Tambang Batu dan Pasir di Sulteng Bikin Sesak Napas Warga

Palu (Deadline News/koranpedoman.com)-Truk-truk pengangkut material saban hari keluar masuk kawasan tambang batu dan pasir atau juga disebut galian C di wilayah Pegunungan Gawalise menuju pesisir Teluk Palu, Sulawesi Tengah.

Material berupa bebatuan yang diangkut truk-truk tersebut kemudian diproses melalui mesin penghancur batu untuk dijadikan kerikil, batu sedang maupun abu batu.

Batu-batu yang sudah dihancurkan kemudian dimuat ke tongkang untuk selanjutnya dikirim ke daerah pemesan seperti Samarinda, Balikpapan, Berau, Tarakan hingga Papua Barat.

Ada sekitar 12 perusahaan tambang di Pegunungan Gawalise, tepatnya di Kelurahan Watusampu dan Buluri dengan luas konsesi mencapai 10 hektare untuk masing-masing perusahaan.

Maraknya aktivitas perusahaan tambang batu dan pasir inilah yang kemudian menjadi soal.

Banyak warga mengeluh dan merasa terganggu lantaran debu batu beterbangan ke permukiman seiring dengan aktivitas tambang yang berlangsung setiap hari sejak pukul 06.30 sampai 16.00 Wita.

Bahkan, jika pekerja tambang lembur, aktivitas berlanjut hingga pukul 18.00 Wita.

Walau begitu bukan berarti warga tak pernah protes. Astuti, misalnya, pernah mendatangi lokasi tambang bersama sejumlah ibu.

“Kita sudah nekat, biasa cuma tiga orang kita menutup jalan. Nanti mereka menyiram jalan (agar debu tidak beterbangan) baru kita buka itu palang,” kata Astuti kepada wartawan dari Kota Palu, Erna Lidiawati.

Dampak pada kesehatan

Dampak buruk yang ditimbulkan dari aktivitas tambang sudah dirasakan warga di sekitar lokasi tambang. Menurut penanggungjawab Puskesmas Kelurahan Watusampu, Hamidah, tercatat pasien yang datang berobat dengan keluhan sesak nafas pada 2014 lalu mencapai 500 hingga 600 orang.

“Kalau untuk 2015 ini belum kita rekap, tapi rata-rata tiap bulannya itu ada sekitar 20 hingga 40 orang yang berobat ke sini dengan keluhan batuk ataupun sesak napas. Tidak pernah dibawah 20 orang,” kata Hamidah.

Selain infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA, penyakit lain yang banyak diderita warga ialah gatal-gatal. Menurut Hamidah, warga kerap menutup sirkulasi udara di dalam ruangan untuk mencegah debu masuk rumah.

Akibatnya, ruangan menjadi lembab sehingga memudahkan kutu berkembang biak.

Kondisi lingkungan dan kesehatan ini menjadi perhatian Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Sulteng. Organisasi pegiat lingkungan itu menilai kerusakan lingkungan di wilayah Kelurahan Buluri dan Watusampu berada dalam skala masif.

Kondisi ini ditengarai mempercepat kerusakan ekosistem, yang dapat ditandai dengan pengecilan debit sumber air.

Abdul Haris, dari Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi, mengatakan kerusakan lingkungan itu tidak akan terjadi apabila praktik pertambangan di Kelurahan Buluri dan Watusampu diatur dalam tata ruang kota.

Masalahnya, pemerintah Kota Palu tidak menetapkan wilayah pertambangan di kedua kelurahan tersebut.

“Di wilayah itu tidak ditetapkan sebgai wilayah pertambangan. Padahal kalau mengacu pada Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa sebelum memberikan izin usaha pertambangan, pemerintah daerah harus menetapkan dulu wilayah izin usaha pertambangan atau WIUP. Kalau kita lihat dalam Perda Kota Palu Nomor 16 tahun 2011 wilayah pertambangan itu tidak diatur,” kata Abdul Haris.

Solusi

Sorotan Walhi soal perizinan tambang di Kelurahan Buluri dan Watusampu ditepis Ketua Asosiasi Perusahaan Tambang Kota Palu, Made Wenten.

Menurutnya, perusahaan yang beroperasi di wilayah tambang telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan yang diperpanjang setiap lima tahun.

Lagipula, kata Kepala Dinas energi dan sumber daya mineral Kota Palu Muslimin Malappa, semua perusahaan tambang sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

“Jadi semua perusahaan-perusahaan tambang yang masuk di situ harus melewati apa yang namanya sosialisasi. Tidak ada yang langsung jadi. Pada saat sosialisasi masyarakat mendukung dan berikan peluang untuk masuk. Nah, sekarang dimana semrawutnya dengan masyarakat? Buktinya masyarakat itu bisa hidup di situ, makan di situ. Kira-kira bagaimana kalau kita hentikan, itu masyarakat mau makan apa?” kata Muslimin.

Bagaimanapun, baik pengusaha tambang maupun pemerintah Kota Palu belum punya solusi atas dampak aktivitas pertambangan terhadap kesehatan warga.

Dengan nada setengah berkelakar, Samsiar, seorang ibu tiga anak dari Kelurahan Watusampu, menuturkan kondisi keluarganya dan masyarakat sekitar lokasi tambang.

“Ya sehat-sehat, biar makan abu,” kata Samsiar, seorang warga Watusampu, seraya tertawa. “Kalau sakit kan ada BPJS,” tambahnya.

Anda bisa mendengarkan versi audio artikel ini dalam program Lingkungan Kita yang disiarkan stasiun-stasiun radio mitra BBC pada Rabu (30/12). (detik.com).***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top