
“Kapan Kami bisa bekerja tegakkan Perda Kalau dianggap Melanggar HAM?”
Bang Doel (deadline-news.com)-Palusulteng-Kepala Komnas Hak Azasi Manusia RI Perwakilan Sulteng Dedi Askary, SH kepada deadline-news.com Senin (17/1-2022), menegaskan penertiban pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Palu, termasuk di Jalan. R.E. Martadinata, Abdurahman Saleh dan beberapa tempat lainnya diduga kuat sarat terjadi abuse of Power ( penyalahgunaan kekuasaan) dan Langgar HAM.

Menurutnya dalam upaya melakukan Penertiban terhadap PKL di beberapa ruas jalan yang ada di Kota Palu, termasuk penertiban PKL yang berada di pinggir ruas jalan R.E. Martadinata beberapa hari yang lalu, Pemerintah Kota Palu wajib melibatkan pedagang kaki lima (PKL) itu sendiri dalam penertiban lapak-lapak yang mereka bangun dan digunakan untuk berusaha (berdagang).
“Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam hal ini PKL itu sendiri,”ujar Dedi.
Ia menegaskan kebijakan Penertiban terhadap para PKL harus memiliki skema yang jelas, baik itu tahapan serta kemana mereka hendak ditempatkan atau disiapkan sarana dan prasarana yang terlokalisir pada satu tempat tertentu dengan mempertimbangkan aspek keterjangkauan dari konsumen.
“Ini namanya determinition of human right. Ini harus diperhatikan pemerintah. PKL tidak boleh dijadikan subyek kebijakan,”tegasnya.
Kata Dedi PKL tidak boleh dikriminalisasikan. Penertiban juga tidak boleh menggunakan bahasa mengancam.
“Kalau dalam konteks HAM, Perda tidak bisa membatasi,” Artinya, Pemerintah Kota Palu untuk penertiban PKL yang ada di pinggit ruas-ruas jalan dalam Kota Palu, termasuk mereka yang membangun dan berusaha dilapak-lapak mereka yang ada di Jalan. R.E. Martadinata itu harus diperlakukan humanis dan manusiawi.
“Itu sama dengan Negara Lewat Pemerintah Kota Palu telah memberangus Hak mereka (para PKL) dalam mendapat sumber penghidupan baik untuk dirinya maupun sumber penghidupan untuk isteri dan anak-anak mereka,”terang Dedi.
Dedi menerangkan dalam Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia, baik yang tercantum dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 maupun yang sebagaimana tersebut dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana tegas dinyatakan “bahwa yang berkewajiban memenuhi HAM setiap Warga Negara itu adalah Pemerintah.
“Termasuk terhadap Pemenuhan Hak untuk mendapatkan Pekerjaan dan Penyediaan Lapangan Kerja yang layak,”tutur Dedi.
Dedi menyebutkan kebijakan Pemerintah Kota Palu dengan mengambil Langkah melakukan penertiban terhadap PKL dibeberapa titik yang ada di Kota Palu, termasuk mereka yang berada diruas Jalan. R.E. Martadinata, Abdurahman Saleh Kota Palu, itu wujud Nyata atas Pembatasan Hak Asasi Manusia, khusus Hak atas Pekerjaan dan Penyediaan Lapangan Kerja serta Pembatasan atas Hak untuk mendapatkan Penghidupan yang layak dari sumber penghidupan (lapangan kerja).
Kewajiban Pemerintah adalah untuk menyediakan atau mengupayakan kesejahteraan dan kemakmuran Hidup warganya.
“Mestinya Pemerintah Kota Palu, punya rasa malu pada masyarakatnya, sudah gagal menciptakan lapangan kerja untuk warganya, giliran warganya berinisiatif menciptakan lapangan kerja yang sesungguhnya menjadi kewajiban Pemerintah termasuk Pemerintah Kota Palu, dengan cara membangun lapak tempat berusaha menjual stiker atau usaha cutting stiker, justeru dilakukan penertiban dengan cara membongkar lapak-lapak yang masyarakat bangun dengan berbagai alasan,”ucap Dedi.
Kata Dedi yang harus disadari benar bahwa, yang bisa MEMBATASI Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warga Masyarakat termasuk Hak untuk mendapatkan Hak Atas Pekerjaan atau lapangan kerja (yang sesungguhnya menjadi kewajiban pemerintah) dan Hak atas Penghidupan yang layak sebagaimana yang menimpa para PKL di Kota Palu, termasuk para PKL yang berada di Jalan. R.E. Martadinata, hanya dapat dilakukan dengan undang-undang.
“Ini berdasarkan Pasal 73, UU No 39/1999 tentang HAM. Maraknya PKL di Kota Palu, sesungguhnya sebagai bukti nyata atas kurang mampunya Pemerintah Kota Palu, dalam merumuskan kebijakan yang berkait erat dengan Penciptaan Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru serta Perluasan Lapangan kerja untuk kesejahteraan masyarakat atau Penduduk Kota Palu,”tandasnya.
Selain itu kata Dedi maraknya PKL di Kota Palu sebagai akibat dari aglomerasi sebagaimana yang terjadi di Kota-kota besar lainnya.
“Apalagi posisi Kota Palu, juga merupakan Ibu Kota Provinsi serta menjadi jalur lintas masyarakat atau penduduk dari Provinsi-provinsi tetangga baik Sulsel, Sulbar, Sulut dan lain-lainnya,”ujar Dedi.
