Oleh. DEDI ASKARY, SH
“Dapat dimengerti, bahwa karena sibuknya memberikan bantuan kepada mereka yang selamat dari bencana alam yakni, gempa bumi, tsunami dan liquifaksi. Kesibukan memberikan bantuan dimaksud biasanya berada pada tahap tanggap darurat,. Bisa jadi karena alasan kedaruratan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap mereka yang terpaksa mengungsi atau disebut dengan istila penyintas akibat bencana alam, acap kali menjadi kurang diperhatikan”
Berkenaan dengan perlindungan dan Pemenuhan dimaksud meliputi akses bantuan, diskriminasi dalam pembagian bantuan, pelaksanaan relokasi, kekerasan seksual, dan kekerasan terhadap perempuan, keterlibatan anak-anak dalam perkelahian, kehilangan dokumen, pemindahan dan pemulangan kembali secara sukarela dan aman hingga pada soal terkait dengan isu-isu ganti rugi tanah, pengabaian terhadap pemmenuhan hak-hak korban gempabumi, tsunami dan liquifaksi dipengungsian hanya karena PROBLEM ADMINISTRASI PROEDURAL yang sesungguhnya sangat tidak berdasar, bahkan cenderung mengada-ada, hingga skema dan model pendekatan dalam merespon korban selamat dari hantaman gempabumi, tsunami dan liquifaksi yang hingga kini berada dan tersebar dihampir semua tempat yang dipandang aman, baik di Kota Palu, Sigi, Donggala dan Parigimoutong.
Skema dan model pendekatan dimaksud, dalam merespon korban yang selamat dalam peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 September 2018, tidak melihat atau meresponnya sebagai sebuah peristiwa (bencana), namun semestinya harus dilihat dan meresponnya sebagi bagian dari siklus kehidupan manusia.
Dalam pandangan demikian, peristiwa (bencana alam) tersebut, mestinya tidak lagi dilihat sebagai sebuah kejadian luar biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan normal sehari-hari, lebih jauh, harusnya sudah saatnya kita melihat dan merespon bencana alam,(gemppa bumi, tsunami dan liquifaksi)dengan lebih kritis sebagai akibat, dan secara dialektis menjadi sebab dari proses dan kejadian normal.
Karenanya sebagai konsekuensinya, sudah saatnya sebuah upaya penanganan bencana tidak lagi terpaku pada penanganan kondisi darurat atau emergency semata yang dalam prakteknya melihat pengungsi sebagai korban yang tidak berdaya, dimana pada akhirnya membuat kita lupa mendorong partisipasi mereka sekalipun mereka berada ditempat pengungsian.
Menghindari munculnya anggapan demikian, untuk selanjutnya secara komprehensif untuk selanjutnya mestinya dalam melakukan penanganan korban yang selamat seperti layaknya dalam proses hidup sehari-hari seakan dalam situasi normal, dengan atau setidak-tidaknya dimulai dengan mengidentifikasi proses pembangunan yang dapat mengakibatkan bencana atau memunculkan bencana baru (karena respon yang kita lakukan, dalam banyak peristiwa lupa mendorong mereka untuk turut serta berpartiisipasi setidak-tidaknya secara bersama-sama menjaga kebersihan lingkungan seputar tempat pengungsian).
Bahkan kita abai dan menganggap tidak penting untuk senantiasa mendorong agar semangat kolektifitas tetap terjaga, hingga dalam hal pembagian peran antara perempuan dan lelaki, setidak-tidaknya lelaki dewasa yang berada di lokasi pengungsian tetap didorong untuk senantiasa bertanggung jawab dan menjamin kepastian akan ketersediaan bahan makanan utamanya, ketersediaan bahan bakar dan air bersih, dengan demikian secara tidak langsung sesungguhnya kita telah melakukan tidakan-tindakan preventif terhadapnya (tidak justeru melakukan diskriminasi, membiarkan terjadinya ketimpangan peran hingga lupa mendorong agar hak-hak atas lingkungan yang bersih dan sehat tetap terpenuhi) secara otomatis,dengan demikian, tanpa disadari sesungguhnya kita telah mendorong masyarakat atau para penyintas yang menyebar di titik-titik pengungsian melakukan kesiapan dan penanganan bencana yang lebih baik tanpa perlu menunggu jatuhnya korban karena kondisi emergency.
