Proyek PLTA Poso Yang Diresmikan Presiden Jokowi  “Bermasalah dan Memiskinkan Warga”

 

Bang Doel (deadline-news.com)-Palusulteng-Presiden Joko Widodo, dijadualkan meresmikan PLTA Poso Peaker 515 MW, Jumat (25/2-2022).

Listrik yang dihasilkan untuk mendukung ketersediaan listrik di Sulsel, Sulbar dan Sulteng. Demikian dikatakan Masyarakat Adat Danau Poso diantaranya Lina Laando dalam rilisnya yang dikirim ke whatsapp redaksi deadline-news.com Jum’at pagi (25/2-2022) sekitar pukul 9:26 wita.

Ia mengatakan namun mega proyek ini menimbulkan masalah serius bagi warga di sekeliling Danau Poso yang jadi sumber air untuk menggerakkan total 11 turbin dari PLTA Poso I (4×30 MW), PLTA Poso II (3×65 MW), PLTA extension (4×50 MW).

“Untuk menghasilkan listrik 515 MW, PT Poso Energy, perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla itu membendung Sungai Poso sehingga menyebabkan naiknya permukaan air di Danau, melakukan pengerukan sepanjang 12,8 km di outlet Danau Poso serta mereklamasi wilayah ulayat adat Danau Poso,”ujarnya.

Menurutnya beban puncak listrik yang hendak dipenuhi perusahaan keluarga JK, justru jadi puncak beban para petani dan nelayan di sekeliling Danau Poso.

“PT.Poso Energy telah mengeruk keuntungan bisnis yang besar dari Danau Poso dengan  memiskinkan warga,”tegasnya.
Sawah dan Kebun Terendam

Sejak 2020,  Masyarakat Adat Danau Poso ( MADP ) mencatat terdapat 266 hektar sawah dan kebun serta lahan penggembalaan warga terendam.

Akibatnya para petani bukan hanya tidak bisa mengolah sawah/kebun tapi juga tidak bisa membiayai kehidupan sehari-hari, pendidikan dan kesehatan.

PT Poso Energi sendiri mengakui dalam pertemuan mediasi dengan petani terdampak di kantor Gubernur Sulteng , 22 Desember 2021, luas yang terendam mencapai 500 hektar.

Saat ratusan petani menuntut PT Poso Energi bertanggungjawab atas kerugian yang mereka alami, tuntutan para petani dijawab oleh perusahaan dengan nilai kompensasi 10 kg beras/are sawah yang terendam.

Berlin Modjanggo, salah satu ketua adat menilai bahwa  nilai ini dianggap tidak masuk akal. Sebab berdasarkan perhitungan petani, 1 are sawah mereka menghasilkan sekitar 40 kg beras.
Ladang Penggembalaan Terendam 

 
Kata Lina akibat air danau yang tidak lagi surut mengikuti musim, bukan hanya sawah dan kebun yang tidak bisa diolah.

“Lahan penggembalaan kerbau di desa Tokilo kecamatan Pamona Tenggara juga susut lebih dari setengah. Warga yang sebelumnya pelihara kerbau semampu mereka, kini dibatasi hanya maksimal 3 ekor per keluarga,”terangnya.

Lina menegaskan kebijakan ini diambil pemerintah desa agar rumput yang tersisa mencukupi kebutuhan semua kerbau dan sapi.  Bagi warga 3 desa yang ada di kecamatan Pamona Tenggara, Tokilo, Tindoli dan Tolambo.

Kepala Desa Tokilo, Hertian Tangkua menjelaskan kerbau adalah tabungan yang sewaktuwaktu bisa dijual untuk membayar kebutuhan pendidikan anak, kesehatan atau untuk perayaan pesta dan kebutuhan tak terduga. Kini tabungan itu hilang seiring perubahan bentang alam Danau Poso.
Nelayan Tradisional terancam punah

Lina menjelaskan bukan hanya petani. Kerugian turut dialami nelayan. Di Danau Poso ada sistem penangkapan ikan dan Sidat yang ramah lingkungan. Sidat ditangkap menggunakan sebuah alat yang disebut Waya Masapi.

