Kebijakan Gubernur Sulawesi Selatan Prof Nurdin Abdullah mencopot Jumras dari jabatannya sebagai Kepala Biro Pembangunan Pemprov Sulsel, mendapat pembelaan serius oleh Mulawarman.
Mulawarman yang mengaku pemerhati sosial dan politik itu, sepertinya “sakit hati” melihat Jumras yang mantan PLT Kadis Bina Marga Sulsel itu dicopot dari jabatannya.
Tak pelak lagi, dengan mengutip teori ahli kepemimpinan John C Maxwel, Mulawarman menganggap Nurdin Abdullah bukan lagi pemimpin. Alasannya karena memarahi Jumras didepan staf yang lain, lalu mencopotnya. Padahal, meninggikan pernyataan terhadap bawahan, bukan berarti memarahi, tapi intonasi itu adalah penegasan.
“Karenanya Saya menganggap Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah, sejak memimpin Sulsel delapan bulan terakhir, bukan lagi seorang pemimpin,”kata Mulawarman dalam sebuah opininya yang ditayangkan Tribun-timur.com Senin (29/4-2019) di kolom Opini.
Mulawarman memang dikenal kritis, tulisan opininya kerab menohok para pengambil kebijakan di Negeri ini. Namun lain halnya dengan tulisan opininya yang seakan-akan menunjukkan pembelaannya terhadap Jumras yang dicopot dari jabatannya oleh Gubernur Nurdin Abdullah pemilik proregatif menempatkan dan mencopot pejabat di jajaran pemerintahan yang dipimpinnya.
Ada apa sebenarnya difikiran Mulawarman, sampai-sampai harus menunjukkan pembelaannya lewat tulisan opininya terhadap Jumras? Apakah ada pesan-pesan sponsor dari pengusaha tertentu atau mantan pejabat Sulsel yang merasa kecewa dengan pencopotan Jumras itu?
Mulawarman memang buka kali pertama mengkritisi kebijakan dan kepemimpinan Nurdin Abdullah. Dan Kritikan itu sah-sah saja, agar pemerintah juga lebih berhati-hati didalam mengambil kebijakan yang pro rakyat.
Namun dengan tulisan Mulawarman yang seakan-akan “membela mati-matian” Jumras patut dipertanyakan ada apa? Apakah Jumras mengadu atau minta pembelaan ke Mulawarman lewat opininya di media massa untuk menyerang Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah secara Verbal (kalimat/kata-kata)? Ataukah memang ada hubungan emosional antara Jumras dan Mulawarman. Misalnya hubungan satu kampung atau ada pertalian darah.
Apalagi sampai menjustifikasi bahwa dua orang rekanan Cina Anggu dan Fery orang suruhan Gubernur Nurdin Abdullah penyebab dicopotnya Jumras karena tidak mau memberikan tiga proyek jalan di Sulsel yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja Negara melalui dana alokasi khusus (DAK) 2018-2019.
Kata kontraktor Cina sebetulnya menunjukkan pernyataan rasisme. Sebab di Negeri kita ini, semuah suku, etnis, adat istiadat dan agama berhak hidup berdampingan. Apalagi jika itu untuk kemajuan Bangsa dan Negara.
Tidak berhenti sampai disitu, tapi lagi-lagi Mulawarman menuding Nurdin Abdullah banyak masalah dugaan korupsi ketika menjabat Bupati dua periode di Bantaeng.
Sepertinya akumulasi kekecewaan Mulawarman terhadap Gubernur Nurdin Abdullah atas dicopotnya Jumras membuat dirinya mengungkit-ngungkit tuduhan-tuhan oknum yang menyebut beberapa dugaan korupsi dan proyek mangkrak di Bantaeng saat dipimpin 2 periode oleh Nurdin Abdullah.
Para pemimpin terdahulu Sulsel tidak ada yang Nampak karyanya dengan masa pemerintahan baru 9 bulan. Tapi butuh 5-10 tahun. Sebut saja, kepemimpinan Dr.Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’man, nanti kelihatan ada kemajuan pada periode ke 2. Karena tak ada perubahan besar dalam waktu singkat dan instan. Tapi butuh waktu.
Pasang Prof Nurdin Abdullah – Andi Sudirman Sulaiman (Prof Andalan), bukan dipilih 1 orang saja, tapi 46 perse dari total wajib pilih 6.159.375 orang. Sehingga tidak rasional, hanya karena Jumras dicopot atau dimarahi, lantas Nurdin Abdullah bukan lagi seorang pemimpin. Apatah lagi, seorang pimpinan wajarlah jika marahi bawahan atas kesalahan yang dilakukannya, yang penting tidak main kasar, seperti memukul. ***