Oleh : Andi Attas Abdullah (Bang Doel)
Dalam sidang lanjutan di Mahkama Konstitusi (MK) RI di Jakarta 23 Januari 2025, telah tergambar bahwa semua dalil yang diajukan pemohon paslon Ahmad Ali – Abdul Karim Al Jufri (BERAMAL), terkait dugaan pelanggaran pemilihan umum kepala daerah (Pimilukada) atau pemilihan Gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tengah 27 November 2024 terbantahkan semua oleh pihak termohon (KPU) dan pihak terkait yang dikuatkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Semua dalil-dalil pelanggaran yang diajukan pemohon telah terbantahkan dengan terang benderang dihadapan majelis hakim MK yang dipimpin Arief Hidayat yang didampingi Anwar Usman dan Enny Nurbaningsi.”
Sehingga dapat diprediksi MK akan menguatkan keputusan KPU Sulteng dengan demikian Anwar Hafid – Reny A Lamadjido sebagai peraih suara terbanyak yakni 724.518 atau 45 persen dari jumlah pemilih yang sah akan ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur sulteng terpilih periode 2025 – 2030.
Berdasarkan rekapitulasi hasil perhitungan berjenjang yang ditandai dengan keputusan KPU Sulteng dapat diketahui bahwa perolehan suara sah paslon nomor urut 2 Anwar – Reny ini sebanyak 724.518 suara atau 45 persen.
Sedangkan Paslon nomor urut 1.Ahmad Ali -Abdul Karim Al Jufri mendapatkan 621.693 suara atau 38,6%.
Kemudian paslon nomor urut 3, H. Rusdy Mastura – Sulaiman Agusto memperoleh 263.950 suara atau 16, 4 %.
Perolehan suara ketiga paslon gubernur dan wakil gubernur Sulteng itu sesuai keputusan kpu provinsi Sulawesi Tengah nomor 434 tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tengah tahun 2024.
Dari Keputusan hasil KPU Sulteng itu terdapat selisih sangat jauh antar paslon nomor urut, 1 yang bertagline BERAMAL dengan nomor urut 2 dengan tagline BERANI yaitu sebanyak 6,4% atau 102.825 Suara.
Dalam keterangannya dihadapan majelis hakim MK, Bawaslu Sulteng menegaskan tidak ada pelanggaran, intimidasi dan upaya menghalang-halangi masyarakat untuk menggunakan hak konstitusionalnya.
Karena persoalan KTP harus disertakan pada saat hendak melakukan pencoblosan adalah keharusan sebagaimana diatur dalam aturan yang berlaku yang menjadi pedoman KPU.
Salah seorang advokat asal Sulteng di Jakarta Suprianus Kandolia, SH menegaskan bahwa gugatan Paslon BERAMAL ke MK tidak releval.
Karena di MK itu sudah jelas patokannya yang masuk inti yang diadili yakni selisih perolehan suara. Untuk kelas Sulteng standar selisih suaranya yaitu 1,5 persen, itu yang masuk ranah PHP yang diadili MK. Sedangkan hasil perolehan suara pihak terkait dengan pemohon sangat jauh yakni 6,4 persen.
“Kemudian terkait KTP, itu KPU sangat benar, dimana seorang calon pemilih harus membawa KTP saat ke TPS sekalipun membawa surat panggilan. Contoh, ketika kita hendak naik pesawat dari Palu ke Jakarta, sekalipun kita membawa Boarding pass tapi tidak bisa menunjukkan KTP, maka tidak dilayani atau tidak dapat terbang dengan pesawat pada Boarding pass yang kita bawa, sebab tidak dapat menunjukkan KTP sesuai nama yang tertera dalam
Boarding pass itu,”tegas lelaki yang akrab disapa Nyong Kandolia itu.
Sebelumnya beberapa praktisi hukum, pengamat kebijakan publik dan Politik, seperti Prof Dr.Slamet Riayadi Cante, M.Si, mantan komisioner KPU Dr.Naharuddin, SH, MH yang juga saksi ahli KPU Sulteng menilai materi atau dalil yang diajukan Pemohon (Paslon BERAMAL) tidak relevan dengan apa yang menjadi obyek sengketa sebagaimana kewenangan MK.
