Di Suatu malam saya dengan kawan – kawan duduk ngopi sambil bercerita.
Diskusi warung kopi itu terdapat berabagai macam profesi, ada yang jurnalis, pengacara, pejabat dan wiraswasta. Salah satu topik pembicaraan kami itu adalah pejabat jujur, setia atau loyal terhadap pimpinannya.
Kata kawan saya orang jujur itu rada-rada sulit didapatkan dalam lingkup pemerintahan maupun organisasi saat ini. Tapi orang yang loyal atau setia terhadap pimpinan banyak. Mengapa? Karena pejabat atau anggota yang jujur itu cenderung “melawan” jika kebijakan pimpinan bertentangan dengan hati nuraninya.
Batinnya berontak, hatinya dan perasaannya gundah gulana jika mendapati sebuah kebijakan yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip ketidakadilan atau melanggar aturan. Kendati terpental dari sebuah jabatan yang diamanahkan ketimbang berlaku curang.
Beda halnya dengan bawahan yang setia, selalu manut menuruti apa kemauan pimpinan kendati masuk “jurang” sama-sama. Contoh pejabat yang jujur acapkali secara financial begitu-begitu saja hidupnya, tak mau dihonor dalam melaksanakan tugas yang diamanahkan. Sebab ia berfikir dirinya sudah digaji oleh negara. Salah satu contoh sosok pejabat yang jujur adalah almahrum (Alfatiha) Baharuddin Lopa.
Pejabat macam ini sangat tepat di era pengetatan anggaran. Betapa tidak? pejabat yang jujur itu sangat dibutuhkan diera efisiensi anggaran. Apalagi jika sang big bos misalnya Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota “mencel-mencel” mengambil kebijakan. Lain di mulut lain prakteknya atau tidak “se iya kata dengan perbuatan”.
Katanya pengetatan tidak melakukan rapat-rapat di hotel mewah. Kalau perlu rapatnya lewat daring saja.
Begitupun penggunaan waktu kerja diefisienkan yang tadinya dua sampai tiga hari bisa satu hari saja demi pengetatan anggaran. jangan seperti yang terjadi saat ini, rapat di salah satu hotel mewah membahas sebuah rancangan undang-undang tertentu.
Bagaimana mau ketat dan efisien anggaran kalau dari lembaga tertentu ditempatkan dijabatan tertentu yang sebetulnya hak sipil mendudukinya. Boleh ditelusuri patut diduga gajinya doubel. Misalnya oknum pejabat TNI-Polri ditempatkan pada jabatan sipil dalam lembaga negara atau kementerian, gaji pokoknya pasti diinduk lemabaga dimana dia berasal.
Tapi tunjangan dan gaji tambahan dimana lembaga sipil mereka ditugaskan. Apakah ini efisien dalam penerapan pengetatan anggaran? Semoga saja diera ini masih ada pejabat yang jujur, loyal terhadap kepentingan rakyat, amanah dan tidak mencel-mencel.***