BERKUASA ITU, “ENAK”

Oleh : Frans M

Berkuasa itu, di bidang apa saja, “enak”. Apalagi jika berkuasa dalam struktur penyelenggaraan negara. Saking enaknya, kalau sudah duduk, lupa berdiri seperti Ferdinan Marcos dan Soeharto.

Sejarah mencatat, kedua presiden tersebut mempertahakan kekuasaan puluhan tahun hingga pada akhirnya rakyat muak dan melawan. Akibatnya, ke dua – ke duanya penguasa tersebut tumbang dan peralihan kekuasaan berlangsung secara kekerasan.

Demokrasi senantiasa bercita rasa damai dan selalu menjauhkan diri dari kekerasan. Peralihan kekuasaan, tidak boleh tidak, harus damai. Damai diartikan tanpa kekerasan, ancaman, bebas dari rasa takut.

Salah satu instrumen demokrasi untuk mengatur dan menyelenggrakan proses alih kekuasan baik “merebut” atau pun “mempertahankan” secara legal adalah pemilu, tak terkecuali pilkada.

Pilkada Sulteng 2020 adalah bagian dari perangkat demokrasi untuk memilih “penguasa” eksekutif yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota. Kekuasaannya sangat luas.

Pokoknya, menyelenggraan seluruh urusan pemerintah selain dari kekuasaan legislatif dan judikatif. Bupati dan walikota penguasa otonomi di daerahnya. Sedangkan Gubernur ditambahi dengan sebagian kewenangan pemerintah pusat. Sangat logis bila sebagian kalangan berpendapat bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota sangat berpengaruh atas sejahtera tidaknya rakyat di daerahnya.

Lalu, calon yang bagaiman sebaiknya dipilih ?

Kriteria memilih anggota parlemen tentu berbeda dengan kriteria kepala eksekutif. Anggota Parlemen (prancis : parlou = berbicara) dituntut harus pandai berbicara, berdebat, argumentatif sedangkan kepala eksekutif lebih pada orientasi kemampuan menigkatkan kesehteraan rakyatnya (welfare state).

Hak pilih bersifat bebas, namun disertai tanggungjawab. Konstitusi menjamin kebebsan tersebut. Pilihan sangat dipengaruhi selera. Dan, selera tdak bisa diperdebatkan. Namun, paling tidak, kebebasan menentukan pilihan calon tersebut tdak mencederai standar demokrasi misalnya buying votes.

Sebagai respon terhadap suasana kebatinan dan kebangsaan Indonesia yang sedang berada di lingkungan alam demokrasi, tentu idealnya :

Pertama, karakteristik kepribadian pemimpin mestinya ber “DNA” demokratis antara lain jujur, terbuka, komunikatif, tdak koruptif. Sebab karakter demokratis tersebut akan mewarnai proses pengambilan keputusan terkait dengan kekuasaan yang ada pada dirinya.

Kedua, pemimpin yang dapat secara pasti menjamin dan melindungi hak-hak konstitusionil rakyat dari pengebirian misalnya hak kebebasan beragama, kebebasan pers dan juga kepastian terhada jaminan hak-hak dasar seperti pendidikan yang bermutu dan kesehatan yang baik.

Ketiga, pemimpin yang dapat mengunakan aggaran dengan efisien dan keberpihakan pada kepentingan rakyat serta tidak koruptif.

Berkuasa itu, “enak” apalagi jika mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, seperti Bupati Bantaeng dua periode Prof Dr.HM.Nurdin Abdullah, M.Agr yang sekarang menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top