Ilong (deadline-news.com)-Palusulteng-Wali kota Palu, Drs. Hidayat, M.Si menjadi salah satu narasumber kegiatan Diskusi Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia di Hotel Santika Palu pada Kamis (17/9-2020).
Diskusi tersebut mengangkat tema “Kontekstualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Dunia Pendidikan di Kota Palu” tersebut dihadiri para guru PKN dari beberapa sekolah di bawah naungan Pemerintah kota Palu.
Wali kota dalam paparannya mengatakan visi misi pembangunan Pemerintah kota Palu saat ini mengangkat tema budaya dalam konteks nilai yaitu nilai toleransi, kegotongroyongan, dan kekeluargaan.
Menurutnya, ketiga nilai tersebut merupakan nilai dasar dari nilai-nilai Pancasila yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Kaili dan ingin diwujudkan kembali oleh Pemerintah kota Palu agar daerah tetap aman, damai, dan tentram.
“Kalau kita melihat kota Palu sebelum tahun 2016 lalu, sering terjadi konflik antar kelurahan sehingga membuat resah masyarakat. Alhamdulillah saat ini hampir tidak terjadi lagi konflik-konflik tersebut karena kita mulai wujudkan kembali nilai toleransi, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di tengah masyarakat,” katanya.
Namun demikian, lanjut Wali kota potensi terjadinya kembali konflik ini masih besar, olehnya Pemerintah kota Palu membentuk Satgas K5 atau Kebersihan, keindahan, Ketertiban, Keamanan, dan Kenyamanan serta Lembaga Adat untuk menjaga ketiga nilai tadi.
Wali kota mengatakan yang dimaksud dengan adat di dalam visi misi Pemerintah kota Palu sebenarnya bukan tari-tarian dan lainnya, namun adat yang berarti aturan yang mengatur tatanan kehidupan manusia.
“Ada tiga aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia baik perilaku, perbuatan, dan ucapan serta satu aturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam,” ungkapnya.
Selain itu, Wali kota juga mengatakan pihaknya sejak awal menjabat telah memprogramkan Kamis Berbudaya melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Palu, dimana setiap siswa pada hari Kamis mengenakan atribut budaya dari daerahnya masing-masing.
“Misalnya siswa asal Jawa mengenakan blangkon, kemudian Kaili mengenakan siga dan sampolu,” katanya. ***