Bang Doel (deadline-news.com)-Donggala-Berdasarkan hasil identifikasi Yayasan Komiu, deforestasi dari aktivitas pembersihan lahan Pasangkayu untuk perluasan perkebunan sawit mencapai 3.617 hektar dalam 20 tahun, dengan rata-rata 172 hektar per tahun.
Data Yayasan Komiu, diduga HGU PT.Pasangkayu ini di APL 8.222,54 hektar dan hutan lindung 664 hektar.
Diduga perluasan perkebunan sawit PT.Pasangkayu ini terjadi di hutan lindung di Desa Ngovi dan Mbulava, Kecamatan Rio Pakava, Donggala Sulawesi Tengah.
Temuan Yayasan Komui ini, ternyata total eksisting sawit yang masuk hutan lindung di dua desa itu mencapai 2.139 hektar.
Yayasan Komiu ini salah satu fokusnya adalah monitoring perilaku perluasan perkebunan kelapa sawit miliki PT. Pasangkayu pada Kawasan Hutan Lindung yang berada di Desa Ngovi dan Mbulava, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala.
Dari hasil pengamatan, total eksisting kelapa sawit yang masuk dalam Kawasan Hutan Lindung di dua desa tersebut mencapai 2.139 hektar.
Kesulitan utama untuk membedakan antara sawit yang diperluas oleh perusahaan PT.Pasangkayu dan sawit mandiri terletak pada tracking atau pelacakan pembukaan lahan.
Sementara PT. Pasangkayu ini berada di antara dua provinsi–Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
PT.Pasangkayu merupakan anak perusahaan, PT Astra Agro Lestari (AAL) Tbk dengan HGU 8.896 hektar.
PT.Pasangkayu ini terbagi di dua provinsi, yakni Sulawesi Barat 8.842,28 hektar, dan Sulawesi Tengah 53,72 hektar.
Menyikapi perluasan perkebunan PT.Pasangkayu yang diduga merambah hutan lindung ini, membuat sejumlah pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) melaporkan anak perusahaan PT.Astra Agro Lestari itu ke Kejaksaan Agung RI di Jakarta.
Adalah Dedi Lasadindi pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama sejumlah petani melaporkan PT.Pasangkayu itu ke Kejagung.
Laporan Dedi itu atas dugaan beberapa pelanggaran yang ditemukan di lapangan.
“Dan hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat minim dan lemahnya pengawasan Perangakat Daerah setempat,”ujar Dedi.
Menurutnya laporan Ke Kejagung RI dengan dugaan terjadinya Perambahan kawasan Hutan dan Penyerobotan lahan melebihi batas Hak Guna Usaha (HGU).
Dedi bersama sejumlah tokoh masyarakat dan Aktivis mengungkap dugaan adanya perluasan kebun Sawit di kawasan hutan lindung.
Kata Dedi PT Pasangkayu beroperasi lebih dari dua dekade dan sampai tahun 2024 belum membangun Kebun Plasma atau mengeluarkan 20% lahan perkebunannyabuntuk perkebunan Rakyat.
“Beberapa regulasi dalam Konstitusi yang diduga telah di langgar oleh PT Pasangkayu, anak perusahaan astra agro lestari itu. Misalnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja,”tegas Dedi.
Dedi menjelaskan sekalipun telah ada Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, Bukan berarti PT Pasangkayu harus lolos dari Jeratan Hukum karena telah merambah kawasan hutan, Justru Implementasi dari Undang-Undang ini adalah di kenakan sanksi dan Pemberhentian kegiatan usaha.
Mata Dedi sebelum lahir Undang-Undang Cipta Kerja jauh sebelumnya PT Pasangkayu diduga telah melanggar sejumlah perjanjian juga dengan masyarakat, karena tidak pernah membangun Kebun Plasma dan mengabaikan regulasi yang ada.
“Hanya menjadi cerita di warung kopi kalau mereka taat dengan regulasi. Misalnya Ketika objek yang di kuasai PT Pasangkayu saat ini masih kawasan hutan, Rencana yang akan di lepaskan dan yang telah di lepaskan itu berbeda jumlah luasnya dan luas Peta Kerja berbeda dengan Luas yang tertulis di Sertipikat HGU,”ujar Dedi.
Dedi menduga dengan kondisi ini menunjukkan alat bukti bahwa adanya permainan mafia tanah dan hutan di Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat.
“Sebenarnya Sejumlah temuan dan Pelanggaran ini terjadi sejak Lama, sejak tahun 1990an dan mengapa perangkat daerah Kabupaten Pasangkayu saat ini tidak menindak PT Pasangkayu,”ungkap Dedi.
Dedi menduga pemerintah daerah terkesan melakukan pembiaran begitu saja termasuk merambah kawasan hutan dan Penyerobotan melebihi batas HGU.
“Ini sudah potensi merugikan negara dan dapat diduga bahwa PT.Pasangkayu berkolusi dengan oknum Pejabat di Perangkat Daerah Kabupaten Pasangkayu untuk memuluskan rencana mereka, termasuk melakukan Kejahatan Lingkungan,”tutur Dedi Lasadindi, Aktivis pegiat LSM.
Dedi menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Kehutanan dan Lingkungan, serta izin pelepasan kawasan hutan yang diberikan kepada PT. Pasangkayu melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 98/Kpts-II/1996 dengan luas wilayah 5.008 hektar, ditemukan adanya indikasi kuat bahwa perusahaan tersebut telah melakukan penyerobotan kawasan hutan di luar batas yang telah ditentukan.
“Fakta di lapangan menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara peta pelepasan kawasan hutan yang diatur dalam izin resmi dengan peta lokasi PT Pasangkayu saat ini,”terang Dedi.
Menurutnya data dan titik koordinat yang terlampir mengindikasikan bahwa PT. Pasangkayu diduga kuat telah melampaui batas konsesi yang diberikan, sehingga mengelola dan memanfaatkan lahan yang seharusnya masih menjadi bagian dari kawasan hutan yang dilindungi.
“Temuan ini mengundang keprihatinan mendalam mengingat pentingnya menjaga kawasan hutan dari aktivitas yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,”terang Dedi.
Dedi menguraikan ketidak sesuaian antara peta konsesi yang sah dan kondisi lapangan saat ini memerlukan perhatian serius dari pihak berwenang untuk memastikan bahwa pengelolaan hutan tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku, serta untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas akibat aktivitas ilegal ini.
Prasetyo Edho Wibowo, Media & PR Analyst PT Astra Agro Lestari yang dikonfirmasi via chat di whatsAppnya Kamis (31/10-2024), terkait dugaan perambahan hutan diluar HGU dan tidak adanya plasma PT.Pasangkayu anak perusahaan PT.AAL, sampai berita ini ditayangkan belum memberikan jawaban konfirmasi. ***