Oleh : Hasanuddin Atjo
PEMPROV Sulteng bersama Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah membangun sejumlah Pelabuhan Perikanan pada tiga kawasan yaitu di kawasan selat Makassar dan laut Sulawesi, teluk Tomini serta di teluk Tolo.
Pelabuhan Perikanan yang telah dilengkapi sejumlah infrastruktur, seperti pabrik es, coldstoredge, stasiun pengisian bahan bakar serta fasilitas lainnya itu nyata berkorelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan, dilihat dari Nilai Tukar Nelayan, NTN yang dievaluasi setiap bulan oleh BPS. Selain itu, juga telah meningkatkan volume dan nilai transaksi ikan, serta mengurangi aktifitas transaksi di tengah laut.
Pelabuhan Perikanan sifatnya Strategis Pelabuhan Perikanan yang dibangun sifatnya strategis karena telah memberikan kemudahan bagi nelayan untuk mendaratkan, memasarkan, menampung hasil di coldstoredge bila berlebih, menyediakan kebutuhan logistik untuk melaut seperti es, sembako bahkan sampai kepada menyiapkan mess nelayan sebagai tempat beristirahat sebelum melaut kembali.
Selain itu di beberapa Pelabuhan Perikanan seperti di Labuan Batu Donggala dan Pagimana Luwuk atas fasilitasi PT Telkom, maka nelayan dan masyarakat dapat mengakses “dunia maya”, utamanya untuk kepentingan bisnis melalui fasilitas Wifi yang tersedia secara gratis.
Selain itu menjadi tempat mengedukasi masyarakat dalam hal transformasi teknologi, penguatan kelembagaan serta pecatatan produksi dan nilai transaksi. Saat ini telah selesai dibangun enam pelabuhan perikanan yaitu Labuan batu Donggala dan Ogotua Tolitoli yang memasarkan dan menampung hasil tangkapan ikan di selat Makassar dan Laut Sulawesi; Paranggi di Parigi Moutong dan Pagimana di Luwuk untuk kawasan teluk Tomini; serta Pelabuhan Kolonedale Morowali Utara dan Mato Banggai laut untuk kawasan teluk Tolo.
Saat ini Pemprov Sulteng sedang merencanakan pembangunan Pelabuhan Perikanan di Banggai Kepulauan dan kabupaten Morowali. Nilai transaksi ikan di pelabuhan Labuan Batu, Ogotua, Pagimana, Paranggi, Kolonedale dan Mato menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun.
Sebagai contoh di Labuan Batu Donggala, dalam lima tahun terakhir nilai transaksi ikan bergerak dari 60 – 80 milyar rupiah per tahunnya. Selain itu keberadaan program Cold Chain System, CCS atau sistem rantai dingin yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Daya Saing KKP dapat menekan disparitas harga antara musim paceklik dan musim ikan.
Sebelum ada program CCS, di saat musimnya harga ikan pelajik kecil seperti kembung, layang dan deho (cakalang kecil) di Labuan batu Donggala dan Mato Banngai laut hanya 3000 – 4000 rupiah/kg, namun saat ini dapat dipertahankan antara 8000-9000 rupiah/kg. Dan program ini sekaligus sebagai upaya mengurangi persoalan inflasi di Sulawesi Tengah pada bulan tertentu yang disebabkan oleh tingginya fluktuasi harga ikan.
Nilai Tukar Nelayan Meningkat Nilai tukar nelayan atau NTN adalah Indeks harga yang diterima nelayan dibahagi dengan indeks yang dibayarkan dikalikan 100 persen. Bila NTN di atas 100 persen maknanya ada potensi simpanan bagi keluarga nelayan. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS menunjukkan bahwa NTN Sulteng dalam kurun waktu enam tahun (2012-2018) menunjukkan trend peningkatan yang signifikan.
Di tahun 2012 secara Nasional perhitungan nilai tukar petani (NTP), termasuk nilai tukar nelayan dikembalikan ke tahun dasar yaitu sama dengan 100 persen. Selanjutnya di tahun 2014 berturut-turut sampai dengan tahun 2018 NTN Sulteng adalah 102,04 persen, 110,46 persen, 115,01 persen, 117,105 persen dan 2018 turun menjadi 115 persen sebagai rangkaian dampak dari musibah gempa dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah tanggal 28 September 2018. Prestasi ini menepatkan NTN Sulteng termasuk tiga besar Nasional.
Harapan kita tentunya bagaimana ke depan NTN ini lebih ditingkatkan melalui peningkatan daya saing pendekatan industrialisasi. Diperlukan pembangunan sejumlah infrastruktur, regulasi dan pengembangan sumberdaya manusia.
Mewujudkan Indonesia Sejahtera 2045 Pricewaterhouse Coopers (PwC) lembaga riset ekonomi reputasi dunia, berdasarkan kajiannya mengemukakan bahwa di tahun 2045 Indonesia dapat menjadi negara dengan kekuatan ekonomi di peringkat-5 dunia setelah China, Amerika Serikat, India dan Brasil dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 5,24 triliun dan di tahun 2050 meningkat posisinya menjadi peringkat-4 dengan nilai US$ 10,50 triliun.
Sementara itu di tahun 2018 PDB kita untuk pertama kalinya tembus di angka US$ 1 triliun dan menempatkan Indonesia diurutan 16 dunia. Kekayaan sumberdaya alam Indonesia termasuk kemaritiman, bonus demografi, Negara kepulauan yang beriklim tropis serta kekayaan biodiversity atau keanekaragaman hayati adalah pembenaran dari kajian lembaga riset dunia tersebut. Karena itu negeri ini membutuhkan sejumlah pemimpin atau aktor pembangunan yang memiliki “reputasi; mampu menerobos batas; berkemampuan melihat apa yang ada di balik bukit kemudian mengelolanya secara berkelanjutan” untuk kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Semoga. (Hasanuddin Atjo, Kadis Kelautan dan Perikanan Sulteng).***