Memulung di Malam Lebaran

 

Setelah wawancara selfi bersama pak Amir dan kedua anaknya yang memulung di malam lebaran. Foto Bang Doel deadline-news.com

 

Malam itu Rabu (12/5-2021) sekitar pukul 23:30 wita, bertepatan malam Lebaran Idul Fitri 1442 Hijriah, saya melintas di jalan Prof Mohammad Yamin jalur dua kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah dari arah utara ke Selatan.

Foto pak Amir bersama anaknya dan gerobaknya. Foto bang Doel deadline-news.com

Secara tak sengaja saya menoleh ke kiri dan mataku tertuju ke salah seorang lelaki memakai baju kaos lengan panjang merah putih yang terlihat lusuh.

Lelaki itu memakai topi ala koboy dengan senter diikat di kepalanya dan masker kain warnah hitam menutupi sebagian wajahnya, mulai dari hidung sampai ke dagu.

Lelaki itu bersama kedua anaknya sambil mendorong gerobak yang berisi kardus, botol plastik dan barang bekas lain.

Saya mengikuti dari belakang langkah kaki bapak pendorong gerobak bersama putri dan putranya.

Tepat didepan kantor Bulog Sulteng yang berhadapan SPBU di jalan M.Yamin lelaki pendorong gerobak itu mampir rehat sejenak sambil menikmati lalampa (gogos) pemberian orang dan sesekali meneguk air mineral dingin dalam gelas plastik.

Walau hanya seorang pemulung namun sepertinya bahagia menikmati kehidupannya bersama kedua anaknya di malam lebaran Idul Fitri itu.

Adalah Amir nama lelaki berbaju lusuh bertopi ala koboy dengan senter di kepala itu. Amir berusia 35 tahun.

Ia ditemani seorang putrinya berusia 14 tahun yang sudah putus sekolah karena tak punya biaya dan seorang putranya berusia sekitar 5 tahunan.

Amir tinggal bersama istri dan 3 orang anaknya di Kalukubula jalan Guru Tuah Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah, setelah rumahnya di kampung halamannya rusak akibat angin puting beliung.

Amir tinggal di sebuah kontrakan (kos-kosan) milik temannya di Desa Kalukubula Kabupaten Sigi.

Amir bersama dua anaknya itu berangkat dari kontrakannya di Sigi sejak pukul 5:30 wita atau selepas salat Subuh menyusuri jalan-jalan dan lorong-lorong di kota Palu.

Dan kembali ke kontrakannya di Kalukubula pada tengah malam, setelah dari pagi hingga malam menelusuri lorong-lorong mencari barang bekas seperti kardus, botol dan gelas air mineral dan barang bekas lainnya yang dapat dijual.

Dalam waktu 18 jam Amir terkadang mendapatkan uang hasil penjualan barang bekas hanya Rp, 30 ribu. Dan biasa juga sampai Rp, 50 ribu. Namun Amir sering mendapatkan rezeki tak terduga dari orang-orang baik di sepenjang jalan yang ia lalu.

Lelaki kelahiran Tolitoli Sulawesi Tengah itu, memilih jadi pemulung dari Kalukubula Sigi hingga ke Kota Palu karena tidak ada pekerjaan lain.

Apalagi setelah jatuh dari pohon Cengkeh beberapa tahun lalu, membuat dirinya sudah tidak mampu bekerja keras seperti buruh bangunan dan kerja di sawah serta kebun. Pasalnya kakinya pernah patah saat jatuh dari pohon cengkeh di kampung halamannya Tolitoli.

“Walau hanya memulung saya bersyukur masih dapat mencari nafkah untuk anak istri saya. Dan kami selalu mematuhi protokol kesehatan (Protkes) covid19 yakni selalu menggunakan masker saat berjalan mencari barang bekas yang dibuang warga,”aku Amir.

Disaat keluarga (suami, Istri dan anak-anaknya) lainnya sibuk menanak buras, ketupat, daging sapi dan ayam di malam lebaran Idul Fitri 1442 hijriah atau berbelanja pakaian baru di toko-toko, Mall dan swalayan, Amir bersama anak-anaknya masih berjuang mencari nafkah dengan cara memulung barang bekas dari pagi sampai larut malam.

Dimasa pandemi ini, mungkin pemulung salah satu kelompok masyarakat yang rentan akan tertular covid19. Sebab saban hari bersentuhan dengan bakteri di tong-tong sampah saat mengutak aktik sampah mencari dan memilih barang bekas yang dapat jadi uang.

Sedih rasanya melihat kondisi kehidupan mereka sebagai pemulung. Apalagi dimasa pandemi begini. Karena saban hari bersentuhan dengan bakteri walau mereka menggunakan masker dan sarung tangan terbuat dari kain yang tentu saja jarang dicuci.

Tapi apa mau dikata, sudah itu jalan hidup mereka sebagai pemulung. Saya hanya dapat mendoakan mereka dan membantu mereka ala kadarnya, untuk 10 kg beras, yang mungkin hanya bertahan dalam waktu 5 hari. Itupun mungkin hanya sekali setahun.

Sementara banyak pejabat dan orang-orang kaya yang sudah berkali-kali naik Haji atau Umrah. Bahkan memiliki kelebihan rezeki yang dihabiskan di panti-panti pijat, bar-bar dan cafe-cafe. Mobil mewah berjejer di garasi, rumah megah dan kelebihan makanan yang mungkin terbuang-buang karena tidak habis dimakan.

Andaikan Allah SWT memberikanku kekayaan seperti orang-orang kaya itu, maka hanya sekali saja saya beribadah Haji atau umrah. Dan selebihanya saya akan sumbangkan kepada orang-orang miskin, pondok pesentren dan panti-panti asuhan serta orang-orang membutuhkannya.

Namun sayangnya kehidupan saya masih pas-pasan, sehinga hanya bisa berbagi dengan pemulung itu ala kadarnya.

Semoga ada orang kaya yang dapat membantu para pemulung itu untuk meningkatkan tarap hidupnya.

Minimal berhenti memulung dan memilikin pekerjaan lebih baik, misalnya berjualan ikan, sayur mayur atau membuka kios. Sehingga lebih aman dan terjaga dari penyebaran virus covid19 serta anak-anak mereka dapat bersekolah sampai ke perguruan tinggi. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top