“Longki Djanggola Terkesan Intervensi Penegakkan hukum”
Bang Doel (deadline-news.com)-Palu- PT.Sinar Putra Murni dan Sinar Waluyo (SPM-SW) sejak tahun 1989 sudah membangun perumahan di lokasi hak gunan bangunan (HGB) tepatnya di kelurahan tondo kecamatan Palu Timur waktu itu sekarang kecamatan Mantikolore Kota Palu Sulawesi Tengah.
“Perseroan kami sudah membangun sejak tahun 1989 dengan nama BTN Bumi Roviga, jadi bukan tanah terlantar. Dan satu-satunya perusahaan yang berani berinvestasi di Kota Palu ketika itu,”kata Sahlan Lamporo, SH, MH kuasa hukum PT.SPM dan SW Kamis (13/2-2025) menanggapi pernyataan anggota komisi II DPR RI Fraksi Gerindra Drs.H.Longki Djanggola, M.Si dalam rakor dengan menteri ATR/BPN Nusron Wahid.
Advokat mantan wartawan itu menegaskan bahwa Longki Djanggola, sebagai anggota Komisi II DPR RI terkesan mengintervensi proses hukum yang sedang berproses.
Sebab mantan kepala wilayah Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sulawesi Tengah Dr. Ir. Doni Janarto Widiantono, M.Eng. SC mengeluarkan surat keterangan pelepasan lahan sebesar 65 hektar ilegal dan palsu.
Padahal PT.SPM dan SW sudah memberikan 30 hektar lahan yakni masing-masing PT.SPM menghibahkan lahannya 15 hektar dan PT. SW 15 hektar.
“Dari surat keterangan pelepasan 65 hektar lahan PT.SPM dan SW itulah yang kami laporkan ke Polisi. Sebab perusahaan kami tidak pernah menyerahkan 65 hektar di lokasi lain. Sedangkan lokasi yang 30 hektar yang perusahaan kami serahkan hanya mereka gunakan 10 hektar dan 55 hektar dicaplok lokasi tanah kami ditempat lain,”jelas Sahlan.
Sementara itu Direktur operasional PT.SPM dan SW Rojak menegaskan pada tahun 2019 sudah membayar perpanjangan HGB. Sehingga lahan PT.SPM dan SW bukan tanah negara.
“Tapi hak keperdataan perusahaan kami jelas. Dan itu dicaplok dianggap sebagai tanah terlantar. Padahal bukan tanah terlantar dan hal itu sudah diuji di pengadilan PTUN pada tahun 2014 bahwa lahan HGB PT.SPM dan SW bukan tanah terlantar, tapi aktif membangun perumahan (BTN) komersial,”ujar Rojak.
Rojak dan Sahlan mengatakan bahwa perpanjangan HGB PT.SPM dan SW sampai 2045.
“Jadi surat pelepasan 65 hektar oleh Kakanwil ATR/BPN pak Doni saat itu ilegal dan Palsu. Sebab manajemen perusahaan kami tidak pernah diundang untuk melakukan permufakatan penyerahan 65 hektar lahan kami. Karena yang kami serahkah hanya 30 hektar dan itu jelas tersurat secara administrasi ada permufakatan legal antara Kakanwil ATR/BPN Sulteng dan kota sebelumnya dengan Direktur Utama PT.SPM dan SW pak Joko yang ditandai dengan akta,”ungkap Sahlan.
Kata Sahlan terkait pernyataan anggota DPR RI komisi II Longki Djanggola bahwa Presiden dan Wapres memerintahkan mengambil lahan HGB untuk pembangunan hunian tetap (Huntap), itu benar tapi harus melalui mekanisme hukum yang berlaku, bukan dicaplok begitu saja oleh pemerintah.
“Makanya kami serahkan secara sukarela 30 hektar lahan kami untuk membantu pemerintah menyediakan huntap bagi penyintas korban bencana alam gempa bumi, likuifaksi dan tsunami. Namun apa yang terjadi justru lokasi yang kami serahkan 30 hektar hanya 10 hektar yang digunakan. Ironisnya lagi 55 hektar malah dicaplok tanpa sepengetahuan manajemen perusahaan kami. Padahal mestinya harus ada permufakatan antara manajemen PT.SPM, SW dengan pemerintah. Tapi justru pemerintah sendiri sewenang-wenang mengambil lahan kami tanpa permufakatan sebagaimana diatur dalam aturan negara,”ujar Sahlan dan Rojak.
Sebelumnya anggota komisi II DPR RI Longki Djanggola meminta Menteri Nusron Wahid berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) meninjau kembali kasus hukum yang menimpa eks Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN Sulawesi Tengah (Sulteng).
Permintaan itu disampaikan oleh Ketua DPD Partai Gerindra Sulteng ini saat rapat kerja Komisi II dengan Kementerian ATR/BPN di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1-2025).
Longki menyampaikan bahwa eks Kakanwil BPN Sulteng Ir. Doni Janarto Widiantono ditersangkakan oleh penyidik Kepolisian memberikan keterangan palsu berdasarkan laporan PT Sinar Putra Murni (SPM) dan PT Sinar Waluyo (SW).
Perusahaan itu menyatakan bahwan sebanyak 55,3 hektare lahan mereka dijadikan lahan pembangunan hunian tetap (Huntap) Tondo II tanpa pelepasan hak dan ganti rugi kepada mereka sebagai pemilik hak guna bangunan (HGB).
“Mereka itu tidak tahu diuntung. HGB yang mereka maksud sudah berpuluh tahun tidak dikelola, ditelantarkan, nanti setelah kita akan bangun huntap bagi penyintas likuefaksi dan tsunami kemudian mereka persoalkan,”ungkap Gubernur Sulteng 2011-2021 ini.
Olehnya, anggota Baleg DPR RI, meminta Menteri Nusron Wahid berkoordinasi dengan Kapolri untuk meninjau kembali perkara hukum yang menimpa Doni Janarto Widiantoro dengan pertimbangan kemanusiaan.
“Saat itu berdasar perintah Presiden dan Wakil Presiden untuk mengambil semua lahan eks HGB yang terlantar untuk kepentingan pembangunan tiga belas ribu Huntap. Berdasarkan itulah Pak Doni menyerahkan lahan-lahan tersebut kepada Pemerintah Kota Palu setelah proses land clearing. Itu terkait pula dengan bantuan Bank Dunia yang bisa dicairkan setelah lahan dinyatakan clean and clear;” jelas Longki.
Menurutnya, eks Kakanwil BPN Sulteng adalah Pahlawan Kemanusiaan. Lagi pula penyerahan lahan tersebut dilakukan dengan tujuan kemanusiaan, bukan untuk kepentingan korporasi atau individu. ***