“Proyek Tanggap Darurat Diduga Gunakan Material Ilegal”
Panji (deadline-news.com)-Donggalasulteng – Proyek penanganan bencana abrasi pantai di Desa Lembasada, Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, diduga melanggar hukum.
Adalah CV.Ukryl Membangun yang mengerjakan proyek itu. Material batu gajah yang digunakan oleh CV. Ukryl Membangun,diduga diambil dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Powelua. Celakanya lagi CV.Ukryl Membangun diduga tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Dari pantauan deadline-news.com di lokasi proyek menunjukkan, tanggul penahan ombak sepanjang kurang lebih 750 meter, materialnya menggunakan “Batu-Gajah” (batu besar) yang ditumpuk dan diatur berjejer di sepanjang bibir pantai dengan menggunakan satu unit excavator.
Diduga kontraktor pelaksana proyek tersebut terus menjarah dan merusak lingkungan sungai. Bongkahan-bongkahan batu gajah terus digali dan kemudian diangkut oleh beberapa unit mobil dump truck dari lokasi penambangan, yaitu dari Desa Poweluwa (Banawa Tengah) dan Desa Lumbu Mamara (Banawa Selatan). Demikian dikatakan Bangamputi Kades Powelua saat ditemui di kediamannya di Desa Powelua.
Menurutnya ke dua tempat pengambilan material itu, diduga sebagai lokasi yang tidak memiliki IUP atau masuk dalam kawasan hijau dan areal pertanian, sebagaimana ditetapkan dalam Perda RTRW (Rancangan Tata Ruang Wilayah) Pemkab Donggala.
Sumber lain yang dihimpun dilokaso menyebutkan dua kecamatan masing-masing Kecamatan Banawa Tengah dan Banawa Selatan, di wilayah Kabupaten Donggala itu, sejauh ini belum diperkenankan oleh Pemerintah Daerah Donggala untuk dijadikan kawasan pertambangan.
“Wilayah dan lokasi di kawasan itu, tidak mungkin memiliki IUP Eksplorasi ataupun IUP Operasi Produksi,” ujar sumber itu.
Senada disampaikan Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Tengah, Ir. Yanmar Nainggolan, CES, yang dimintai tanggapan terkait aktifitas CV. UM yang melakukan pengambilan bongkahan-bongkahan batu gajah disepanjang sungai tersebut, menyayangkan jika masih ada pihak yang tidak patuh dan taat pada aturan dan ketentuan pertambangan.
Menurutnya, semua aktivitas tambang, termasuk penambangan batuan yang tidak memiliki IUP, dipastikan melanggar hukum dan pelakunya dapat dipidana penjara.
Kata Yanmar, jangankan sejuta kubik, satu kubik pun material pasir dan batuan yang diambil dari lokasi yang tidak ber-IUP, dapat dikualifikasi sebagai tindakan illegal mining yang tergolong sebagai pencurian kekayaan negara.
Lebih lanjut dikatakan, pihak Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Tengah akan menurunkan tim pemantau dan dikoordinasikan dengan kepolisian, sebab jika aktifitas CV. UM tersebut benar adanya, maka dapat disimpulkan adanya pelanggaran hukum.
”Kami akan segera menindaklanjuti masalah ini dan kami akan berkoordinasi dengan pihak Polda Sulawesi Tengah,” tegasnya.
Secara terpisah Abd. Haris Dg. Nappa, SH ketua KAK-TIK (Komite Anti Korupsi dan Tindak Kekerasan) Propinsi Sulawesi Tengah juga menyoroti adanya dugaan aktifitas penambangan ilegal di DAS Pewelua tersebut.
Menurutnya, itu melanggar ketentuan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Minerba, pasal 158 yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK dapat dipidana dengan pidana penjara 10 Tahun dan denda paling banyak Rp.10 Milyar.
Lebih lanjut Haris menjelaskan, selain pelanggaran UU Pertambangan dan Minerba juga aktifitas CV. UM juga ditengarai melanggar UU NO. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Karena segala aktifitasnya CV. UM diduga tidak memiliki dokumen Amdal atau Izin Lingkungan, sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian terhadap masyarakat disekitar Aliran sungai tersebut.
Selain dampak kerusakan lingkungan dan tidak mengantongi IUP, aktifitas CV. UM juga ditengarai merugikan Negara atas kegiatan penambangan ilegal (Illegal Mining) papar mantan tim moratorium Dinas ESDM Kabupaten Donggala tersebut.
Semestinya pihak pelaksana proyek CV. UM harus membeli produk dari pemegang IUP yang di Loli ataupun ditempat yang lain diperusahaan tambang yang memiliki izin dan berproduksi agar terhindar dari pelanggaran hukum. Bukan melakukan aktifitas penambangan sendiri, ini kan untuk menghindari pembiayaan yang tinggi demi meraup keuntungan besar. Tanpa memikirkan kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat itu sendiri. Papar Haris.
Proyek penanganan tanggap darurat bencana Lembasada yang dihelat oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Donggala itu, diduga hanya pinjam pakai bendera CV. UM saja, kabarnya pelaksana dan pemodalnya adalah seorang pengusaha di Donggala, yang dikenal sebagai orang dekat Bupati Kasman Lassa. Kata sumber.
Lebih lanjut urai sumber itu, material yang digunakan hanya diambil dari sungai di Desa Powelua dan Desa Lumbu Mamara Dengan bermodalkan 1 unit eskavator dan puluhan unit mobil dump truk serta membayar retribusi ke Desa senilai Rp.35 ribu/truk (retase) bongkahan batu gajah itu sampai di lokasi proyek. Selain itu pihak rekanan dipastikan pula tidak membayar pajak daerah terkait dengan pengambilan material itu,
”Apanya yang mau dipajak, material itu diperoleh secara illegal, nggak mungkin bayar pajak dan kalau ada yang dibayar, paling ke kas desa,” ujarnya.
“Yah… tentu rekanannya mau simpel saja, tidak mau keluar biaya banyak, pakai batu gajah saja tinggal diambil dari lokasi yang tidak legal,” kata sumber menilai.
Ketika dikonfirmasi Ngo Hendry mengakui kalau dirinya yang kerjakan dan perintahkan aktifitas penambangan batu gajah tersebut. Menurutnya, hanya menyediakan satu unit excavator untuk kegiatan di lokasi pengambilan material.
Dirinya juga kesal, bila ada yang mempersoalkan masalah tersebut.
“Inikan pekerjaan tanggap darurat, lagi pula banyak perusahaan dan paket pekerjaan lain yang nilainya puluhan milyar juga menggunakan material illegal, itu kenapa dibiarkan dan tidak dipersoalkan. Mereka juga kan melanggar hukum dan tidak memiliki izin dan dampaknya sudah merusak lingkungan serta ada yang menjual material antar pulau.” Ujarnya tanpa menyebut siapa orang atau perusahaan yang dimaksudkan.
Adapun tentang material batu gajah yang diambil dari sepanjang aliran sungai, sudah mendapat izin dari kepala desa tanpa merinci kepala desa mana. Dia juga mengaku telah menerima informasi, jika pihak proyek sudah melayangkan permohonan perizinan kepada pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Donggala, namun tidak mengetahui, apakah izin tersebut sudah dikabulkan pihak BLH.
Meskipun sebagai pelaksana, Ngo Hendry mengaku tidak mengetahui persisnya tentang persentase kemajuan bobot pelaksanaan proyek di lapangan.
“Saya tidak tahu, karena saya sendiri tidak pernah melihat kondisi proyek itu, lokasinya pun saya tidak tahu,” pungkasnya sambil berlalu pergi. ***