Oleh Masuki M Astro
Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, dikenal memiliki garis pantai yang sangat panjang, yakni 71 kilometer. Karena letaknya di wilayah pantai selatan Pulau Jawa itu, ikan di Pacitan melimpah, khususnya ikan tuna.
Produk turunan ikan tuna yang kini terkenal adalah abon tuna dan tahu tuna. Bahkan, produk tahu tuna milik Pak Ran (Sukiran) sudah merambah ke berbagai pulau di luar Jawa.
“Tahu tuna asal Pacitan sudah banyak yang dikirim ke Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Selain Pak Ran, banyak juga usaha kecil-kecil yang memproduksi tahu tuna di Pacitan ini,” kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Pacitan Wasi Prayitno.
Ia mengemukakan bahwa tahu tuna itu adalah makanan bergizi karena isinya daging ikan tuna yang mengandung omega 3. Omega 3 adalah kandungan yang sangat bagus untuk tubuh.
“Selain dimakan dengan bakso, tahu tuna juga bisa dimakan sebagai camilan. Bisa dimakan dengan saos, rasanya gurih. Makanan ini juga merupakan oleh-oleh khas Kabupaten Pacitan,” katanya.
Contoh lain dari pelaku usaha tahu tuna dan abon tuna adalah Marsiah bersama suaminya Budiono di Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Kota, Kabupaten Pacitan.
Marsiah yang memiliki usaha dengan merek Inggil ini memulai usaha sejak 2009. Awalnya Marsiah hanya sebagai ibu rumah tangga, sementara suaminya berjualan makanan.
Sampai pada suatu ketika Pemerintah Kabupaten Pacitan mengadakan pelatihan pembuatan abon tuna karena wilayah itu berdekatan dengan Pantai Tamperan yang dikenal sebagai pelabuhan dengan hasil tangkapan ikan tuna.
“Awalnya kami membuat abon tuna yang kemudian dikemas dalam plastik dan dijual ke pengunjung objek wisata Pantai Teleng yang dekat dengan daerah saya ini. Ternyata laku dan kami terus meningkatkan jumlah produksi,” kata Marsiah, perempuan asal Wonosobo, Jawa Tengah, ini.
Kini, kata dia, tahu dan abon produksinya sudah banyak dikirim ke luar daerah, termasuk ke Sumatra, Kalimantan, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.
Selain tuna, dia juga memproduksi abon ikan marlin. Dalam dua pekan sekali dia menghabiskan 1 kuintal ikan tuna atau marlin mentah yang kemudian dibuat menjadi sekitar 450 gram abon kering.
Sebanyak enam hingga 10 pekerja awalnya membersihakn jeroan ikan. Ikan yang sudah bersih kemudian direbus dan dilanjutkan dengan penghalusan. Ikan rebus yang sudah dihaluskan diberi bumbu kemudian digoreng dengan minyak. Sebelum dimasukkan dalam kemasan, ikan itu dibersihkan dari minyak goreng sehingga tidak basah dan awet.
Marsiah dan Budiono mengaku produk abon maupun tahunya tidak pernah menggunakan bahan pengawet. Meskipun demikian, abon produksinya mampu bertahan hingga enam bulan lebih.
Setelah sukses dengan abon, pada tahun 2011 dia mencoba membuat tahu tuna. Namun, hanya bertahan sebentar karena kekurangan tenaga kerja. Pada tahun 2013, dia mencoba kembali berproduksi dan bertahan hingga kini. Bahkan, omzetnya penjualan barang produksinya sudah mencapai Rp60 juta hingga Rp100 juta per bulan.
Bahkan, dia kini juga memproduksi nugget, pangsit, dan pentol bakso berbahan ikan tuna yang juga dikirim hinga ke luar Jawa, termasuk Pulau Bali. Untuk tahu tuna, saat ini justru menjadi produksi terbanyak dibandingkan abon dan lainnya.