Dedi menegaskan penertiban akan semakin parah lagi dampaknya jika Satpol PP yang dikerahkan tidak mempedomani kaidah-kaidah hukum dalam setiap melaksanakan Penertiban sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (PerMendagri) nomor: 54 tahun 2011 tentang Standar Oprasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja, serta seperti apa gerak dan Tindakan serta Langkah-langkah yang mestinya dapat dilakukan oleh setiap anggota Satpol PP utamanya dalam melaksanakan Penertiban sangat jelas terurai dalam Permendagri tersebut.
Sementara itu Ketua DPRD Kota Palu M. Iksan Kalbi yang dimintai tanggapannya via telepone di whatsappnya mengatakan akan memanggil Kepala Satpol PP Pemkot Palu.
Mansyur salah seorang saksi mata atas penertiban PLK di pinggir ruas jalan Abdurrahman Saleh menduga bahwa penertiban itu adakah pesanan. Sebab pkl itu berada di depan klenteng (Vihara). Apalagi Penjual makanan di pinggir ruas jalan Abdurrahman Saleh itu sudah lama disitu.
“Kenapa baru sekarang ditertibkan,”tanya Mansyur.
Kepala Sat Pol.PP Trisno menjawab konfirmasi deadline-news.com Senin malam (17/1-2022), mengatakan sudah lama melakukan sosialisasi Perda No.3 tahun 2019 tentang penertiban pedagang kaki lima (PKL) dan Gepeng di Kota Palu.
Hanya saja PKL dan Gepeng ini yang tidak mengindahkannya, sehingga perlu dilakukan penertiban secara nyata di lapangan.
Disinggung soal pernyataan Kepala Komnas Ham RI perwakilan Sulteng Dedi yang menduga penertiban yang dilakukan Sat Pol PP kota Palu melanggar Ham dan penyalah gunaan wewenang, Trisno menegaskan semua yang dilakukannya berdasarkan peraturan dan bukan dengan kekerasan, tapi tetap humanis.
“Apakah kalau pemerintah melakukan penertiban masa dianggap melanggar ham. Perlu dikaji dulu. Melanggar hamnya bagaimana dulu? Apakah kalau ada masyarakat tiba-tiba membangun disuatu wilayah tanpa izin, lalu kita tertibkan karena berpengaruh terhadap keindahan kota kok dianggap melanggar ham,”kata Trisno.
Menurutnya pinggiran ruas jalan Abdurrahman Saleh dan Marthadinata perlu ditertibkan. Karena itu masuk jalur utama. Apalagi PKL itu sudah menggunakan sebagian jalan aspal.
Artinya tidak boleh ada PKL disepanjang ruas jalan Abdurrahman Saleh dan Marthadinata. Karena itu jalan utama dari Bandara ke keluar.
“Tidak boleh ada lapak di ruas jalan Abdurrahman Saleh dan Marthadinata. Penjual makanan (Nasi dan Lauk Pauk) di ruas jalan Abdurrahman Saleh boleh saja, asalkan jangan bangun lapak, karena mengganggu keindahan kota. Dan untuk menyikapi hal itu pemerintah kelurahan sudah merelokasi PKL di Abdurrahman Saleh ke jalan Angkasa,”jelas Kasat Pol PP Kota Palu itu.
Trisno menegaskan apakah setiap menertibkan orang, PKL, Gepeng atau pedagang buah dianggap melanggar Ham? Padahal mereka melanggar perda yang berkaitan dengan keindahan kota.
“Kapan lagi kami bisa bekerja dan menegakkan Perda kalau semua dianggap melanggar Ham,”ujar Trisno.
Kata Trisno sebelum mengambil tindakan tegas, pihaknya sudah berkali-kali menghimbau, menegur dan bersosialisasi agar PKL itu tidak berjualan di ruas jalan utama seperti Abdurrahman Saleh dan Marthadinata. Karena sangat mengganggu keindahan kota.
Dan sesuai Standar Operasional (SOP) yang telah ditetapkan sebagaimana Permendagri No.54 2011, yakni memberikan teguran, himbauan dan sosialisasi, tidak langsung menindak. Tapi kami beri waktu untuk merapikan dan mundur.
“Karena mestinya di ruas jalan Marthadinata ditata lebih bagus oleh Dinas terkait biar lebih Indah, ketimbang di huni PKL yang semraut (tidak teratur) dan menggunakan hak milik jalan, bahkan sudah menggunakan sebagian aspal ruas jalan,”tutur Trisno.
Kata Trisno kenapa baru sekarang penertiban yang mereka lakukan dianggap melanggar Ham. Kenapa tidak dari dulu saat menertibkan pedagang di Pasar Inpres yang menggunakan badan jalan untuk berjualan?
“Siapapun boleh berjualan atau mencari nafkah di kota Palu asalkan mengikuti aturan yang berlaku,”tegas Trisno.
Ditanya kenapa nanti ada program walikota menuju Adipura baru Sat Pol PP melakukan penertiban tegas? Jawab Trisno tanpa ada program menuju Adipurapun pihaknya sudah melakukan penertiban PKL dan Gepeng.
“Bukan karena Adipura, tapi dari duku kami melakukan penertiban. Jadi lain konteksnya penertiban untuk keindahan kota Palu dengan program Adipura. Karena sejak dari dulu kami terus menegakkan Perda tentang penertiban. Masa kita terus membiarkan kota ini kotor,”terang Trisno. ***