Antasena (deadline-news.com)-Peringatan hari keadilan internasional (HKI) yang jatuh pada tanggal 17 Juli 2020, dijadikan momentum oleh Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia (LS-ADI) untuk mengkritisi kinerja Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati-Sulteng) yang ditandai dengan aksi unjuk rasa di halaman Kantor Kejati Sulteng Jum’at (17/7-2020).
LS-ADI menyebut Kejati Sulteng “Ompong” dalam menegakkan hukum dan mengungkap kasus-kasus pelanggaran hukum di Sulteng.
Adalah Ujang Koordinator Lapangan pada aksi unjuk rasa itu, dalam orasinya mengatakan masih banyak kasus –kasus yang belum terselesaikan dari persolan nasional sampai ke persoalan lokal, khususnya di Sulteng keadilan hanya di perjualan belikan.
“Kejati Sulteng dalam hal ini sebagai lembaga penegak hukum yang seharusnya disegani, akan tetapi saat ini kejati Sulteng kami anggap sebagai Macan yang kehilangan taringnya,”tandas Ujang.
Menurutnya salah satu contoh kasus, seperti persoalan asrama haji yang mana pembagunannya dimualai pada awal 2017 sampai sekarang belum ada kejelasanya.
Ironisnya Kejati hanya berkata, “kami pengurus baru” padahal proyek Asrama haji itu menelan anggaran kurang lebih Rp,48 miliyar. Sedangkan progresnya hanya sekitar 50-80 persen.
“Hal ini kami nilai, bahwa kejati saat ini ompong dalam menangani sebuah kasus hukum di daerah ini,”tegas Ujang.
Ujang mengatakan, begitupun dengan kasus hoax yang terjadi di Sulteng yang menimpa Gubernur Sulawesi Tengah Drs.Longki Djanggola, M.Si yang sampai hari ini tak kunjung usai.
Selain itu persoalan pembayaran hutang Pemerintah Kota Palu pada proyek jembatan Palu IV, yang mana 3 minggu setelah gempa bumi, tsunami dan likuifaksi 28 September 2018, Pemerintah Kota palu membayar hutang kepada PT. Global Daya Manunggal (GDM) dengan peryataan ada kenaikan harga baja (Skalasi Harga).
“Padahal di tenggah situasi pasca bencana, masyarakat kota Palu membutuhkan bentuan dari pemerintah. Dalam hal ini pemerintah menjelma menjadi pohon pisang yang memiliki jantung, tapi tidak memiliki hati, dimana dia lebih mementingkan membayar sesuatu yang sudah tidak ada dari pada membantu masyarakatnya yang kesusahan akibat bencana 28 september 2018 itu,”Kata Ujang mengisahkan.
Ujang menambahkan berkaca pada kebijakan walikota sebelumnya, dimana dia tidak mau melakukan pembayaran yang disebut hutang oleh PT GDM itu. Dengan alasan kalau dia membayar dia akan berada dalam bahaya.
“Kami menilai penanganan kasus pembayaran hutang proyek Jembatan Palu IV Kejati sangat lamban. Padahal kasus – kasus sebelumnya seperti penanganan kasus dinas kesehatan, RSUD di kabupaten Poso dan Jembatan Totrate CS di ruas jalan nasional pantai Barat sangat cepat untuk terselesaikan. Maka dari itu tidak heran kalau masyarakat menilai kalau hukum di Indonesia tajam ke kebawa dan tumpul ke atas.
Kata Uajang kemudian kami juga menduga Banyaknya Oknum yang mengatas namakan profesi baik mengaku wartawan atau LSM yg seakan-akan utusan kejati melakukan aksi-aksi tidak terpuji diantaranya jadi makelar Kasus dan membawa-bawa nama institusi kejati dalam melakukan lobi-lobi hukum dimasyarakat.
Seharusnya pihak kejati membersihkan diri dari lingkungan-lingkungan seperti ini dan meminimalisir praktek-praktek mafia kasus dan makelar kasus.
Sehingga jangan terkesan oknum kejaksaan memakai pihak ke tiga dalam mencari keuntungan pribadi. Maka dari itu Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia (LS-ADI) meminta kepada Kejati untuk menegakan keadilan se adil-adilnya, meyelesikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.
“Karena sejatinya keadilan adalah timbangan yang seimbang di mana pun ia berada tanpa memandang suku,agama dan ras. Semua ini bisa terlaksa apabila fungsi Kejati benar-benar dijalankan dengan baik,”ungkap Ujang. ***