Senin 5 November 2018, genap dua bulan atau 60 hari Prof Dr.Ir.HM.Nurdin Abdullah, M,Agr berkantor di jalan Urip Sumoharjo no.269 Panaikang Makassar Sulawesi Selatan, setelah dilantik 5 September 2018, di Istna Negara oleh Presiden Ir.H.Joko Widodo bersamaan 8 pasang gubernur lainnya. Dan Kritikan DPRD Sulsel pun makin kencang.
Secara umum, masa 60 hari kerja Gubernur Sulsel baru itu, belum ada yang nampak secara fisik. Tapi baru mulai membenahi struktural pejabat pemerintahannya, perubahan system percepatan pembangunan secara menyeluruh melalui tim perceptan pembangunan daerah (TP2D).
TP2D bentukan mantan Bupati Bantaeng 2 perioed itu, berkantor di salah satu ruangan di kantor Gubernur jalan Urip Sumoharjo. TP2d itu membantu Gubernur Sulsel prof Nurdin Abdullah – Andi Sudirman Sulaiman, ST mengawal pembangunan Sulsel 5 tahun sekarang dan kedepan. Tugas Pokonya diantaranya adalah mulai dari penganggaran dan perencanaan.
TP2D itu menjadi sorotan anggota DPRD Sulsel, terkhusus komisi E Kadir Khalid. Ia menilai TP2D terlalu banyak mencampuri urusan organisasi perangkat daerah (OPD). Sampai-sampai ketua komisi E itu, “mengancam” akan menggunakan hak angkat (adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa) .dan hak interplasi (adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara).
Padahal dengan kehadiran TP2D itu akan membongkar dugaan praktek permainan kontor antara oknum anggota DPRD dengan OPD. Sebut saja dana titipan atau biasa disebut dana aspirasi. Program aspirasi untuk pembangunan bagi anggota DPR mungkin tidak bermasalah. Tapi yang menjadi persoalan jika oknum anggota DPR meminta atau mendapatkan fee 25-30 persen dari total anggaran program pembangunan yang menjadi aspirasi masyarakat dan disuarakan atau dianggarkan oleh DPR.
Dugaan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) melalui dana titipan berkedoak rationalisasi anggaran untuk menyahuti aspirasi oknum anggota DPRD yang dianggap tidak tersentuh oleh program pemerintah (OPD), akan terbongkar oleh TP2D. Dan mungkin hal inilah yang ditakutkan terbongkar, sehingga oknum anggota DPRD mempersoalkan kehadiran TP2D itu.
Padahal DPR sebagai manivestasi wakil rakyat mestinya bersinergi dengan pemerintah, untuk membangun Sulsel yang makin baik atau lebih baik lagi, dengan tidak abai dalam melakukan pengawasan. Karena dua hal lainnya yakni penganggaran dan pembuatan peraturan daerah (Perda) adalah kewajiban dan hak bersama antara anggota DPRD (Legislatif) dan Pemerintah (eksekutif). Tapi soal pengawasan sepenuhnya hak dan kewajiban anggota DPR.
Misalnya jika keputusan dan kebijakan Gubernur (Pemerintah) atas kerja sama dengan TP2D tidak berpihak ke masyarakat dan membahayakan Bangsa ini, maka kewajiban dan hak DPRD mengawasi dan mengkritisinya. Bahkan dapat memakzulkannya jika kebijakan pemrintah (Eksekutif) itu menimbulkan ekses buruk di Masyarakat.
Semoga saja, kerjasama antara DPRD (Legislatif) dan Pemerintah (eksekutif) dapat terjalin dengan baik untuk Sulsel yang lebih baik lagi sekarang dan kedepan, dengan tidak meninggalkan tupoksinya yakni pengawasan. Dan bagi Kepala OPD yang merasa terganggu, sehingga melapor ke DPRD, sebaiknya segera diganti. Sebab akan jadi parasit terhadap kebijakan Gubernur Prof Nurdin Abdullah.
Karena secara struktural, pimpinan kepala OPD itu adalah Gubernur, Wakil Gubernur dan Sekdaprov. Sehingga apapun kebijakan pimpinan sepanjang untuk kepentingan umum dan tidak menyalahi aturan, maka sudah selayaknya didukung dan dijalankan, buka malah mengadu ke DPRD yang notabene lembaga politik, yang bisa saja mempolitisasi sebuah persoalan eksekutif untuk mengakomodasi kepentingan politiknya. ***