Arham Bustaman (deadline-news.com)-Pasangkayu Sulbar-Perusahaan sawit milik Astra Group seakan tak pernah lepas dirundung masalah, mulai dari isu lingkungan berupa pembuangan limbah berbahaya hingga penyerobotan lahan warga.
Baca Juga ini :Bupati Pasangkayu Kecewa Terhadap Kepala SKPD
Bahkan pemindahan TPS saat pemilu legislatif 2014 lalu sempat menjadi sorotan publik dan mendapat reaksi keras dari beberapa anggota DPRD Mamuju Utara kala itu.
Persoalan klasik yang selalu jadi perhatian ini, kini mencuat kembali ke permukaan. Pasalnya warga Suku Bunggu di Desa Pakava, Kecamatan Pasangkayu, Mamuju Utara yang telah mendiami areal lahan yang dulunya masih hutan belantara seakan diambil paksa pihak perusahaan dengan cara klaim HGU.
Padahal menurut warga, meski semenjak tahun 2006 sudah dibicarakan antara kedua belah pihak, namun sampai saat ini belum mendapatkan titik terang. Bahkan hal tersebut diperkuat dengan pernyataan salah seorang anggota DPRD Matra Saifuddin Baso saat menerima aspirasi tuntutan warga di ruang aspirasi DPRD Matra, Kamis (13/4).
Faktanya pada hari Kamis, 13 April puluhan warga mendatangi gedung DPRD Matra meminta tanah mereka dikembalikan yang termasuk dalam penguasaan HGU PT Pasangkayu yang sudah ditanami sawit sekitar 6 ribu hektar dari luas keseluruhan 9.319 hektar .
CDO PT Pasangkayu Matheus Raditya mewakili direksi perusahaan mengatakan sangat menghargai tuntutan warga Pakava. Tapi pihaknya meminta tetap dilakukan komunikasi secara terbuka antara warga dan perusahaan.
Lagi pula, selama ini tidak ada masalah, meskipun dirinya baru menjabat dua minggu. Dia menilai ini hanya missing link (terputus mata rantai) dari pejabat lama dengan pejabat baru. Sehingga dia menduga cela ini dimanfaatkan warga melalui pemerintah mendesak agar kembali duduk bersama membicarakan soal lahan HGU.
Soal klaim warga terhadap lahan HGU PT Pasangkayu, ia menilai tidak cukup beralasan. Karena jauh sebelumnya sudah dilakukan risalah panitia B yakni proses peninjauan lokasi yang melibatkan seluruh instansi pemerintah dan juga dilakukan korespondensi dengan warga sekitar sebagai landasan penerbitan sertifikat HGU.
“Ini kurang mendasar (tuntutan warga_red), sebab tidak mungkin pihak BPN berani menerbitkan sertifikat HGU bila tidak ada proses peninjauan berupa risalah panitia B dan korespondensi dengan warga sekitar,” kata Matheus.
Selain itu, ia berkilah soal dugaan pembuangan limbah berbahaya ke sungai sekitar pabrik olahan minyak sawit (CPO), ini juga tidak terbukti. Sebab selama ini, pihaknya selalu melakukan pengujian laboratorium dan laporan tiap bulan.
“Intinya bila ada pencemaran, gampang terdeteksi melalui perubahan warna air, selain itu berdampak pada biota air berupa ikan mati, juga terdapat tumbuhnya klorin serta meningkatnya kadar keasaman pada air,” kilah Matheus saat dikonfirmasi, Jumat, 14 April di Pasangkayu. ***