Gugum Ridho Putra, SH, MH tim hukum Pihak terkait Paslon Anwar – Reny, dari kantor hukum Ihza & Ihza (law firm) bersama Dr.Mardiman Saiman, SH, MH dihadapan majelis hakim MK, meminta majelis hakim memutuskan perkara PHP Pilgub Sulteng dengan Dismissal atau N,O.
Prediksi putusan dismissal oleh MK pada tanggal 4-5 Februari 2025 yang akan menguatkan keputusan KPU Sulteng atas pemenang Pilgub dan Pilwagub Sulteng Paslon nomor urut 2 Dr.Anwar Hafid, M.Si – dr.Reny A Lamadjido, semakin jelas dan tergambar dari keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menunda pelantikan kepala daerah serentak tanggal 6 Februari 2025 ke tanggal 17 atau 20 Februari 20250 di Istana Negara oleh presiden Prabowo Subianto.
Dikutip pada tulisan Abdul Gofur (Penilai Pemerintah Ahli Pratama KPKNL Bengkulu), menyebutkan karena insting dan naluri seorang Hakim Konstitusi senantiasa mengarahkan dan menuntun seorang hakim untuk memiliki pemahaman yang baik terhadap prinsip-prinsip moral dan kehendak yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar sebagai sebuah volkgeist (jiwa bangsa).
Sehingga mereka diberikan kepercayaan penuh untuk melakukan menguji/Judicial Review sebagai bentuk refleksi atas peran Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Konstitusi.
Kesembilan hakim konstitusi terpilih di antara lebih dari 200 juta penduduk Indonesia ini memiliki hak, kewajiban, dan wewenang untuk menyatakan apa yang mereka pikirkan serta diinginkan oleh Undang-Undang Dasar.
Oleh karena itu, mereka merupakan orang-orang terbaik yang terpilih untuk mewakili, melindungi, dan memutuskan perkara yang melibatkan hak konstitusional seseorang yang terancam dan keputusan mereka akan berdampak pada semua lapisan masyarakat.
Konsep ini membawa kita pada pemahaman bahwa keputusan yang dihasilkan oleh kesembilan hakim ini mencerminkan kebijaksanaan kolektif.
Oleh karena itu, diperlukan sistem panel yang berkualitas dan profesional untuk mencapai keputusan yang merangkul setiap aspek masyarakat,.
Salah satu panduan yang dapat digunakan adalah Bangalore Principle Conduct, yang merupakan instrumen hukum internasional yang memberikan prinsip-prinsip panel yang ideal dan objektif.
Jika kita melihat dengan lebih komprehensif, prinsip-prinsip ini didasarkan pada tesis Alexander Hamilton dalam karyanya yang berjudul The Judiciary Department, di mana Hamilton menguraikan tiga hal mendasar yang perlu diatur dalam pengisian jabatan hakim, yaitu proses pengangkatan hakim, masa jabatan, dan pembagian kewenangan lembaga peradilan di berbagai pengadilan, serta hubungan antara lembaga-lembaga tersebut.
Lebih jauh lagi, gagasan Hamilton tersebut dikembangkan oleh Thomas Ginsburg dan mengidentifikasi pola pengangkatan hakim ke dalam dua aspek; metode perekrutan hakim dan pelaksanaan perekrutan hakim. Mengenai metode pertama, terdapat empat konsep yakni:
Single-body appointment mechanism, professional appointments, co-operative appointment mechanism, dan representative appointment mechanisms.
Sementara itu, terkait pelaksanaan perekrutan hakim, Ginsburg juga membaginya menjadi empat,
yaitu appointment by political institutionsappointment by the judiciary itself, appointment by a judicial council (which may include non-judge members),
dan selection through an electoral system.
Jika diterapkan pada konteks pengangkatan hakim konstitusi di Indonesia, proses perekrutan sebenarnya menggunakan sistem split and quota yang melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MA, dan Presiden.
Dengan demikian, berdasarkan pemikiran Thomas Ginsburg, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang menerapkan pola co-operative appointment mechanism.
Namun, pola yang saat ini ditetapkan dalam konstitusi yang menyerahkan proses perekrutan hakim konstitusi kepada tiga lembaga negara dilakukan tanpa adanya standar operasional prosedur yang jelas dan baku.
Hal ini menyebabkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip lembaga peradilan yang tercermin dari konsep trifurkasi saat ini.
Implikasinya adalah adanya perbedaan dalam kualitas dan integritas dalam melaksanakan tugas sebagai Hakim Konstitusi. ***