Arham Bustaman (deadline-news.com)-Matrasulbar-Mamuju Utara memiliki kekayaan melimpah berupa sumber daya alam yang cukup dengan aneka hayati. Di perut bumi daerah yang paling ujung utara Sulawesi Barat ini juga menyimpan kandungan minyak yang diprediksi begitu banyak. Keberagaman suku dan budayanya juga tidak kalah penting dari potensi lainnya.
Untuk itu bupati Mamuju Utara Agus Ambo Jiwa memberi ruang seluasnya bagi jajaran birokrasi untuk melakukan inovasi sesuai dengan sembilan agenda pokok yang dicanangkan untuk periode kedua pemerintahannya bersama HM.Saal demi meningkatkan kesejahteraan warganya.
Menggali potensi wisata adat merupakan salah satu inovasi yang mulai dilakukan pemerintah daerah Mamuju Utara sebagai wujud implementasi nawajiwa, karena bila ini dikelola dengan baik maka diharapkan bisa menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Adat Bunggu menjadi perhatian utama, sebab selain potensi perikananan dan kelautan dengan garis pantai yang terbentang sepanjang 150 KM, keberadaan budaya Bunggu yang menjadi khas lokal ini juga juga tak kalah menarik untuk dikembangkan untuk dijadikan destinasi wisata.
Sebelum menetap di beberapa perkampungan seperti di dusun Kalibamba dan Poenje (Desa Polewali), Saluraya di sekitar areal perkebunan sawit PT.Pasangkayu dan juga di Desa Pakava, dahulu warga Bunggu pernah membangun pemukiman di lereng Gunung Koramu (Dusun Lelumpang), sebab suku ini dikenal hidup berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat lain.
Berkaca pada daerah lain yang sudah sejak lama mengembangkan pariwisata budaya lokal, seperti Bali, Lombok, Toba, Toraja dan lainnya yang sudah maju dan berkembang sehingga mampu meningkatkan perekonomian warga dan mengangkat citra daerah tersebut.
Maka pemda melihat budaya dan adat kedua rumpun Kaili itu yang memiliki khas yang patut untuk dipromosikan secara luas dan simultan sehingga suatu saat bisa diandalkan khususnya dalam pengembangan wisata budaya.
Arhamuddin selaku pemrakarsa terwujudnya kawasan khusus adat menekankan perlu pelestarian dan penelitian secara mendalam terkait adat istiadat (budaya lokal) demi keberlangsungan budaya sekaligus menjadi objek wisata.
Ia yang kini menjabat sekretaris Bappeda Mamuju Utara mengatakan pakaian khas Bunggu berupa baju, celana (Puruka), topi (Siga), sarung (Buya), selendang (Sinde) mempunyai keunikan tersendiri karena semuanya terbuat dari kulit kayu malo.
Masyarakat Bunggu juga memiliki rumah adat (Sou) yang cukup unik, karena dibangun di atas pohon yang sekarang mulai jarang terlihat, mereka juga mempunyai tempat pertemuan khusus yang disebut bantaya (Soupolibu) dengan bagian-bagian bangunannya berbahan dasar bambu beratap daun rotan (Lauro) dan alang-alang (Jono).
Namun kebaradaan kekayaan budaya warga yang berasal dari lereng gunung Penembani (Sulawesi Tengah) ini sudah mulai punah terkikis modernisasi, baik pakaian, rumah yang mereka tempati hingga bantaya yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan arsitektur aslinya.
Sehingga diperlukan kesadaran semua pihak terutama intervensi pemerintah daerah untuk melakukan pelestarian budaya khas tersebut. Sebab bila itu tidak dilakukan sekarang maka budaya ini akan ditelan oleh sejarah.
Setidaknya, pihak pemda melalui BAPPEDA sudah melakukan pertemuan dengan warga Bunggu guna membahas keberlangsungan budaya dan adat istiadat Bunggu dengan melibatkan IRE Yogyakarta. Institute for Research and Empowerment atau IRE Yogyakarta adalah lembaga independent, nonpartisan dan nonprofit yang berbasis pada komunitas akademik.
Selain warga dan tokoh adat Bunggu, pertemuan tersebut juga dihadiri kepala BAPPEDA Firman dan dua orang stah ahli bupati serta pemerintah desa Polewali dan camat Bambalamotu. Arhamuddin menjelaskan ke depannya, pihaknya akan melibatkan lebih banyak pihak yang berkompeten termasuk dinas pariwisata.
Karena itu, sebagai program berkelanjutan, warga Kalibamba dan Poenje akan terus dilakukan pembinaan sekaligus dijadikan daerah percontohan dengan memberikan bantuan pembangunan rumah adat dan bantaya sesuai dengan wujud aslinya.
Ngepe selaku tokoh masyarakat Bunggu (totua) menyambut baik rencana pemerintah untuk membantu melestarikan budaya dan adat istiadat mereka. Sebab, merekapun menyadari tradisi turun-temurun dari nenek moyang mereka sudah mulai luntur seiring waktu.
Ia juga mengisahkan hukum adat berupa denda (givu) yang masih dipertahankan dalam pranata sosial merupakan tradisi masyarakat Bunggu yang menjadi pembeda dengan suku lain pada umumnya bahkan etnik Kaili sekalipun yang sejak lama mendiami wilayah pesisir Mamuju Utara.
Dan kebiasaan para orangtua warga Bunggu yang bersirih pinang (mompongo) mirip dengan suku-suku pedalaman yang ada di daerah lain di Indonesia. Mayoritas warga lain memakai sebutan Binggi bagi bagian etnis Kaili ini. Namun, nyatanya mereka lebih senang menggunakan nama Bunggu (orang gunung), sebab mereka mengklaim kata Binggi itu berarti orang yang tinggal di pesisir. ***