“Dalam sehari bisa menghasilkan 4.000 tahu atau 400 bungkus yang masing-masing berisi 10 tahu dengan harga Rp6.500,00 per bungkus,” kata Budiono menimpali.
Ia mengaku terkendala dengan biaya ongkos untuk pengiriman ke luar Jawa. Pembeli yang rata-rata akan menjual kembali produksi Marsiah itu keberatan dengan ongkos kirim yang dinilainya terlalu mahal.
Abon produksinya dijual Rp10 ribu dengan berat 90 gram yang dibungkus dalam kemasan lebih bagus, sedangkan yang dengan plastik biasa hanya Rp9.000,00.
Meski demikian, dia mengaku bersyukur karena sejak awal hingga kini persediaan ikan tuna tidak pernah berkurang. Apalagi, pantai selatan Pacitan dikenal sebagai penghasil ikan tuna melimpah. Jika suatu ketika nelayan tidak melaut, pihaknya mengambil ke gudang penyimpanan.
Marsiah mengaku sejak awal tidak pernah mengalami penurunan usaha yang ekstrem. Hal itu dilakukan karena dirinya selalu menjaga mutu, baik pada bumbu maupun pemilihan bahan dasar, termasuk tidak pernah menyentuh bahan pengawet.
Menjelang datangnya Ramadan 1436 Hijriah, beberapa waktu lalu, dirinya mengalami banyak permintaan sehingga dalam sepekan harus berproduksi lebih dari biasanya. Selama bulan puasa, diakui permintaan menurun, dan biasanya akan naik lagi saat Lebaran dan sesudahnya.
Marsiah dan Budiono berharap usahanya akan terus maju karena persediaan bahan dasar yang melimpah di Pacitan. Pacitan yang memiliki potensi wisata alam yang bagus juga membutuhkan industri makanan sebagai pendukung wisata kuliner, termasuk untuk oleh-oleh.
COPYRIGHT © ANTARA 2015. (
Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, dikenal memiliki garis pantai yang sangat panjang, yakni 71 kilometer. Karena letaknya di wilayah pantai selatan Pulau Jawa itu, ikan di Pacitan melimpah, khususnya ikan tuna.
Produk turunan ikan tuna yang kini terkenal adalah abon tuna dan tahu tuna. Bahkan, produk tahu tuna milik Pak Ran (Sukiran) sudah merambah ke berbagai pulau di luar Jawa.
“Tahu tuna asal Pacitan sudah banyak yang dikirim ke Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Selain Pak Ran, banyak juga usaha kecil-kecil yang memproduksi tahu tuna di Pacitan ini,” kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Pacitan Wasi Prayitno.
Ia mengemukakan bahwa tahu tuna itu adalah makanan bergizi karena isinya daging ikan tuna yang mengandung omega 3. Omega 3 adalah kandungan yang sangat bagus untuk tubuh.
“Selain dimakan dengan bakso, tahu tuna juga bisa dimakan sebagai camilan. Bisa dimakan dengan saos, rasanya gurih. Makanan ini juga merupakan oleh-oleh khas Kabupaten Pacitan,” katanya.
Contoh lain dari pelaku usaha tahu tuna dan abon tuna adalah Marsiah bersama suaminya Budiono di Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Kota, Kabupaten Pacitan.
Marsiah yang memiliki usaha dengan merek Inggil ini memulai usaha sejak 2009. Awalnya Marsiah hanya sebagai ibu rumah tangga, sementara suaminya berjualan makanan.
Sampai pada suatu ketika Pemerintah Kabupaten Pacitan mengadakan pelatihan pembuatan abon tuna karena wilayah itu berdekatan dengan Pantai Tamperan yang dikenal sebagai pelabuhan dengan hasil tangkapan ikan tuna.
