah belah persatuan di Negeri ini. Makanya pendukung fanatik setiap pasangan calon dalam pilkada, sebaiknya bahkan keharusan menanggalkan isu SARA itu.
Kita boleh mendukung dan memilih paslon yang ditokohkan, tapi nilai-nilai persatuan dan kesatun tetap menjadi prioritas untuk dijaga. Jangan karena hanya kepentingan sesaat, lalu bangsa ini terpecah berkeping-keping.
Cukuplah konflik Poso, Ambon, Sampit dan daerah lainnya menjadi pelajaran berharga bagi anak Bangsa ini. Marilah kita menjadi generasi milinea yang taat dan menghargai perbedaan politik. Jangan kita pernah larut dalam fanatisme sempit, yang hanya memikirkan dan memperjuangan kebutuhan sesaat.
Yakinlah bahwa persaingan dalam pilkada adalah bumbu-bumbu demokrasi. Sebab yang jadi pemimpin itu, sudah merupakan ketetapan sang Pencipta yang Maha Kuasa. Sebagai hamba kita hanya menjalankan proses. Dan perbedaan pilihan, suku, agama dan ras adalah kekayaan bangsa ini yang perlu dibina, dipupuk demi persatuan serta kemajuan negeri ini.
Pilkada bukanlah untuk saling menjatuhkan dan bermusuhan, apalagi terpecah belah. Tapi pilkada adalah proses demokrasi untuk mencari dan memilih pemimpin karena programnya. Bukan karena suku, agama dan rasnya. Mari memilih pemimpin di Pilkada dengan tanpa SARA. ***