Koalisi NasDem dengan Gerindra sudah final. Koalisi dua partai besar itu mengusung Ahmad Ali berpasangan Abdul Karim Al Jufri (sekretaris Gerindra Sulteng).
Namun begitu wakil ketua DPP Partai NasDem itu masih terus melakukan lobi-lobi politik kesejumlah ketua umum partai, salah satunya Ketum Partai Hanura Oesman Sapta Oddang yang akrab disapa Oso.
Sementara isu yang berkembang ditengah-tengah masyarakat sulteng, Pilgub sulteng akan diikuti tiga pasangan bakal calon gubernur yakni Dr.Anwar Hafid – Renny A Lamadjido yang akan diusung Partai Demokrat, PAN, PKB dan PBB.
Sedangkan Rusdy Mastura yang akrab disapa Cudy (incumbent) disebut-sebut berpasangan Srilalusi atau Ma’mun Amir yang akan diusung Partai Perindo, PDIP, Golkar dan PPP?
Sementara rival politik utamanya yakni pasangan Ahmad Ali – Abdul Karim Al Jufri dengan partai pengusung NasDem dan Gerindra.
Namun begitu konstelasi politik saat ini masing sangat dinamis, bahkan bisa jadi hanya dua pasangan kandidat. Bahkan memungkinkan kotak kosong jika salah satu paslon memborong semua partai.
Tapi kalau partai-partai yang memiliki kursi di DPRD Sulteng pro demokrasi maka tidak akan mendukung dan mengusung lagi bakal calon paslon yang sudah memiliki dukungan partai yang lebih dari cukup syarat mengusungnya.
Agar kontestasi politik di Pilgub Sulteng terlihat demokratis dan seru mestinya partai-partai pemilik kursi di DPRD menciptakan suasan alam demokrasi dengan menampilkan tiga pasangan bakal calon gubenur dan wakil gubernur.
Sehingga tidak ada yang monopoli dukungan partai. Kan malu partai-partai politik itu jika salah satu paslon nantinya melawan kota kosong lalu kalah.
Mestinya partai-partai politik belajar dari pemilihan walikota Makassar dimana pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal (Paslon Nomor Urut 1) yang notabene menantu dua konglomerat sulsel yakni H.Aksa Mahmud dan Jusuf Kalla kalah dari kolong kosong atau kotak kosong.
Jangan sampai pelgub sulteng juga begitu karena kekuatan financial lalu partai-partai politik menjual kursinya untuk diborong sehingga tinggal satu pasangan calon melawan kotak kosong.
Jika kondisi ini terjadi maka benar-benar partai politik sudah tidak layak membawa pesan-pesan demokrasi. Tapi justru suasana alam transaksional politik uang, dimana hanya yang banyak uang dapat masuk berkontestasi dalam dunia politik praktis termasuk pemilihan umum kepala daerah.
Semoga saja kondisi seperti itu tidak terjadi dalam pilgub sulteng 27 November 2024. “Head to head lebih baik dari pada melawan kotak kosong”. ***