Respon emergency atau respon darurat harus dipandang sebagai suatu sistem penanganan kondisi darurat dengan senantiasa tetap memperhatikan nilai-nilai kelayakan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dalam membantu para korban bencana secara cepat, tepat dan efektif.
Bentuk respon darurat yang efektif dan sistematis sangat diperlukan oleh setiap lembaga yang bekerja pada kasus-kasus emergency, sebagai panduan dalam bertindak cepat dan tepat, jika dipandang perlu, otoritas kelembagaan yang bertanggung jawab dalam urusan Bencana alam, harus lebih inovatif dalam mengembangkan sistim penanganan kondisi darurat yang berbasis local, dengan senantiasa tetap mempertahankan standar-standar penanganan kondisi darurat yang berlaku.
Semakin banyak daerah atau wilayah terdapat korban bencana alam, baik itu gempabumi, tsunami, liquifaksi dan lain-lain, semisal yang terjadi dan menimpa masyarakat Kota Palu, Sigi, Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong yang beralih dari tahap tanggap darurat ketahap rekonstruksi, maka semakin besar kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mengatasi masalah-masalah terkait erat dengan pengabaian ataupun pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam setiap tahapan pengelolaan dan penanganan terhadap korban bencana alam yang terjadi.
Merujuk pada pengalaman dari beberapa bencana alam yang terjadi, memberi pembelajaran kepada kita bahwa ada “terdapat resiko yang sangat serius terhadap munculnya dugaan telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius, apabila penyintas baik yang ada di Kota Palu, Sigi, Donggala (Pasigala), dan Parigi Moutong atau daerah-daerah lainnya.
Lebih-lebih yang mengungsi keluar wilayah tertentu tidak segera kembali ke rumahnya masing-masing atau mencari rumah yang baru setelah beberapa minggu atau beberapa bulan bencana berlalu.
Disebabkan adanya penegasan dari otoritas pemerintahan setempat untuk tidak usah kembali, termasuk sebagai akibat atas lambannya respon atas proses pembangunan atau penyediaan hunian sementara yang layak serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Dalam hal terjadinya bencana alam, sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigimotong, sebagai akibat terjadinya gempabumi, tsunami dan liquifaksi, praktek-praktek diskriminasi dan dugaan telah terjadi pelanggaran Hak ekonomi, Sosial dan budaya secara serius dapat menjadi penyebab semakin memperpanjang masa pengungsian masyarakat korban yang selamat dari terpaan bencana alam yang terjadi.
Merujuk pada panduan prinsip-prinsip atas terjadinya Pengungsian Internal, secara luas melihatnya sebagai orang-orang yang terpaksa atau harus mengungsi atau meninggalkan rumahnya dan/atau tempatnya menetap karena alasan-alasan selain konflik dan perselisihan antar penduduk, juga dikarenakan oleh bencana alam.
Lebih jauh begitu beragamnya tantangan berkenaan dengan problem penuhan Hak Asasi Manusia, khusunya pasca peristiwa bencana alam terjadi, dapat dilihat dari beberapa hal, semisal terhadap akses bantuan.
Terhadap hal ini (akses terhadap bantuan), Penyintas ber hak dan/atau memiliki Hak untuk meminta dan oleh karenanya atas maksud tersebut wajib mendapat perlindungan dan bantuan (sebagai sebua Hak) dari otoritas pemerintah atau otoritas kelembagaan yang ditunjuk, untuk memenuhi kebutuhan dasar yang mendesak bagi setiap penyintas atau yang terdampak karena sebua peristiwa terjadinya bencana alam.
