Operasi Tinombala, Kontras Temukan 32 Penembakan dan Penangkapan Sewenang-Wenang

Bang Doel (deadline-news.com)-Palu-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan beberapa organisasi masyarakat sipil lokal di Sulawesi Tengah dalam siaran persnya yang disampaikan ke email redaksi deadline-news.com Jum’at (17/3-2017), menyoroti dan menyayangkan agenda perpanjangan Operasi Tinombala hingga Juli 2017.

Menurut Yati Andriyani (kontras) agenda perpanjang Operasi Tinombala itu telah disampaikan melalui Asisten Operasi Kapolri, Irjen (Pol) Unggung Cahyono pada hari Selasa, 14 Maret 2017, pada saat melakukan agenda evaluasi Operasi Tinombala di Mapolres Poso, Sulawesi Tengah.
Perpanjangan ini disampaikan oleh Unggung Cahyono berdasarkan permintaan Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen (Pol) Rudi Sufahriadi agar dapat mencari dan menangkap 9 (sembilan) orang sisa dari kelompok teroris Santoso.

Alasan perpanjangan masa operasi selama 3 bulan – yang seharusnya telah berakhir pada tanggal 3 April 2017 mendatang – juga dilakukan untuk memberikan rasa aman warga masyarakat di Poso.

Kata Yati dalam realisnya perlu untuk diperhatikan bahwa pengambilan keputusan atas perpanjangan Operasi Tinombala yang ke empat ini dilakukan secara sepihak tanpa penjelasan kepada publik tentang evaluasi oleh Polri atas Operasi Tinombala, selain belum berhasil ditangkapnya sisa 9 (sembilan) orang DPO jaringan kelompok Santoso CS atau Mujahidin Indonesia Timur.

“Kami memantau ketika proses pelumpuhan jaringan Santoso cs, Mabes Polri nampak optimis untuk membekuk kelompok teroris ini, mengingat jumlah senjata dan posisi yang terdesak dari para pengikut Santoso,”ujar Yati.

Namun demikian, kata Yati sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ukuran evaluasi tidak hanya dapat dinilai dari sejauh mana kelompok Santoso CS terdesak di satu titik, namun juga harus diperhitungkan sejauh mana rasa aman warga terjamin, tidak ada ruang kriminalisasi, teror, restriksi hak-hak asasi yang tidak penting dan ketersediaan akses pengaduan hingga pemulihan apabila ada kesalahan dalam prosedur operasi keamanan.

Untuk itu, kami mengemukakan beberapa hal sebagai catatan utama terkait perpanjangan Operasi Tinombala yakni sebagai berikut:

Pertama, KontraS menemukan setidaknya 32 peristiwa penembakan dan penangkapan sewenang-wenang terjadi sepanjang pemburuan kelompok teror Santoso CS dan Majelis Mujahidin Indonesia Timur. Kami juga mengkhawatirkan situasi keamanan di Poso yang tidak kunjung membaik meskipun beberapa orang anggota Santoso CS telah dibekuk. Warga kebanyakan takut untuk beraktivitas, seperti pergi berladang, ke pasar atau bahkan ke sekolah.

Artinya, penanganan terorisme hanya melalui pendekatan keamanan justru tidak banyak menghasilkan perubahan dan dampak yang signifikan. Negara masih belum menyentuh aspek keamanan insani; keamanan yang berbasis pada agenda HAM dan pembangunan dari manusia-manusia di wilayah pasca konflik atau pasca teror. Pendekatan ini justru jauh lebih adil dan berkelanjutan untuk mencegah keberulangan aksi teror terjadi di Poso.

Situasi ini dalam catatan kami menjadi oksimoron membaca praktik penanganan terorisme di lapangan jika dikaitkan dengan ide penanganan terorisme berbasis penegakan hukum dan agenda akuntabilitas yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus, terkait bagaimana upaya penanganan terorisme dilakukan serta seperti apa pasca operasi anti-teror diterapkan di suatu wilayah (Baca Poin 4 dari Daftar Inventarisir Masalah versi KontraS).

Di sisi lain, persoalan akuntabilitas – mekanisme koreksi dan pencegahan – masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah disentuh secara serius oleh pemerintah. Siapa yang memantau dan mengevaluasi kerja-kerja Densus 88 dan Brimob di lini kepolisian dan elite-elite militer tangkal terorisme di TNI ketika operasi penindakan dan ‘operasi militer selain perang’ digelar dengan justifikasi negara sebagaimana yang dilaksanakan di Poso. Meski tentu saja kita bisa merenteng organisasi-organisasi negara papan atas seperti BNPT, Komisi I dan III DPR RI. Tapi besar kemungkinan lempar tanggung jawab dan upaya berkelit terjadi pada aspek evaluasi anti teror.

