Sejak beberapa bulan terakhir ini, Kejaksaan Negeri (Palu) terus menggecarkan penyidikan dugaan korupsi proyek sumur artesis di Tondo kota Palu.
Sumur artesis itu untuk pemenuhan kebutuhan air bersih warga korban bencana alam gempa bumi, likuifaksi dan tsunami yang berada di hunian tetap (Huntap) kelurahan Tondo Kecamatan Mantikolore.
Pun dugaan korupsi proyek sumur artesis Rp,1,7 miliyar (M) itu tim penyidik Kejari Palu terus mendalaminya untuk dapat menetapkan tersangka.
Siapakah yang bakal tersangka dibalik proyek sumur artesis dengan kerugian negara Rp, 1,7 miliyar dari nilai proyek Rp, 6,9 miliar itu?
Terkait dugaan korupsi sumur artesis itu beberapa orang telah diperiksa berkali-kali oleh tim penyidik Kejari yakni masing-masing AM (kasatker balai), SJ (PPSPM), SS (kontraktor) dibawah bendara CV.Tirta Hutama Makmur dan AH (PPK).
Kemudian konsutan pengawas berinisial S dari PT.Kogas yang diperiksa penyidik Kejari.
Proyek yang melekat di balai prasarana permukiman wilayah sulawesi tengah (BP2WS) itu diperuntukkan bagi masyarakat korban bencana alam dalam hal pemenuhan kebutuhan air bersih.
Karaji Palu bersama tim penyidik sudah berkali-kali mengunjungi lokasi proyek sumur artesis itu di Vatutela yang berjarak sekitar 7-10 km dari kota Palu.
“Kalau sudah mantap baru kita tetapkan tersangka (tsk), dan Insya Allah ada tsk,”kata Kajari Palu Moh.Irwan Datuiding, SH, MH dalam suatu kesempatan di salah satu warkop saat ngopo sambil ngobrol (Ngompol).
Proyek sumur artesis yang diperuntukkan bagi warga huntap Tondo ini menjadi temuan badan pengawas keuangan dan pembangunan (BPKP) sebesar Rp, 1,7 miliyar kerugian negara dari total anggaran Rp,6,9 miliyar.
Semoga saja penanganan kasus yang merugikan negara ini segera mendapat kepastian hukum. Paling tidak mereka yang diduga bersekongkol mencuri uang rakyat itu segera ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Direktur CV.Tirta Hutama Makmur Simak Simbara (SS) menjawab konfirmasi deadline-news.com group detaknews.id mengaku bersedia mengembalikan temuan BPKP itu dengan cara mengansur. Bahkan sudah mengembikan sekitar Rp, 360 juta.
Jangan karena alasan sudah mengembalikan kerugian negara seperti dugaan bill hotel fiktif lantas dihentikan proses hukumnya.
Sekalipun penghentian perkar juga merupakan kepastian hukum. Kalaupun itu langkah itu yang diambil Kejari Palu, maka perlu penjelasan ke publik.
Karena hukuman publik melalui media sosial lebih berat dari hukuman badan berdasarkan presfektif pemidanaan (hukum positif). ***