“Teknologi ini sudah digunakan masyarakat sekitar turun temurun. Selain itu ada Toponyilo, nelayan yang dengan perahu menangkap ikan di malam hari menggunakan lampu dan tombak,”tuturnya.

Hajai Ancura, ketua adat Sawidago menyebutkan ada tradisi masyarakat disekitar Danau Poso yang juga akan hilang akibat proyek bendungan PLTA ini.

Adalah Mosango atau menangkap ikan secara bersama-sama saat air danau surut.

“Di pinggir Danau Poso ada beberapa wilayah yang jadi lokasi Mosango. Yang pertama di Kompo Dongi, terletak di kelurahan Tentena kecamatan Pamona Puselemba. Lokasi kedua ada di desa Tokilo, kecamatan Pamona Tenggara,”ucapnya.
Rusaknya Ekosistem 

Ia mengatakan bukan hanya rugikan petani dan nelayan. Bendungan PLTA Poso juga mengancam kelestarian ekosistem.

Sidat (anguilla spp) salah satu ikon Danau Poso tidak lagi bisa berkembang biak secara alami, sebab sungai yang jadi jalur alaminya menuju ke laut untuk memijah terhalang oleh 2 bendungan.

Demikian pula, anak-anak Sidat dari laut menuju Danau Poso juga terhalang di bandungan.

Bukan hanya Sidat yang terancam hilang. Tidak kunjung surutnya Danau Poso membuat wilayah riparian sungai yang jadi sumber makanan ikan di sungai dan Danau Poso hilang.

“Ini menjadi salah satu masalah yang akan mempengaruhi kehidupan ikan-ikan di Danau Poso. Sejumlah peneliti mengkhawatirkan hilangnya wilayah riparian sungai dan rawa disepanjang pinggiran sungai dan Danau Poso mempengaruhi ekosistem disekitarnya,”katanya.
Penguasaan Tanah

Ia melanjutkan sawah dan kebun yang terendam rencananya akan dibeli oleh perusahaan.

Informasi itu sudah didengar oleh kepala desa Meko, Gede Sukaartana. Dia menolak skenario itu karena akan menyingkirkan sekaligus memiskinkan warganya.

Rencana untuk membayar lahan warga yang terendam santer disebut jadi salah satu solusi yang hendak dilakukan oleh perusahaan. Namun hal ini dipandang sebagai upaya untuk menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya.

“Sebab bagi para petani khususnya yang berada disebelah barat Danau Poso, sudah sulit meluaskan lahan pertanian, sebab dibelakang desa mereka sudah ada Cagar Alam Pamona,”terangnya.

Masyarakat Adat Danau Poso meyayangkan peresmian PLTA Poso oleh Presiden Jokowi ditengah masalah dan tanggungjawab perusahaan yang belum diselesaikan.

“PT.Poso Energy telah mengeruk keuntungan bisnis yang besar dari Danau Poso dengan  memiskinkan warga tapi tidak mau bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan,”ungkapnya.

Karena itu, Masyarakat Adat Danau Poso menyatakan :

1.      Menolak PLTA sebagai energi baru terbarukan karena nyatanya telah merusak lingkungan dan ekosistem serta menghilangkan kebudayaan masyarakat di Danau Poso. Menolak keberadaan PLTA Poso I yang telah mengganggu kehidupan masyarakat Danau Poso.

2.      Menuntut PT. Poso Energy untuk menyelesaikan masalah-masalah dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh operasional PLTA Poso I terutama sawah dan kebun yang terendam, perusakan wayamasapi dan karamba serta hilangnya wilayah penambang pasir tradisional.

3.      Menuntut PT. Poso Energy untuk menghentikan pengerukan sungai Poso yang sekarang ini dilakukan tanpa dokumen perijinan.  ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top