“Awalnya kami membuat abon tuna yang kemudian dikemas dalam plastik dan dijual ke pengunjung objek wisata Pantai Teleng yang dekat dengan daerah saya ini. Ternyata laku dan kami terus meningkatkan jumlah produksi,” kata Marsiah, perempuan asal Wonosobo, Jawa Tengah, ini.
Kini, kata dia, tahu dan abon produksinya sudah banyak dikirim ke luar daerah, termasuk ke Sumatra, Kalimantan, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.
Selain tuna, dia juga memproduksi abon ikan marlin. Dalam dua pekan sekali dia menghabiskan 1 kuintal ikan tuna atau marlin mentah yang kemudian dibuat menjadi sekitar 450 gram abon kering.
Sebanyak enam hingga 10 pekerja awalnya membersihakn jeroan ikan. Ikan yang sudah bersih kemudian direbus dan dilanjutkan dengan penghalusan. Ikan rebus yang sudah dihaluskan diberi bumbu kemudian digoreng dengan minyak. Sebelum dimasukkan dalam kemasan, ikan itu dibersihkan dari minyak goreng sehingga tidak basah dan awet.
Marsiah dan Budiono mengaku produk abon maupun tahunya tidak pernah menggunakan bahan pengawet. Meskipun demikian, abon produksinya mampu bertahan hingga enam bulan lebih.
Setelah sukses dengan abon, pada tahun 2011 dia mencoba membuat tahu tuna. Namun, hanya bertahan sebentar karena kekurangan tenaga kerja. Pada tahun 2013, dia mencoba kembali berproduksi dan bertahan hingga kini. Bahkan, omzetnya penjualan barang produksinya sudah mencapai Rp60 juta hingga Rp100 juta per bulan.
Bahkan, dia kini juga memproduksi nugget, pangsit, dan pentol bakso berbahan ikan tuna yang juga dikirim hinga ke luar Jawa, termasuk Pulau Bali. Untuk tahu tuna, saat ini justru menjadi produksi terbanyak dibandingkan abon dan lainnya.
“Dalam sehari bisa menghasilkan 4.000 tahu atau 400 bungkus yang masing-masing berisi 10 tahu dengan harga Rp6.500,00 per bungkus,” kata Budiono menimpali.
Ia mengaku terkendala dengan biaya ongkos untuk pengiriman ke luar Jawa. Pembeli yang rata-rata akan menjual kembali produksi
Marsiah itu keberatan dengan ongkos kirim yang dinilainya terlalu mahal.
Abon produksinya dijual Rp10 ribu dengan berat 90 gram yang dibungkus dalam kemasan lebih bagus, sedangkan yang dengan plastik biasa hanya Rp9.000,00.
Meski demikian, dia mengaku bersyukur karena sejak awal hingga kini persediaan ikan tuna tidak pernah berkurang. Apalagi, pantai selatan Pacitan dikenal sebagai penghasil ikan tuna melimpah. Jika suatu ketika nelayan tidak melaut, pihaknya mengambil ke gudang penyimpanan.
Marsiah mengaku sejak awal tidak pernah mengalami penurunan usaha yang ekstrem. Hal itu dilakukan karena dirinya selalu menjaga mutu, baik pada bumbu maupun pemilihan bahan dasar, termasuk tidak pernah menyentuh bahan pengawet.
Menjelang datangnya Ramadan 1436 Hijriah, beberapa waktu lalu, dirinya mengalami banyak permintaan sehingga dalam sepekan harus berproduksi lebih dari biasanya. Selama bulan puasa, diakui permintaan menurun, dan biasanya akan naik lagi saat Lebaran dan sesudahnya.
Marsiah dan Budiono berharap usahanya akan terus maju karena persediaan bahan dasar yang melimpah di Pacitan. Pacitan yang memiliki potensi wisata alam yang bagus juga membutuhkan industri makanan sebagai pendukung wisata kuliner, termasuk untuk oleh-oleh.
COPYRIGHT © ANTARA 2015. (ant).***