Andi Attas Abdullah (Deadline News/koranpedoman)-PALU-Sulteng-Menyinggung soal banyaknya dugaan korupsi di Sulteng, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Johanes Tanak, SH,MH menjawab koran Deadline News/koranpedoman.com disela-sela buka puasa bersama di Kantornya Rabu malam (8/7-2015), menegaskan pihaknya tengah fokus menangani dugaan korupsi 23 titik proyek bencana alam di Kabupaten Parigi Moutong. “Kami masih fokus menuntaskan proses hukum kasus dugaan korupsi dua mantan Gubernur yakni HB.Paliudju dan Aminudin Ponulele serta dugaan korupsi 23 titik proyek bencana alam di Parimo. Sebab personil kami sangat terbatas, sekalipun banyak sekali laporan masyarakat terkait dugaan korupsi di Sulteng ini, tapi kami selesaikan satu persatu,”ujar putera kelahiran Kabupaten Poso itu.
Menurutnya dari ketiga kasus itu dua diantaranya sudah dalam penanganan. Makanya harus segera dituntaskan, agar kasus-kasus dugaan korupsi lainnya dapat kita tangani dan proses secara tuntas. Hal ini terjadi karena keterbatasan personil di Kejati ini.
Disinggung soal penanganan dugaan korupsi 23 titik proyek bencana alam Parimo, Kajati menegaskan bahwa pihaknya sangat serius memprosesnya. Hanya saja, tim Asisten Intelijen Kejati Sulteng baru selesai mengumpulkan data-data, sehingga untuk proses pemanggilan bagi pejabat dan pihak lain yang terlibat akan ditangani tim Asisten tindak pidana khusus (Aspidsus). Karena yang berwewenang melakukan pemanggilan adalah Aspidsus. Dan kalau hasil penyelidikan memenuhi tiga unsur pelanggaran hukum, maka ditingkat proses hukumnya dari penyelidikan ke penyidikan.
Sementara data yang dikutif dari koran Indigo diperolerh informasi, proyek yang menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Parmout senilai Rp9 miliar lebih tersebut, terindikiasi fiktif dan diduga telah terjadi penyalahgunaan anggaran. Pada 2011, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Parimo menghelat pemulihan banjir senilai Rp9,5 miliar lebih. Anggaran tersebut untuk pemulihan pasca bencana dilakukan melalui penunjukan langsung.
Alasannya, perlu penanganan segera (tanggap darurat). Proses penunjukan kepada 23 dimulai dengan surat permohonan persetujuan pengadaan dengan sistem penunjukan langsung Bupati Parimo, Samsurizal Tombolotutu, yang disetujui melalui surat N0.029/151/BPBD tanggal 21 September 2011.
Menindak lanjuti surat itu, Kepala BPBD Arisman, melalui surat NO.01 s.d23/PTDBA/BNPB/IX/2011 tertanggal 22 Sepetember, mengundang 23 penyedia barang/jasa untuk melaksanakan pekerjaan berupa normalisasi sungai.
Merujuk pada Surat Perintah Mulai Kerja Sementara (SPMKS) NO.01 s.d23/PTDBA/BNPB/IX/2011, 23 penyedia barang dan jasa menyatakan bersedia melaksanakannya serta dan langsung menandatangani kontrak kerja.
Belakangan, dari Rp,9,5 miliar lebih anggaran dikucurkan kepada pelaksana, direalisasikan hanya Rp,6 miliar lebih. Sedangkan pencairannya dikabarkan dibayarkan langsung oleh PPK dan bendahara.
Beberapa kejanggalan mewarnai pelaksanaan proyek tersebut, diantaranya, bahwa dalam surat, bencana banjir bandang dinyatakan terjadi ditiga kecamatan yakni, Kecamatan Tinombo, Torue dan Balinggi, namun pelaksanaan pekerjaan membias ke lima kecamatan lain di Parimo.
Pada proses pengusulan anggaran ke BNPB pusat, (oleh pihak Pemda Parimo sebesar Rp9,5 miliar) diketahui mentok dan tidak disetujui, karena bencana yang terjadi dianggap masuk kategori pasca bencana, dan bukan tanggap darurat.
Karena tidak disetujui melalui jalur APBN, maka pihak BPBD Parimo menganggarkan proyek tersebut secara bertahap kepada DPRD Parimo, tahap pertama Rp6 M, dan tahap kedua Rp3,5 M.
Proses pembayarannya, dilakukan pada 11 Januari 2013 sebesar Rp6 miliar, sementara PPK dan bendahara proyek tersebut diduga tidak memiliki surat keputusan (SK) pengangkatan jabatan.
Lalu, berdasarkan surat bupati yang menyatakan telah terjadi banjir bandang di tiga kecamatan, sangat bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Pasalnya tidak pernah terjadi bencana alam di 23 titik secara bersamaan sebagaimana tertuang dalam surat tersebut.
Olehnya itu, ada asumsi taksiran kerugian keuangan daerah mencapai Rp6 miliar lebih. Dan jika dihitung berdasar pembayaran proyek dikerjakan di luar tiga kecamatan dinyatakan terjadi bencana, maka kerugian mencapai Rp3 miliar dari sembilan pekerjaan. ***
