“Pembantaian” di Wamena, Dimana Empat Pilar Itu?

Kemalangan terus menerus melanda Bangsa dan Negeri ini. Mulai dari bencana alam hingga bencana kemanusiaan dari Sulawesi, Ambon, Jawa, NTB sampai Papua.

23 September 2019, meruapak naas bagi warga pendatang di Wamena Provinsi Papua. Bagaimana tidak sekelompok orang mengepung, membakar dan “membantai” mereka. Tercatat 31 orang yang meninggal dunia dalam peristiwa berdarah di Wamena Papua itu.

dr Soeko salah seorang pendatang di Papua yang diduga meninggal akibat penganiayaan oleh kelompok perusuh di Wamena. dr.Soeko adalah petugas kesehatan yang berempati dengan keadaan masyarakat di daerah pedelaman papua. Namun harus meninggal ditangan orang-orang yang dicintai dan ingin dibantunya.

Katanya empat pilar yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 19145, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika adalah perekat warga Bangsa. Tapi dimanakah empat pilar itu? ketika ada warga Bangsa “dibantai” di negerinya sendiri.

“Pembantaian” para pendatang di Wamena Papua menunjukkan bahwa empat pilar itu hanya “slogan tanpa makna” Bagi warga Bangsa ini. Padahal mestinya empat pilar itu hadir ditengah-tengah warga Bangsa dan benar-benar mampu menjadi alat perekat warga Bangsa, sehingga tak ada lagi rasisme, “pembantaian” suku tertentu ketika berada di daerah etnit mayoritas tertentu.

Sosialisasi empat pilar mestinya menyentuh warga bangsa paling bawah, bukan hanya ditingkat menengah hingga elit saja. Karena sesungguhnya warga Bangsa yang berada di level menengah ke bawahlah yang cepat tersulut provokasi negatif. Mereka tak menganalisa dan menguji kebenaran informasi yang diperolehnya. Tapi terkadang langsung dipercaya dan bertindak sendiri.

Olehnya Epat pilar yang katanya perekat Warga Bangsa itu perlu disosialisasikan secara menyeluruh kesemua tingkatan, sehingga tak ada lagi kebencian, rasisme dan saling merendahkan. Sebaiknya mata pelajara pendidikan moral pancasila (PMP) dimasukkan lagi ke kurikulum pendidikan kita. Sehingga menjadi dasar Berbangsa dan Bernegara.

“Pembantaian” di Wamena Papua harap menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Terkhusus para pengambil kebijakan dan keputusan Politik, pemerintahan, Negara, Keamanan dan Hukum. Sehingga tidak memancing warga Bangsa saling menyakiti dan membunuh.

Bukankah kita ini satu asal muasal yakni dari Tanah, API, Angin dan Air yang dibetuk oleh sang Pencipta menjadi manusia yang disebut Nabi ADAM Alaihi Sallam. Wajah, warna kulit dan bentuk kita memang berbeda-beda, tapi hati (darah) dan jantung kita sama yang mengaliri tubuh kita. Lalu kenapa kita harus berkonflik?

Bukankah agama kita mengajarkan bagi pemeluk-pemeluknya untuk menjadi hamba Tuhan Yang Maha Esa yang taat, baik, jujur, adil, dan selalu berbuat kebajikan, bukan keburukan.

Penyerangan dan Pembantaian oleh sekelompok orang di Wamena telah meluluh lantakkan bumi Cendrawasih itu. Banyak fasilitas umum yang rusak dalam peristiwa berdarah itu. Ironisnya lagi, warga pendatang harus eksodus dari Wamena.

Padahal para pendatang itu adalah pejuang ekonomi untuk membantu pemerintah menggerakkan perekonomian di Wamena, sehingga member dampak kemajuan bagi daerah itu. Andaikan Pemerintah melalui TNI-Polri segera bertindak keras ketika terjadi konsentrasi aksi Massa, maka mungkin tidak akan terjadi pembantaian, Pembakaran dan Pengrusakan.

Siapapun jika mengancam keselamatan warga Bangsa, apalagi Negara perlu ditindaki secara keras. Negara dalam bertindak melalui pemerintah (TNI-Polri) tidak boleh pilih kasih, namun siapapun yang mengancam kedaulatan Negara harus ditindak tegas. Apalagi sampai mengancam jiwa warga Bangsa. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top