Kedua, persoalan akuntabilitas di atas amat berkaitan dengan akses keadilan bagi korban, keluarga korban, dan juga para terduga teroris serta keluarganya secara serius. Jaminan pemenuhan dan perlindungan keadilan bagi pihak-pihak ini menjadi penting. Formulasi penanganan dan penanggulangan yang lebih strategis serta mengedepankan aspek HAM menjadi vital di tengah situasi kerentanan sosial yang tengah terjadi di Indonesia belakangan ini termasuk di wilayah konflik seperti Poso.
Terhadap korban salah tembak, salah tangkap, dan mengalami penyiksaan hingga tewas, harus mendapatkan ruang pemulihan sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 6. Artinya Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan korban harus terlibat aktif dalam ruang pengawasan dan pemulihan pada Operasi Tinombala ini.

Ketiga, apabila kedua hal di atas terus dikesampingkan dan tidak mendapatkan respons dari pengambil keputusan atau kebijakan tertinggi terkait keamanan di Indonesia yakni Presiden RI, Joko Widodo untuk segera mengevaluasi dan mengambil langkah strategis terkait situasi keamanan di Poso oleh Satgas Operasi Tinombala.

Maka akan terbuka ruang lebar agar operasi ini terus berlangsung dan diperpanjang tanpa hadirnya kontrol pengawasan yang bahkan tidak diketahui oleh publik secara luas sebagaimana pernyataan yang dikemukakan oleh Unggung Cahyono berdasarkan laporan Rudi Sufahriadi (Kapolda Sulteng sekaligus menjabat sebagai Penanggungjawab Komando Operasi Tinombala) bahwa, “Satgas akan terus mengejar mereka.

Kata Kapolda (Rudy Sufahriadi), bahwa semakin kecil jumlah DPO, justru semakin kuat dan sulit untuk di tangkap, karena punya pengalaman menghindari pengejaran”. Hal ini akan secara otomatis menghadirkan keberulangan pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah konflik seperti Poso.

Keempat, Wakapolri Komjen (Pol) Syafruddin, hari ini (Kompas, 16 Maret 2017), menyatakan bahwa seharusnya pendekatan penanganan terorisme tidak melalui cara kekerasan, tetapi dengan cara pencegahan karena,
“Tidak ada negara yang berhasil melumpuhkan aksi teror dengan cara kekerasan, bahkan untuk mengurangi aksi tersebut akan sulit tercapai”.
Sehingga, perlu ditemukan pola dan solusi penanganan yang sesuai dengan karakteristik khas situasi suatu wilayah konflik seperti Poso.
Partisipasi masyarakat daerah, keterlibatan pemerintah daerah dan sinergitas elemen pemerintahan pusat – seperti kementrian-kementrian terkait melalui instruksi presiden – harus ada dalam rangka melaksanakan pemulihan sosial untuk menjamin hak atas rasa aman warga, akses sumber ekonomi kehidupan seperti sawah, ladang, dan lainnya dapat dirasakan dan keadaan tidak kurun menjadi berlarut akibat hadirnya batas-batas wilayah daerah operasi.

Terkait persoalan di atas, di tengah pembahasan perubahan Undang-Undang 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Komisi I dan Komisi III harus memanggil unsur sektor keamanan yakni Kapolri dan Panglima TNI guna mendapatkan evaluasi terbuka dari rangkaian pelaksanaan Operasi Tinombala dan Operasi Camar Maleo di Poso.

Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Terorisme juga harus melakukan pembahasan secara terbuka agar dapat mengakomodir catatan evaluatif atas penanganan terorisme, dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM dalam pemberantasan terorisme.

Sebagai penutup, KontraS dan AKAR Poso secara khusus mengusulkan kepada para pengambil kebijakan untuk memikirkan kemungkinan menerapkan pendekatan DDR – Disarmament (pelucutan senjata), Demobilisation (demobilisasi), Reintegration (reintegrasi) jika kuat dugaan sebaran senjata api dan kelompok kombatan masih berada di tengah warga Poso. DDR hanya dapat dilakukan jika pemerintah membuka ruang negosiasi kepada jaringan Santoso CS dan MIT yang tersisa. Tentu saja dengan pertimbangan bahwa ongkos sosial bisa tercipta dan terrawat setelah DDR dilakukan. ***

Jakarta, 17 Maret 2017

Hormat Kami,
1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
(Koordinator KontraS, Yati Andriyani : 0815-8666-4599)
2. Lembaga Bantuan Hukum Poso (LBH Poso)
(Moch. Taufik : 0813-5448-6330)
3. Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Tengah (LBH Sulteng)
(Abdul Razak : 0852-9860-9111)
4. Koalisi Masyarakat Poso (AKAR Poso)
(Jimmy Methusala : 0823-9333-6179)
5. Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM)
(Nurlaela Lamasitudju: 087844015311)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top