Siang itu Kamis (15/11-2018), saya harus naik Pete-pete (angkutan kota) dari arah kantor Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) ke jalan Cendrawasih.
Adalah pete – Pete no 05 dari arah Kampus Unhas Tamalanrea ke jurusan Cendrawasih. Kebetulan mobil Honda CR-V Palat E 1250 KI milikku setelah diservice berkala dengan beberapa alatnya diganti di bengkel Honda Sanggar Laut Selatan jalan Tentara Pelajar Makassar malah macet, tak mau hidup.
Katanya dinamo staternya rusak. Sehingga harus diganti. Sabtu siang (10/11-2018), dinamo stater yang macet itu dipesan, dengan panjar Rp,1,5 juta dari harga total Rp,3,2 juta, tambah ongkos kerja dan biaya derek sekitar 500 ribu, sehingga diperkirakan biayanya mencapai Rp,3,7 juta.
Dan sebelumnya telah diservice dengan biaya mencapai Rp,4,1 juta. dengan demikian biaya service plus ganti dinamo stater , Aki dan saringan tangki bensin mencapai Rp,7,8 juta. Tapi itulah resiko dan tanggungjawab sebagai pengguna dan pemilik mobil itu.
Dan ada kemungkinan pihak bengkel (Teknisi) salah mendiagnosa (memeriksa) kerusakan mobil saya itu. Karena sejak awal sudah sulit distater, sampai-sampai harus dipancing Aki. Wal hasil dapat dihidupkan dan dibawa ke bengkel Honda Sanggar Laut Selatan.
Namun sayangnya setelah diservice berkala dengan mengganti saringan bensin, Aki dan Oli selnya justru macet dan tak bisa lagi distater. Jum’at (16/11-2018), dynamo stater yang dipesan telah tiba, namun ternyata kerusakannya bukan pada dynamo stater tersebut. Tapi justru dynamo motor (Altenatornya) pengisian strom Akinya.
Lalu siapa yang salah? Apakah pemilik mobil ataukah teknisi yang memeriksa mobil CRV tersebut? Melihat kondisi tersebut, saya berkunjung ke Bengkel Sanggar Laut Selatan, dan bertemu langsung kepala bengkel/mekaniknya bersama bagian pelayanan bernama Tias. Mungkin karena melihat wajah saya agak tegang tanpa senyum menahan amarah, kedua karyawan Bengkel Honda Sanggar Laut Selatan itu meminta maaf dan siap bertanggungjawab.
“Maaf pak katas kesalahan teknisi saya, kami ganti alat mobil bapak sesuai yang semestinya, soal dynamo stater yang salah pemesanan itu, akan menjadi tanggungjawab kami termasuk teknisi,”kata Tias.
Sebenar kesalahan pihak teknisi bengkal Sanggar Laut Selatan itu juga tidak terlepas dari pengawasan dan ketelitian kepala mekaniknya. Akibatnya konsumen dirugikan. Sehingga sampai saat ini mobil tersebut belum dapat digunakan, karena menunggu alat yang rusak itu penggantinya datang. Astimasi pihak bengkel Sanggar Laut Selatan nanti hari Rabu depan (21/11-2018), alat tersebut (altenator) tiba di Makassar.
“Jika mengacu pada undang-undang perlindungan konsumen No.8 tahun 1999, pasal 62 ayat 1 disebutkan “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, 9, 10, 13,ayat 2, pasal 15, 17 ayat 1, huruf a, b,c dan e, ayat 2 dan pasal 18 akan dihukum penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp, 2 miliyar.”
Kembali ke pete-pete, sekitar 30 menit dari arah kantor Gubernur ke salah satu warkop di jalan Cendrawasih dengan biaya hanya Rp,5000/orang.
Sambil menikmati perjalanan dari kantor Gubernur Sulsel ke Cendrawasih dalam suasana kota Makassar yang macet dan panas, saya berbincang dengan sang sopir pete-pete itu. Hanya saja beliau menolak menyebutkan nama aslinya. “Kita panggil saja Daeng, janganmi tulis nama lengkapku,” pinta sang sopir itu.
Baik Daeng, selama membawa pete-pete berapa penghasilanta perhari Daeng? Tanyaku ke sopir pete-pete itu? lalu sang Sopir menjawab Rp, 300 ribu bersih. tapi itu waktu belum ada Grab. “sekarang ini, sejak ada Grab tinggal Rp, 100 ribu mami, ya paling banyak Rp,150 ribu bersih pak,”aku Daeng Sopir itu.
“Kami tergusur dengan kehadiran Grab. Soalnya Grab dari semua jenis mobil, dingin, murah dan tidak dikenakan biaya perorang, tapi sekali jalan. Apalagi mobil kami sudah tua,”jelas Daeng Sopir itu. ***