Mencermati panitia khusus (pansus) hak angket di DPRD Sulsel terhadap pemerintahan kebijakan Gubernur Sulsel Prof HM.Nurdin Abdullah – Andi Sudirman Sulaiman (Prof Andalan), makin terang benderang siapa yang berbohong dan siapa yang curang.
Mantan PJ Kadis Bina Marga dan Kabiro Pembangunan Pemprov Sulsel Ir.H.Jumras, M.Si dihadapan sidang hak angket “menyudutkan” Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, dengan menyebutkan telah memberikan 17 paket penunjukan langsung ke keluarga mantan bupati Bantaeng dua periode itu.
Tapi dari saksi kunci, yang dihadirkan panitia khusus hak angket Senin (15/7-2019), Andi Irfan Jaya mengungkap fakta yang sebenarnya.
Tuduhan sang mantan Kabiro Pembangunan Jumras bahwa ada dua pengusaha yang hendak “menyogoknya” untuk paket beberapa proyek bernilai miliyaran rupiah, ternyata hanya “bualan” Jumras.
Karena faktanya sesuai keterangan Irfan Jaya, justru Jumra diduga telah menerima fee 7,5% dari seorang pengusaha yang terkesan dilindunginya.
Fakta baru ini harus diusut oleh aparat penegak hukum. Sebab ternyata dijaman anti korupsi ini, masih ada oknum pejabat berani menerima fee dari seorang pengusaha.
Pemberian 17 paket ke keluarga Gubernur NA yang disebutkan Jumras dalam sidang hak angket adalah bentuk dan cara Jumras bersembunyi dari balik dugaan pemberian dan penerimaan fee 7,5% dari seorang pengusaha yang disebut Irfan Jaya bernama Hartawan.
Dan memang kenyataannya Hartawan mendapatkan proyek puluhan miliyar yang ditangani Jumras itu. Padahal dari hasil lelang perusahaan Hartawan berada pada urutan ke 3 sebagai pemenang kata Irfan dihadapan pansus hak angket DPRD Sulsel.
Celakanya lagi, Jumras “berbohong” dengan mengaku mau diberi fee 200 juta dari dua orang pengusaha yakni Anggu dan Ferry. Jadi ingat bait lagu bang Iwan Fasl “Maling teriak maling simbunyi dibalik dinding, pengecut lari terkencing-kencing.”
Hikma dibalik hak angket DPRD Sulsel yang dimotori Kadir Khalid (Fraksi Golkar) itu, justru publik melihat secara terang benderang bahwa Jumras patut diduga bermain fee. Ibarat pepatah mengatakan “Menepuk air dalam dulang kepercik kemuka sendiri.”
Menuduh orang lain, tapi kenyataannya justru kelihatan dirinyalah yang melakukan hal curang, gratifikasi dan berbau koruptif itu.
Praktek fee 7,5% yang diduga dilakukan Jumras perlu dibawa keranah hukum. Prilaku dugaan korup sang mantan pejabat pemprov Sulsel itu perlu diuji secara hukum. Sebagaimana pernyataan Andi Irfan Jaya dalam kesaksiannya dihadapan Pansus Hak Angket.
Fee 7,5 persen dari total anggaran dua paket proyek jika nilainya masing-masing Rp,34 miliyar kali dua (Rp,68 miliyar), berarti nilai nominal feenya mencapai Rp, 5,1 miliyar.
Berlabuh kemana fee 7,5 persen itu? Apakah hanya masuk ke kantong Jumras ataukah ada orang lain yang mendapatkanya? Lagi-lagi perlu diuji secara hukum.
Berikut ini pernyataan Irfan Jaya dihadapan pansus hak angket dikutip di Pojoksulsel.com.
“Kebetulan saya kenal beliau (Andi Sumardi Sulaiman), sehingga kami pun janjian ketemu di salah satu café. Karena café yang ingin kami tempati tutup di saat itu, maka kami pindahkan ke barbershop saya di lantai dua. Sebelum pertemuan, tanpa sepengetahuan Pak Sumardi saya menghubungi dua teman saya (Ferry dan Anggu) mengajaknya bergabung. Tentu tujuannya akan membicarakan proyek di Sulsel bersama Pak Sumardi,” beber Irfan Jaya.
“Di hari itu juga, Pak Jumras mempertemukan pengusaha yang bernama Hartawan dengan Ferry dan Anggu. Saya ikut di pertemuan itu. Pengakuan Hartawan sulit menyerahkan proyek tersebut. Alasannya, ia sudah mengeluarkan fee seperti yang disampaikan Jumras,” beber Irfan Jaya.
“Kenapa saya berharap sidang ini dibuka, biar bisa terang benderang. Kenapa? Karena saya mendengar dan mengikuti waktu pertemuan Jumras, Anggu, Ferry, dan Hartawan. Dan saya juga saksikan, kalau di pertemuan tersebut tak ada penyerahan uang 200 juta, seperti isu yang muncul. Termasuk tak ada saya dengar pembahasan di pertemuan itu kalau Ferry maupun Anggu yang katanya meminta balas jasa karena ikut membantu Pak Nurdin Abdullah di Pilgub. Jadi mohon ini diluruskan semua,” pungkasnya.
Semoga saja duet Prof Nurdin Abdullah – Andi Sudirman Sulaeman membawa Sulsel lebih baik dan jaya. Paling tidak ke dua pemimpin Sulsel itu dapat berbagi peran sesuai tugas pokok dan fungsinya (Tupoksinya) sebagai mana yang digariskan dalam undang-undang pemerintahan daerah.
Hak Angket DPRD Sulsel adalah cara Allah SWT menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya terhadap orang-orang yang disayangi dan dikaruniakan kebajikan serta amanah kepemimpinan.
Sebetulnya Hak Angket Anggota DPR/DPRD adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan..
Surat Keputusan Wakil Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiam terhadap pengangkatan ratusan pejabat eselon III dan IV salah satu poin yang masuk ranah hak angket DPRD Sulsel. Padahal SK Wagub terkait pengangkatan pejabat eselon III dan IV itu sudah selesai melalui komisi ASN, Menpan dan Mendagri.
Namun demikian kita ambil saja nilai positifnya yakni untuk membangun keharmonisan antara Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel sekarang dan kedepan.
Hak Angket sebetulnya secara positif adalah teguran bagi Wagub Sulsel agar tidak lagi bertindak diluar kewenangan dan tupoksinya. Begitupun Gubernur Nurdin Abdullah agar senantiasa membangun koordinasi dan kebersamaan didalam pengambilan keputusan. Sehingga tak ada lagi hak angket kedepan yang menguras tenaga, fikiran, perhatian dan tentu saja anggaran biaya persidangan.
Karena masih banyak daerah Kabupaten di Sulsel yang butuh biaya pembangunan, baik ruas jalan, jembatan, pertanian dan perkebunan. Sementara banyak potensi sumber daya alam yang membutuhkan perhatian serius untuk diolah demi kesejahteraan masayarakat Sulsel. ***