Bang Doel (deadline-news.com)-Palu-Masyarakat Peduli Keadilan menilai, tak ada keharusan dan situasi mendesak dalam penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) untuk rehabilitasi rumah dinas kejari parigi moutong (Parimo) karena merupakan lembaga negara vertikal di Kabupaten Parimo Sulawesi Tengah.
Syahlan Lamporo, SH, MH kepada deadline-news.com group detaknews.id Minggu (16/7-2023) dalam tanggapannya mengatakan, penyusunan anggaran pemerintah daerah, khususnya APBD-P, semestinya berkaitan dengan kepentingan publik yang mendesak.
“Seberapa mendesak sih urusan rehabilitasi rumah lembaga vertikal ini?” Sebagaimana dketahui, Pemkab Parimo menggelontorkan anggaran Rp, 1,2 miliaran untuk merehabilitasi bangunan kejaksaan negeri Parimo yang diusulkan eksekutif.
Syahlan mengungkap, bangunan yang direhabilitasi atau dibangun itu bukan aset Pemkab Parigi, melainkan aset lembaga vertikal Kejaksaan.
Adapun rincian anggaran untuk rehabilitasi itu adalah Rp.1,2 milyar untuk rehabilitasi rumah dinas Kejaksaan Negeri (Kejari) dan pos pejagaan.
“Duit APBD untuk lembaga vertikal boleh saja, asal mekanisme hibah tak wajib dan mengikat,”ujarnya.
Syahlan menyebutkan, penganggaran duit rakyat di Parimo untuk lembaga vertikal seperti ini memang boleh dilakukan, asal melalui mekanisme hibah dengan pedoman yang telah diatur dalam PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH.
“Sepanjang melalui proses hibah yang bicara aturannya merujuk pada Permendagri tentang pedoman hibah, yang mana sifat hibah itu tidak wajib dan tidak mengikat,”tuturnya.
Pada prakteknya, kata Syahlan, banyak pemda di Indonesia menjadikan hibah untuk kepentingan politik atau political interest.
Dan ketika berbicara tentang politik ini kerap kali bias dengan konsep keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.
“Karena hibah, ini meski sudah ada aturan seringkali berbasis pada political interest yang memiliki kewenangan yakni kepala daerah,”ucapnya.
Dengan demikian kata dia persoalan hibah kepada kejaksaan, polisi dan pengadilan itu perlu ditinjau ulang dan dikritisi karena seringkali nilainya cukup besar dan tidak mendesak.
Syahlan pun mempertanyakan relevansi pengucuran dana dan rehabilitasi aset berupa rumah dinas itu dengan kinerja pemda setempat.
“Apa hubungannya merehabilitasi rumah (dinas lembaga vertikal), yang mana (mungkin) itu sudah dianggarkan oleh pemerintah pusat melalui APBN mereka,”ungkapnya.
Syahlan khawatir, praktek seperti ini malah akan membuat penggunaan anggaran doubel.
“Hibah ini sifatnya dananya lentur gitu yah, berpotensi ada penyalahgunaan di situ,”sambungnya.
Kata Syahlan bisa jadi proses penganggaran antara Bupati dan DPRD jadi ajang saling sandera kepentingan.
Jika berbicara pemeliharaan rumah dinas, menurut Syahlan, semestinya itu dianggarkan dalam APBN.
“Namun jika dianggarkan lagi di APBD, akan memunculkan pertanyaan lalu anggaran yang dari APBN untuk apa? atau anggaran hibahnya ini benar-benar dipakai atau gimana,”tanyanya.
Syahlan mengungkapkan, proses penyusunan anggaran yang dilakukan antara eksekutit, dalam hal ini bupati melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) bersama legislasi DPRD– hanya jadi ajang saling sandera kepentingan.
“Proses penganggaran kita itu setiap tahun hanya gimik saja, hanya untuk mengakomodir kepentingannya si DPR dan kepentingannya si Bupati. Ini bisa dibuktikan secara data,”uajarnya. ***