Berbagai instrument Hukum Hak Asasi Manusiia Internasional, khusunya menyangkut pemenuhan hak-hak penyintas Internal (termasuk penyintas akibat terjadinya bencana alam), secara umum menegaskan bahwa setiap neggara melalui otoritas pemerintahan berkehendak memberikan respons secepatnya dalam memberikan bantuan kemanusiaan bagi setiap penyintas atas peristiwa bencana alam yang terjadi, dalam situasi penuh keterbatasan, untuk memenuhi kehendak memberikan bantuan secepatnya, melalui otoritas pemerintahan yang ada (pusat maupun daerah) tentunya membutuhkan bantuan dari luar sebaga prasyarat agar kehendak dimaksud bisa terwujud, mekanisme yang ditempu dan paling realistis untuk dilakukan adalah membangun kerjasama strategis dengan masyarakat internasional.
Olehnya otoritas pemerintahan atau otoritas kelembagaan yang bertanggung jawab yang telah ditunjuk, “tidak dapat memblokir akses terhadap tuntutan atau desakan penyintas untuk mendapatkan hak mereka, sebab pada saat dan dalam waktu bersamaan mereka sendiri (melalui otoritas kelembagaan yang ada semisal BNPB atau BPBD) tidak mampu memberikan respon cepat yang memadai, demikianpula terhadap pembatasan pengiriman bantuan hanya karena problem administrasi sebagaimana yang terjadi dipelabuhan pantoloan, terhadap bantuan dari, tarakan, nunukan yang tidak dapat diturunkan, atau hal-hal yang bersifat administrative procedural, menyebabkan penyintas begitu sulit mengakses dan mendapatkan bantuan yang memadai dengan cepat, sepatutnya dikemudian hari dihindarkan.
Non-Diskriminasi: Dalam panyak pengelaman, setelah terjadi bencana alam, acapkali terilihat (bisa jadi tanpa disadari, namun juga bisa sebaliknya, terjadi praktek diskrinimasi yang dilakukan secara sadar) dalam hal pendistribusian bantuan kemanusiaan, untuk kasus diskriminasi pendistribusian bantuan, terhadap korban peristiwa gempabumi, tsunami dan liquifaksi yang mengungsi tidak jauh atau nyaris didepan kantor Dinas Sosial Kabupaten Donggala, penyintas dengan sejumlah anggota keluarganya dan beberapa yang lain menyelamatkan diri dan membangun tenda (mandiri) dari bahan alakadarnya serta hanya pakaian yang melekat dibadan, Karena menyadari ternyata tempat mereka menyelamatkan diri dan membangun tenda tidak jauh dari Kantor Sosial, untuk selanjutnya berusaha bertemu pejabat setara kepala bidang dan menceritakan masalah dan kebutuhan dasar yang dibutuhkan utamanya beras, selimut tenda yang layak, namun dengan berbagai alasan dan harus menunggu berhari hari baru mendapatkan sedikit yang dimintanya.
Sementara pada waktu hampir bersamaan serta beberapa hari berturut-turut kebutuhan bantuan serupa yang sebelumnya telah dimintakan, oleh beberapa yang lain, seketika diberikan dalam jumlah memadai, belakangan diketahu korban yang lain sebagaimana dimaksud adalah kerabat dekat dan tetangga rumah sang Ibu Kepala Bidang.
Ketidak adilan dalam dalam pendistribusian bantuan, tidak hanya melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan, lebih jauh beresiko menimbulkan tekanan yang dapat mengancam keamanan para penyintas, serta menimbulkan kekecewaan terhadap otoritas pemerintahan setempat.
Karena soal-soal dimaksud, tidak heran lebih kurang satu minggu pasca bencana, penyintas di wilayah Donggala pada akhirnya meregang nyawa karena kelaparan, pun demikian,di Kota Palu.
Karena lemahnya respon otoritas pemerintahan setempat berujung terjadi kekecewaan massal yang seketika merubah wujud menjadi khawatir dan amarah, hingga rasa cemas dan khawatir warga atas ketidak jelasan sikap dan respon pemerintah.
