Oleh Agussalim, SH
Praktisi Hukum/Koordinator SPHP
Tingginya konflik ekonomi sosial saat ini memuncak menjadi perhatian masyarakat atas darurat agraria bagi sektor tambang dan sawit.
Kesemuanya sektor ini memainkan peran aktif pihak asing masuk menjadi piranti oligarki demokrasi Indonesia.
Konflik perkebunan sawit misalnya, masih menempati jumlah tertinggi kasus secara Nasional, yakni sebanyak 161 kasus.
Jumlah area terdampak seluas 645.484 hektar, dan melibatkan korban masyarakat sejumlah 49.858 jiwa.
Menyambung bahwa kelangkaan minyak goreng (Migor) merupakan bagian tak terpisahkan dari konflik sumber daya alam di Indonesia.
Ini perlu dilakukan untuk merespons kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang berlangsung sejak akhir 2021 dan memuncak saat ini.
“Hal ini berguna untuk melihat apakah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng terjadi akibat tidak ada efisiensi atau mekanisme tidak wajar dalam rantai produksi dan perdagangan minyak sawit mentah dan minyak goreng.
Kelapa sawit merupakan bahan baku minyak goreng di Indonesia. Dengan perkiraan luas perkebunan hingga 16,3 juta hektare, Agussalim SH menyebut komoditas ini masih dikuasai segelintir perusahaan besar.
Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat.
“Kelangkaan dan melambungnya harga telah menyengsarakan dan berdampak pada hak-hak masyarakat, diantaranya hak ekonomi, hak atas kesejahteraan, hak atas kesehatan dan hak atas rasa aman.”
Konsumen menjadi pihak paling dirugikan dari naiknya harga minyak goreng.
Hingga hari ini, kisaran harga berada di Rp 24.000 – Rp 45.000 per liter.
Sebelum kelangkaan terjadi, harga minyak goreng berada dibanderol di bawah Rp 20.000 per liter.
Sejumlah organisasi nonprofit termasuk Konsorsium Pembaruan Agraria, SHI Sulteng, LBH Sulteng, dan Green Lawyer Indonesia menduga adanya “praktik penimbunan dan kartel yang melanggar HAM.”
Praktik kartel terjadi dikarenakan pasar tidak berpihak ke rakyat dan kegagalan korporasi dalam bingkai oligarki menjadikan tanggung jawab negara untuk menghormati HAM, termasuk tidak mempertimbangkan secara efektif masalah jender, kerentanan dan/atau marginalisasi masyarakat adat.
Negara memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi HAM dari segala bentuk tindakan bisnis yang berpotensi melakukan pelanggaran Konstitusi.
Disini pentingnya peran Komisi Pengawasan Persaingan Usaha segera mendalami dan bertindak adanya kemungkinan kartel yang terjadi dalam rantai produksi dan perdangan CPO dan minyak goreng.
Kepolisian juga didesak untuk menindak tegas para pelaku penimbunan minyak goreng dan kasus kelangkaan minyak goreng yang ditemukan di lapangan.
Selain itu, pemerintah seharusnya mengontrol harga pasar dan menjamin ketersediaan.
Sementara itu korporasi bertanggung jawab dengan tidak berkontribusi terhadap terjadinya pelanggaran dengan menimbun dan menentukan harga melalui kartel.
“Pemerintah perlu menyediakan mekanisme pengaduan dan pemulihan yang cepat dan memadai jika terdapat dugaan pelanggaran HAM terkait minyak goreng.”
Untuk itu perlindungan konsumen menjadi hal yang patut menjadi perhatian dan ini telah diatur undang-undang. ***