Bang Doel (deadline-news.com)-Dikutip di kailipost.com Gubernur ke 10 Sulawesi Tengah Rusdy Mastura yang akrab disapa Cudy mengaku sepakat Gubernur Anwar Hafid “ngamuk” di hadapan rapat dengar pendapat (RDP) dengan kmoisi II DPR RI.
Karena itu menunjukkan harga diri Sulteng sebagai daerah penghasil, mesti tidak sebanding dengan asas manfaat.
‘’Bagus Pak Anwar (gubernur) bicara begitu. Vale juga lalu saya tolak perpanjangan kalau tidak jelas. Sulteng harus capai PAD lima triliun. Agar pak gub bisa realisasi semua programnya,’’ ujar Cudi, mantan Wali Kota Palu dua periode itu.
Di masanya, empat tahun (satu periode) menaikkan fiskal Rp1,4 triliun. Dari Rp900 miliar menjadi Rp2,2 triliun.
Gubernur Anwar, kata Cudi dan jajarannya mesti mengenjot fiskal. Agar dapat belanja langsung kegiatan pro rakyat.
Ia juga setuju pajak di mulut industri tambang. Pajak permukaan air di CPM, IMIP, GNI dan perusahaan tambang lainnya.
‘’Saya yakin bisa lima (5) triliun. Kita dukung beliau,’’ tandas Cudi.
Sementara itu Anggota Komisi II DPR RI, Longki Djanggola, mendorong Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan pemerintah kabupaten serta kota di wilayah tersebut untuk meniru langkah progresif yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Mimika, Papua Tengah, dalam pengelolaan dana dari sektor pertambangan.
Hal tersebut disampaikannya saat Pertemuan Komisi II DPR RI dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten/Kota di Ruang Polibu, Kantor Gubernur Sulteng, Rabu (7/5-2025)
“Saya baru saja berkunjung ke Mimika dan berdiskusi langsung dengan Bupati Mimika. Saya berharap pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi di Sulteng mau melakukan studi tiru ke Mimika. Di sana, Freeport memberikan kontribusi langsung yang masuk dalam batang tubuh APBD,” ungkap Longki.
Menurut penuturan Bupati Mimika, Johannes Rettob dana kontribusi dari Freeport Indonesia mencapai Rp1,5 triliun dan masuk langsung ke kas daerah Kabupaten Mimika maupun Pemerintah Provinsi Papua Tengah.
Dana tersebut disalurkan melalui regulasi resmi yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.
“Pak Bupati bahkan mengundang Dinas Pendapatan untuk menjelaskan langsung kepada saya, dan saya melihat ini sebagai model yang sangat ideal. Harusnya, aturan seperti ini juga berlaku di seluruh Indonesia, bukan hanya di Papua Tengah,” lanjut Longki.
Longki kemudian menyinggung potensi tambang yang ada di Sulawesi Tengah seperti PT Citra Palu Minerals (CPM) dan kawasan industri Morowali (IMIP), yang menurutnya belum memberikan kontribusi fiskal yang setara dengan besarnya nilai ekspor yang dihasilkan.
“Kita di sini punya CPM, IMIP, dan lainnya. Tapi apa sumbangsih nyata mereka bagi daerah ini? Gubernur Anwar Hafid mengeluhkan dana bagi hasil hanya sekitar Rp200 miliar, sementara nilai ekspor dari sektor tambang bisa mencapai Rp500 triliun. Ini tidak adil,” tandas Longki.
Ia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap minimnya perhatian pemerintah pusat terhadap daerah penghasil tambang seperti Sulteng.
“Apakah kita harus menjadi gerombolan dulu baru diperhatikan? Jangan sampai pemerintah daerah dibiarkan tanpa kepastian kontribusi fiskal dari korporasi-korporasi besar yang mengambil sumber daya daerah,” imbuhnya.
Longki menutup pernyataannya dengan harapan agar Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah segera mengambil langkah konkret untuk mendorong pembagian hasil tambang yang adil, termasuk melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan kementerian teknis terkait.
Menyikapi sorotan Gubernur Anwar Hafid terhadap Dana Bagi Hasil (DBH) yang tidak adil itu, Selasa lalu (6/5-2025) Menteri Bappenas Prof. Dr. Ir. Rachmat Pambudy, M.Si, mengundang Gubernur Sulteng Anwar Hafid membahas rencana ratio DBH yang pantas dan adil untuk Sulteng. ***