Konstitusi Negara (UUD 1945), mengamanatkan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Namun yang terjadi justru tak ada keadilan pelayanan pendidikan oleh Negara/pemerintah. Sebut saja dengan pembagian zona penerimaan peserta didik.
pertanyaannya bagaimana dengan usian sekolah yang jauh dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas (SMP/SMA) atau yang sederajat. Apakah mereka harus berhenti sekolah hanya karena alasan tidak masuk dalam zona yang diatur oleh permen Dikbud?
Selain itu penggunaan akte kelahiran juga menghambat usia sekolah. betapa tidak, bagaimana dengan anak jalanan yang diambil untuk disekolahkan dan tidak memilik akte lahir atau orang tuanya tidak jelas status perkawinannya?
Bukan itu saja tapi benar-benar Negara tidak adil dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya.
Contohnya Akademi Kepolisian Republik Indonesia (AKPOL), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang dibiayai oleh Negara sejak masuk sampai selesai sudah menerima gaji dan tunjangan.
Sedangkan Universitas yang memiliki banyak fakultas tidak dibiayai oleh negara peserta didiknya. Bahkan orang tua peserta didik yang menyumbang dan atau membayar ke sekolah dan Universitas.
Kenapa tidak dibuka saja fakuktas ilmu kepolisian atau ilmu Kejaksaan dan ilmu kehakiman di Universitas Negeri dan dibiayai oleh Negara?
Jaksa dan Hakim yang hampir sama tugas pokok dan fungsinya dengan kepolisian Negara yakni dasar pokoknya adalah ilmu yang berkaitan dengan pelanggaran hukum.
“Saya melihat perlakuan Negara terhadap rakyatnya dalam hal pelayanan pendidikan tidak adil. Dan itu pelanggaran konstitusi Negara (baca UUD 1945),” kata pengacara senior Hartawan Supu,SH di Palu Jum’at (28/6-2019).
Menurutnya Permen Dikbud perlu ditinjau kembali dan harus berlandaskan konstitusi Negara yakni UUD 1945.
Atau rakyat menggugat Permen Dikbud itu ke Mahkama Konstitusi (MK) atas ketidak adilan negara terhadap pelayanan pendidikan bagi rakyatnya. ***