Perkara korupsi spektakuler yang ditangani Kejaksaan Agung (kejagung) beberapa tahun terakhir ini patut diacungi jempol. Yang paling menarik saat ini kasu dugaan korupsi di badan usaha milik negara (BUMN) yang menangani pertambangan timah dengan jumlah kerugian negara sangat fantastis.
Kasus dugaan korupsi kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dan pihak swasta secara ilegal dengan angka kerugian lingkungan mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun menyita perhatian publik. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin bicara soal perhitungan kerugian negara dengan perekonomian negara adalah dua hal yang berbeda.
Sepanjang kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin, beberapa perkara mega korupsi telah berhasil ditangani seperti Jiwasraya, ASABRI, PT Garuda Indonesia, impor tekstil, impor garam, impor besi, PT Duta Palma, minyak goreng, impor gula, hingga terbaru adalah PT Timah yang mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah.
Dua dari 5 tersangka baru dalam kasus timah adalah pihak swasta yakni HL selaku Beneficiary Owner PT TIN, dan Fandy Lingga alias FL selaku Marketing PT TIN. Kemudian tiga tersangka lainnya adalah mantan Kepala Dinas dan Plt Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berinisial SW, BN dan AS.
Mereka adalah Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) dan Helena Lim selaku Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE).
Setelah Harvey Moeis dan Helena Lim, Kejaksaan Agung juga menjerat empat tersangka lain dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk 2015-2022 dengan pasal pencucian uang.
Kasus dugaan korupsi yang melibatkan orang-orang besar secara ekonomi itu tentu saja menimbulkan persaan tidak nyaman bagi pihak-pihak yang selama ini memperoleh manfaat, termasuk para mantan jendral baik di Kepolisian maupun TNI sekiranya mereka ada dalam lingkaran itu.
Bahaya yang mengancam Kejagung itu mulai menyasar Jampidsus Febrie Adriansyah. Dimana Febrie dikabarkan dikuntit oleh oknum anggota Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) selaku instansi tempat Densus Antiteror 88 bernaung, diminta untuk buka suara perihal siapa dalang dibalik penguntitan itu.
Wakil Ketua Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), Kurniawa Adi Nugroho mengatakan Polri harus bisa mengungkap apa motif anggota Densus 88 yang diamankan Polisi Militer (PM) itu.
Menurutnya Polri harus bisa menerangkan apa motif dan siapa sosok pemberi perintah atas misi yang diemban anggota tersebut.
“Harus dilacak apakah yang bersangkutan bergerak sendiri atau ada perintah perwira yang pangkatnya lebih tinggi, baik di internal Densus sendiri atau dari satuan lain,” ujarnya seperti dilansi wartakotalive.com Jum’at (24/5/2024).
Tidak hanya itu, Polri juga dinilai harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung lantaran posisi kedua instansi tersebut sama-sama sebagai penegak hukum.
“Sampai kapanpun polri sebagai penyidik perkara pidana wajib berkomunikasi dengan jaksa sebagai penuntutnya. Saya melihat ini hanya kerjaan oknum yang nyari recehan,” katanya.
Kurniawan pun menegaskan sosok pemberi perintah harus diungkap dari peristiwa penguntitan itu, termasuk perannya dalam perkara yang sedang intens ditangani jajaran Pidsus Kejaksaan Agung.
Sebagaimana diketahui, saat ini para penyidik Pidsus Kejaksaan Agung tengah disibukkan mengusut perkara rasuah tata niaga komoditas timah.
“Harus dilacak apa perannya dalam kasus tipikor tambang,”tandas Kurniawan.
Pekan lalu beredar kabar terkait diciduknya seorang anggota Densus 88 Polri di sebuah restoran makanan Prancis di Cipete, Jakarta Selatan.
Anggota Densus itu terciduk saat membuntuti Jampidsus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah. Adapun identitas dari anggota Densus yang tertangkap itu disebut-sebut berinisial IM dan berpagkat Bripda.
Saat itu dia diduga menyamar sebagai karyawan perusahaan BUMN dengan menggunakan nama inisial HRM. Berdasarkan informasi yang diterima, dia saat itu tengah menjalankan misi “Sikat Jampidsus.”
Tak sendiri, IM diduga menjalankan misi bersama lima orang lainnya yang dipimpin seorang perwira menengah Kepolisian. Namun, hanya IM yang berhasil diamankan pengawal Jampidsus saat itu.
Beberapa kali mereka menggeber-geber hingga membuat petugas pengamanan dalam (pamdal) Kejaksaan Agung menutup gerbang.
Tak berhenti di situ, peristiwa serupa terjadi sehari setelahnya, Selasa (21/5-2024). Saat itu Kejaksaan Agung kembali didatangi empat kendaraan hitam yang diduga milik Brimob dan sempat berhenti di depan gerbang Kejaksaan Agung sekira pukul 22.40 WIB. Saat berhenti, rombongan mobil itu membunyikan strobo beberapa kali.
Begitu empat mobil itu melintas, dua Mobil Polisi Militer yang semula parkir di sisi dalam gerbang Kejagung, langsung maju ke sisi luar gerbang. Pada Selasa (21/5/2024) malam pula, terdapat kejadian yang lain yang tidak biasa di Kejaksaan Agung.
Dari pinggir lapangan dekat parkiran Gedung Utama, sekira empat orang berbaju hitam tampak bersiaga, lengkap dengan alat penembak drone. Tak berhenti di situ, rupanya beberapa petugas pengamanan dalam Kejaksaan Agung yang berjaga di gerbang belakang (Jalan Bulungan) sudah memakai rompi anti-peluru.
Dua Mobil Polisi Militer (PM) pun terparkir di depan gerbang sisi dalam, tak seperti hari-hari biasanya. Pengamanan Kompleks Kejaksaan Agung pun dipertebal dengan tambahan personel dari berbagai kesatuan militer. Tampak beberapa di antara personel tambahan mengenakan pakaian dinas harian Marinir Angkatan Laut.
Kejagu perlu kita jaga bersama-sama dari ancaman oknum-oknum beking dibalik “perampokan” kekayaan alam untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Jangan biarkan Kejagung dalam tekanan dan intervesi oleh oknum-oknum tak bermoral merampok kekayaan negara dengan menggunakan simbol negara.
Disejumlah media online dan elektronik oknum purnawirawan jenderal berbintang 4 berinisial B diduga dibalik gerakan teror Jampidsus Kejagung dengan cara memerintahkan oknum anggota Densus 88 menguntit sang penuntut.
Mestinya sang jenderal 4 itu belajar dari kasus Ferdy Sambo, dimana semua yang terlibat kasus pembunuhan pengawal Ferdy Sambo bernama Josua, harus menerima sanksi terpasuk oknum Kapolres dan oknum kapolsek dan beberapa anggotanya. Sebab diduga terlibat dibalik persekongkolan pembunuhan sang Jendral bintang 2 Ferdy Sambo.
Apalagi sang jendral bintang 4 itu sudah purnawirawan, maka secara hirarki sudah tidak punya hak garis komando memerintah anggota aktif di Polri untuk mempresur Jampidsus agar kasus korupsi (perampokan) uang negara dengan cara penambangan timah ilegal.
Semoga saja Kejagu tidak terpengaruh dengan intervensi dan tekanan dari pihak manapun untuk mengungkap siapa saja terlibat dibalik dugaan korupsi timah di Bangka itu.***