Selasa malam (10/3-2020), sekitar pukul 19:30 sampai pukul 22:30 wita di Caffe Refans jalan Achmad Yani, Kajati Sulawesi Tengah (Sulteng) yang baru Gerry Yasid, SH, MH bersama jajarannya, ngopi bareng sambil diskusi dengan sejumlah pentolan aktivis pergerakan, baik yang sudah senior maupun yang masih unior.
Tak terkeculai para pengiat informasi (Jurnalis), Praktisi hukum dan para korban bencana gempa bumi, likuifaksi dan tsunami.
Adalah Yahdi Basma, SH, Ariyanto Sangadji dan yang lainnya hadir dalam ngopi bareng sambil diskusi dengan Kajati Gerry Yasid itu.
Pasca bencana alam (gempa bumi 7,4 magnitudo yang disertai likuifaksi dan tsunami di Palu, Sigi, Dongga dan Parigi Moutong (Padagimo) 28 September 2018, menjadi salah satu topik bahasan dalam diskusi sambil ngopi itu.
Pasca bencana tentu saja membawa dampak, baik secara sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun hukum. Bagaimana tidak? hak keperdataan bagi yang terdampak tsunami dan likuifaksi tidak dapat ditukar atau diganti dengan hunian tetap (Huntap).
Belum lagi berbagai macam persoalan yang muncul terkait dana bantuan stimulan dan jaminan hidup yang nilainya miliyaran rupiah. “Compang campingnya” administrasi pendataan korban bencana, sehingga rada-rada rumit dan membuat keterlambatan penanganan serta pendistribusian dana stimulan untuk perbaikan rumah rusak ringan, sedang dan berat.
Ironis dan miris ketika Negara “tak hadir” ditengah-tengah rakyatnya yang tertimpa kemalangan. Anak, Istri dan tempat tinggal hilang tertimbun tanah. Namun miris seakan-akan Negara tak hadir. Sehingga bantuan dari luar Negarapun masuk dan lebih peduli terhadap nasib masyarakat korban bencana itu ketimbang negara.
Sebut saja Budha Tzu Chi, membangun ribuan hunian tetap di Palu dan Sigi. Lalu dimana peran Negara? Kenapa mesti bantuan dari luar Negara yang masuk dan peduli rakyat korban bencana? Hal itu ditegaskan M.Natsir Mangge, S.Sos, M.Si saat berdialog dengan Kajati Sulteng.
Bukan itu saja, tapi Nasir menengarai ada ketidak beresan dalam penanganan bantuan bencana alam di Padagimo Sulteng ini. Hal senada juga diungkapkan Ikbal Borman. Bahkan Ikbal menyanggupi memberikan data akurat ke Kajati untuk diproses secara hukum.
Dalam diskusi Kajati bareng pentolan aktivis 98 itu, Gerry Yasid, SH, MH selaku Kajati baru mengaku berkomitmen menegakkan hukum, memberantas Korupsi dan mencegahnya di wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Sulteng ini.
Komitmen Kajati itu hal yang lumrah disampaikan setiap ada pejabat Kejati baru. Karena para pendahulunya juga demikian. Bahkan Jurnalis diundang dan dikumpulkan ngopi bareng dengan Kajati. Namu seiring perjalanan waktu, semangat ketika baru masuk di kejati Sulteng mulai luntur, hingga akhirnya pindah tugas lagi ke daerah lain.
Sebagai warga Sulteng kita hanya bisa menanti komitmen Kajati Sulteng yang baru Gerry Yasid didalam menegakkan hukum, memberantas korupsi tanpa pandang bulu, dan mencegah korupsi untuk menghidari kerugian dan bangkrutnya Negara akibat korupsi itu sendiri.
Semoga saja komitmen Kajati Gerry Yasid itu dapat ditunaikan ditengah-tengah hiruk pikuknya dugaan korupsi di daerah ini. ***