Banyak orang suka berkontestasi dalam berbagai momen. Tapi hanya sedikit yang memiliki sikap kesatria dan menjunjung sportifitas.
Padahal sejak awal sudah berikrar “siap menang siap kalah”. Tapi apa lacur, ikrar itu hanya sebatas lisan, pemanis bibir untuk mendapatkan simpati konstituen. Karena terbukti diduga para kontestan politik dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) “tidak siap menerima kekalahannya”.
Berbagai isu dikembangkan untuk melegitimasi bahwa dia kalah karena terjadi kecurangan. Coba jika dia menang, pastilah diam-diam saja dan menganggap bahwa momen kontestasi itu sudah benar, jujur, adil dan rahasia tanpa kecurangan.
Celakanya lagi paslon yang kalah terkadang menggunakan massa menekan, memaksa dan mengintimidasi penyelenggara pemilukada.
Bahkan di salah satu daerah, ada tim paslon yang kalah mengancam menyandera anggota KPU dan Bawaslu dan mengintimidasinya agar para komisioner itu mau bertanda tangan untuk melakukan PSU.
Kata Prof Mahfud MD, bagi pasangan calon dalam kontestasi politik seperti pemilukada, komisi pemilihan umum (KPU) itu selalu dianggap salah.
“Bagi yang kalah dalam kontestasi politik seperti Pimilukada, KPU itu tidak ada benarnya,”kata mantan ketua Mahkama Konstitusi (MK) RI Prof Mahfud MD dalam video testimoninya yang viral diberbagai group-group media sosial (Medsos).
Melihat dan mencermati Pemilukada di sulawesi tengah 27 November 2024 ini, isu-isu kecurangan dan rendahnya partisipasi pemilih yang dialamatkan ke KPU menjadi bahan bagi paslon yang kalah dalam mendorong PSU.
Padahal urusan memilih atau tidak itu adalah hak politik warga negara yang dijamin oleh undan-undang. Karena dalam pemilu tidak satupun lembaga pemerintah yang berhak memaksa warganya untuk memilih.
Jika dibandingkan dua pemiihan umum daerah (Pemilukada) sebelumnya yakni Pilkada 2015 partisipasi masyarakat diangkat 67 persen.
Kemudian Pemilukada tahun 2020, partisipasi masyarakat pemilih mencapai 70,9 persen dan pemilukada tahun 2024, mengalami peningkatan yakni 72,6 persen.
Lalu apakah rendahnya partisipasi masyarakat untuk memilih menjadi halangan legitimasi hasil Pemilukada tahun 2024 ini?
Mantan anggota komisi pemilihan umum (KPU) Sulawesi Tengah Dr.Naharuddin, SH, MH menjawab media ini Selasa lalu (3/12-2024) mengatakan rendahnya partisipasi masyarakat untuk memilih, tidak mempengaruhi dan membatalkan hasil pemilukada.
“Karena memilih itu hak orang, tidak bisa dipaksa orang datang atau tidak ke TPS. Masa pemilih rendah karena orang malas, apatis, golput mempengaruhi legitimasi pemilu? Terkecuali jika orang itu dipaksa tidak datang, intimidasi, atau kebijakan kantor pegawai dipersuli, itu baru bisa digugat,”jelas Akademisi Untad itu.
Terkaiat isu rendahnya partisipasi pemilih dan dugaan kecurangan menurut paslon yang kalah, maka diduga mereka mendorong pemungutan suara ulang (PSU) dengan melakukan pengumpulan kartu tanda penduduk (KTP) dengan imbalan bervariasi Rp, 150 ribu, Rp, 250 hingga Rp, 500 ribu per KTP.
Adalah M Syarif (35) mengaku didatangi dan diminta KTPnya dengan dijanjikan uang Rp, 150 ribu dan diambil disalah satu kantor Partai Politik pengusung Paslon tertentu itu.
“Kami didatangi dan dimintai KTP lalu dijanjikan uang Rp, 150 ribu tapi ambilnya disalah satu kantor Partai Politik pengusung Paslon itu. Katanya mau PSU jadi kami dimintai kumpulkan KTP dengan janji imbalan Rp, 150 ribu per KTP, “jelas Syarif.
Menurut Syarif orang yang datang kepadanya meminta mengumpulkan KTP mengaku dari tim sukses salah satu Paslon. Namun sayangnya Syarif tidak tahu nama tim paslon tersebut. Tapi Syarif mengaku kalau ketemu masih kenal dan tahu wajahnya.
Diharapkan sekarang dan kedepan bagi figur-figur publik yang ingin berkontestasi dalam dunia politik, harus siap menang dan siap kalah. Apalagi jika perbedaan perolehan suaranya jauh dari apa yang dipersyaratkan untuk layak digugat ke MK.
Kedewasaan berpolitik harus dimiliki oleh setiap tokoh-tokoh politik, sekalipun menggugat ke MK itu pilihan dan hak bagi paslon yang kalah.
Karena menjadi pemenang dalam kontestasi apapun itu adalah takdir. Dan takdir itu tidak dapat dinilai serta dibeli dengan uang. ***