“Sulitnya Mencari Nafkah di Negeri Sendiri”

Dengan alasan ketertiban, keindahan, Kerapian dan kebersihan kota, seratusan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan diatas trotoar dan sebagian bahu jalan di kawasan perkantoran Walikota Palu jalan Balai Kota Utara, Timur, Selatan dan Baruga harus angkat kaki dari lokasi itu.

Akibatnya mereka tidak bisa lagi berjualan. Mereka terancam jadi pengangguran. Mereka hanya ditertibkan, tanpa dituntun ketempat yang lebih baik untuk berjualan. Mereka “dilepas begitu saja, bagaikan hewan ternak yang dilepas liarkan.”

Mereka adalah penjual kuliner yang selama ini berjualan di Balai Kota Palu. Mereka seperti disambar petir disiang bolong, katkalah trantib dari Pemkot Palu yakni Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP), “mengusur” mereka dengan alasan penertiban kota.

Mereka dianggap mengganggu ketertiban kota, karena berjualan diatas troatoar dan sedikit bahu jalan. Mereka dianggap “biangkerok” kepadatan dan kemacetan jalan di sepanjang Balai Kota Palu. Padahal sekalipun tanpa PKL berjualan di trotoar dan sedikit bahu jalan, kemacetan lalulintas juga terlihat di ruas jalan sekitar Balai Kota Palu itu.

Pasalnya banyak kendaraan parkir di bahu jalan. Sementara ruas jalan di seputar Balai Kota itu memang rada-rada sempit. Sehingga bukan karena penjual semata, sampai ruas jalan di Balai Kota Palu itu macet pada jam-jam tertentu.

Sungguh kasihan PKL itu, mereka “sulit mencari nafkah di negerinya sendiri.” Padahal Negara harus hadiri bagi warganya sebagai mana termaktum dalam undang-undang dasar 1945, dimana setiap warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Lalu dimana penghidupan yang layak bagi PKL itu? Disaat mereka giat-giatnya mendorong tumbuhnya geliat ekonomi Palu pasca bencana alam 28 September 2018, justru mereka harus kehilangan mata pencaharian. Mereka “ditindas, diusir dan gerobak mereka ada yang dirusak.” Kata Hamzah salah seorang PKL korban penertiban menjawab deadline-news.com Senin (2/9-2019) di jalan Baruga Palu.

Kemudian dalam Sila ke 5 Pancasila disebutkan “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Lalu dimana keadilan sosial itu, ketika PKL itu harus terdampak penertiban oleh kebijakan Pemerintah Kota Palu? Benar, para PKL itu mengakui bahwa Pemkot Palu menyiapkan lokasi berjualan di hutan Kota Kaombona. Tapi tidak semua PKL dapat ditampung di hutan Kaombona itu.

Mestinya Pemkot Palu menata eks PKL yang dari Balai Kota ke tanah kosong di jalan Baruga. Misalnya para PKL yang jumlahnya 100san itu, diberi ijin menjual dengan catatan tidak gaduh, bising dengan suara musik, karena dapat mengganggu penghuni disekitarnya.

Kemudian disisahkan lahan sebagian untuk parkir para pengungjungnya, sehingga tidak membuat ruas jalan Baruga yang sempit itu macet pada jam-jam tertentu. Apalagi tanah kosong yang mereka (PKL) sudah bersihkan itu cukup luas.

Masyarakat juga butuh PKL, apalagi yang suka dan senang berbelanja berbagai jenis jajanan kuliner yang tersedia oleh para PKL eks Balai Kota Palu itu. Secara politik, jelang Pemilihan Walikota Palu para PKL itu harus dihadapi secara persuasif dan diatur biar mereka tertib, buka hanya disuruh pindah tanpa arah tujuan.

Mereka terkesan dibiarkan begitu saja, dan gerobak mereka hanya ditampung dilahan kosong di samping Rumah Jabatan Walikota jalan Baruga yang juga berhadapan dengan perumahan Hakim Pengadilan Tinggi Sulteng di Palu. Padahal mereka perlu menafkahi keluarganya (anak istrinya).

Apalah gunanya kota kelihatan rapi, tertib, indah dan bersih, jika masyarakatnya miskin dan sulit mencari nafkah. Mestinya ada keseimbangan antara kebijakan pemerintah untuk menghadirkan suasana kota yang damai, indah, tertib, asri, bersih, hijau dan taraf kehidupan ekonomi masyarakatnya yang memadai.

Memang tidak bisa dipungkiri, kesadaran kita sebagai warga kota masih kurang dalam membantu pemerintah menghadirkan kota yang bersih, indah, nyaman, asri dan tertib.

Terkadang kita masih suka buang sampah dan parkir kendaraan sembarangan, sehingga PKL kena dampaknya. Mereka dianggap “Sampah” yang mengotori kota, sehingga suka atau tidak para PKL itu harus jadi korban penertiban kebijakan pemerintah dimana-mana.

Padahal kota Palu butuh kebersamaan, menggerakkan geliat ekonomi pasca bencana. Kalau para PKL itu tidak diberikan solusi, maka dapat menimbulkan kerawanan sosial di masyarakat. Mereka perlu segera direspon oleh pemerintah, agar mereka dapat berjualan lagi, mengingat ada keluarganya yang perlu dinafkahi.

Diharapkan Walikota Palu Drs. Hidayat, M.Si bersama jajarannya memberi solusi yang lebih baik bagi PKL eks balai Kota Palu itu. Sehingga sesegera mungkin mereka dapat berjualan lagi.

Mereka hanya butuh ruang untuk bekerja. Mereka tidak meminta-minta sumbangan. Tapi mereka bekerja sesuai dengan keterampilannya menjual dan menyediakan kuliner yang menjadi kebutuhan masyarakat Kota Palu maupun warga dari daerah lainnya.

Kehadiran PKL jajanan kuliner dalam kota Palu, disamping mengurangi pengangguran, misalnya minimal mempekerjakan 1 atau orang, dan membantu warga yang ingin menjadi juru parkir. Tinggal Pemkot Palu mengakomodir dan mengawasinya, sehingga pendapatan dari aprkir juga bisa masuk ke PAD kota Palu dari lokasi PKL yang tertata, rapid an tertib. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top