Kritikan anggota DPRD Sulawesi Selatan dengan nada ancaman untuk melakukan interflasi terkait keberadaan tim percepatan pembangunan daerah (TP2D), bentukan pemerintahan prof Nurdin Abdullah – Andi Sudirman Sulaiman (Prof Andalan), tentu saja sebagian orang menganggapnya hal biasa.
Karena memang tugas anggota DPRD melakukan pengawasan terhadap kinerja eksekutif.
Adalah Khadir Khalid ketua komisi E sangat keras mengkritisi TP2D itu. Pasalnya TP2D itu terlalu jauh mencampuri urusan teknis orang ganisasi perangkat daerah (OPD).
Salah satunya terkait pencairana dana reses anggota DPRD Sulsel yang konon katanya harus mendapat disposisi TP2D. Benarkah? Bukankah TP2D itu yang berisi para ahli dibidangnya untuk membantu Pemerintahan Prof Andalan mencari, mengumpulkan, merumuskan, mengawal dan mengawasi, sehingga proses percepatan pembangunan lebih tepat sasaran.
Sebagai wakil rakyat mestinya anggota DPRD Sulsel mempersoalkan asset-asset perusahan daerah (Prusda) selama ini. Masalahnya asset-asset Prusda itu entah kemana berlabuh.
Salah satu asset bergeraknya adalah bidang usaha transportasi dari ibu Kota Sulsel Makassar ke daerah-daerah. Kemudian Grand Sayang Park Hotel, yang tentu saja menghasilkan uang setiap bulannya. Sebab hotel tersebut dikomersialkan.
Namun sayangnya Hotel tersebut sempat diputus aliran listriknya, karena menunggak 2 bulan. Lebih ironis lagi, Saldo di rekening prusda tinggal Rp,100,000. Padahal sumber pendapatannya cukup banyak, termasuk bisnis komoditi hasil bumi.
Lalu pertanyaannya siapa yang menikmati asset-asset berikut keuntungannya selama ini? Apakah memang prusda bangkrut atau ada dugaan korupsi didalamnya? Entahlah hanya penegak hukum yang akan menjawabnya.
Karena hasil audit sejumlah asset telah dipindah tangankan dan keuangannyapun sangat minus. Bayangkan dari miliyaran rupiah, tersisa tinggal Rp,100,000.
Manariknya lagi, mantan Dirutnya mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir. Mengapa mundur, adakah sesuatu yang hendak dihindari? Dan apakah management baru (para Direksi) akan mempersoalkannya secara hukum? Lagi-lagi jawabnya publik mentinya.
Karena ditubuh prusda terdapat uang rakyat yang dikelolahnya. Sehingga harus dipertanggungjawabkan ke rakyat. Apalagi katanya gaji Dirutnya ketika itu berkisar Rp,20 juta perbulan. Bahkan hampir setiap tahun gaji Dirutnya dinaikkan sendiri.
Untuk mengetahui lebih lanjut persoalan asset-asset prusda Sulsel itu, sebaiknya ada audit inpenden dan diserahkan ke penegakkan hukum, apakah ada kerugian daerah dibalik “bangkrutnya” perusahaan daerah itu?
Hal-hal semacam itulah yang mestinya menjadi perhatian anggota DPRD Sulsel. Sebab patut diduga ada kerugian keuangan daerah/Negara didalamnya. Dan hal tersebut terkait pengawasan wakil rakyat yang berkaitan dengan keuangan rakyat yang dipergunakan perusahaan berplat merah itu. ***