Rasa cemas dan khawatiir akan keberlangsungan hidup seketika merubah perilaku masyarakat yang menyebabkan bukan saja terjadi bencana alam, namun seketika akibat ketidak jelasan yang terjadi atas kondisi para penyintas, bencana alam yang terjadi seketika memperluas atau mengembangkan diri menjadi bencana sosial, hal mana disebabkan telah terjadi penjarahan dimana-mana, yang awalnya sebatas menjarah kebutuhan bahan makanan menjadi meluas lagi.
Tidak hanya sebatas menjarah kebutuhan pokok sehari-hari, namun penjarahan berlanjut terhadap barang-barang lainnya diluar kebutuhan pokok sehari-harii.
Sebagaimana rasa khawatir, cemas yang dirasakan para penyintas karena ketidak jelasnya sikap dan lemahnya respon pemerintah, memberi implikasi munculnya rasa kecewa yang selanjutnya seperti halnya guncangan dasyat terjadi akibat gemppabumi, yang seketika disusul tsunami bahkan liquifaksi, pun demikian atas rasa kecewa para penyintas, seketika dengan gerak cepat dalam skema konsolidasi, untuk selanjutnya merubah kecewa menjadi amarah yang bergerak menyampaikan protes melalui aksi massa yang terkonsolidasi, hingga meluas dan mendesakan tuntutan agar Walikota dan Wakil Walikota turun dari jabatannya.
Hingga mendesakan kepada otoritas pemerintah diatasnya agak segera mencopot Walikota dan Wakil Walikota dari jabatannya masing-masing.
Lebih jauh, respon khusus terhadap kelompok rentan (perempuan dan anak, balita hingga orangtua lanjut usia serta ibu hamil menyusui) jika tidak dinilai melakukan pengabaiyan bahkan terkesan dengan sengaja, dan oleh karenanya tidak jarang terjadi kekerasan terhadap anak dan perempuan, pelecehan seksual hingga praktek perdagangan anak yang merupakan resiko serius lainnya yang acapkali terjadi terhadap penyitas dari kelompok rentan dipengungsian.
Demikianpun terhadap pemenuhan hak atas kesehatan bagi Ibu Hamil Menyusui dan balita, khususnya dari aspek pemenuhan kalori setidaknyamendekati standar asupan 2.100 kalori setiap orangnya, hingga terkait akses terhadap pendidikan bagi setiap anak usia sekolah dipengungsian, hingga ketersediaan sarana dan prasarana sebagaimana standar yang semetinya terhadap sekolah-sekolah darurat yang layak dan wajib memperhatikan keselamatan jiwa anak.
Dan terjaminnya pelaksanaan proses belajar-mengajar yang memadai, hingga menyangkut kehilangan dokumen-dokumen penting akibat bencana alam seperti peristiwa gempabumi dengan kekuatan besar disusul terjadinya tsunami dan liquifaksi, menyebabkan tidak sedikit penyintas yang menyelamatkan diri dipengungsiaan, dokumen-dokumen penting mereka hanyut seiring dengan hempasan tsunami atau tertelan atau tertimbun lumpur yang menyebabkan rumah hancur luluh lantak bahkan hilang tertimbun dalam perut bumi.
Kurangnya dokumen atau karena peristiwa tersebut menyebabkan semua dokumen penting dimaksud, hilang sama sekali mengakibatkan penolakan akses untuk kesehatan, pendidikan atau layanan public lainnya atau untuk mengakses mekanisme kompensasi atau gantiirugi tanah dan bangunan yang rusak. Mengakhiri tulisan ini, kami hendak menegaskan sebagai pengingat dalam melaksanakan kerja-kerja kemanusiaan dalam peristiwa Bencana Alam, bahwa “Penanganan yang baik terhadap korban bencana alam merupakan wujud dari Pemenuhan Hak Asasi Manusia”. ***