PALU (Deadline News/koranpedoman.com)–Front Pemuda Peduli Daerah (FPPD) Sulawesi Tengah (Sulteng) melaporkan Gubernur Sulteng, Longki Djanggola ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Longki dilapor ke KPK terkait pengelolaan Rp11,7 miliar dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT Vale Indonesia Tbk, sinyalemen korupsi 23 titik bencana Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), serta puluhan kasus lain disinyalir melibatkan orang nomor satu di Sulteng tersebut.
Terkait CSR, FPPD dalam pelaporan langsung ke KPK, menduga bahwa Gubernur Sulteng Longki Djanggola telah mencederai hak-hak rakyat, dalam upaya mendapatkan dana CSR atas beroperasinya perusahaan mengolah sumber daya alam di Sulteng.
Dalam laporan itu, gubernur dianggap melakukan konspirasi jahat terhadap penggunaan dana CSR dari PT Vale Indonesia Tbk, untuk pembangunan berkelanjutan yang tidak berdasarkan peruntukan, melenceng, bahkan sarat dengan kepentingan-kepentingan.
Hal tersebut, menurut FPPD, dapat jelas terlihat dari cara distribusi dana CSR ke 14 SKPD dan Biro Pemrov Sulteng yang tidak bersentuhan dengan substansi kepentingan dan kebutuhan rakyat secara langsung.
Bahkan, dalam laporan diserahkan FPPD ke lembaga anti rasuah KPK, bernomor informasi 87808, tanggal 9 Desember 2016 tersebut, juga memuat soal bocoran dari pihak PT Vale Indonesia Tbk, yang menyatakan bahwa Gubernur Longki sendirilah yang menginginkan agar dana CSR dari PT Vale, dialihkan ke bentuk dana hibah ke Pemprov, dengan lebel APBD 2016 Sulteng.
FPPD, dalam laporan, juga memuat soal tengara korupsi 23 titik proyek bencana Parimo 2011 yang diduga melibatkan Gubernur Sulteng Longki Djanggola, Bupati Parimo Samsurizal Tombolotutu, beberapa oknum anggota dewan Parimo serta 23 pengusaha yang mengerjakannya.
Diketahui, sebanyak 23 titik proyek bencana di Parimo ditengarai fiktif dan telah merugikan keuangan negara. Indikasi tersebut terlihat dari beberapa proyek dikerjakan diluar dari Surat Pernyataan Bupati Parigi Moutong Nomor : 17/12.299/BPBD-PM/IX/2011.
Proyek dikerja diluar SK Bupati itu, terdapat di 11 titik, dalam wilayah Kecamatan Parigi Selatan, Palasa, Ampibabo, Toribulu dan Kecamatan Parigi Barat.
Namun, hingga saat ini, kasus tersebut masih tetap misteri. Berdasar catatan, pada 2015, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng Johanis Tanak pernah menyatakan akan segera menggelar perkara dugaan korupsi 23 titik proyek bencana tersebut. Akan tetapi, hingga jabatan Johanis Tanak diganti oleh Isra Yogie Hasibuan, kasus itu masih belum juga terselesaikan.
Selain soal CRS dan 23 titik bencana, FPPD yang diketuai Eko Arianto itu juga mencantumkan hasil investigasi dan bukti pelaporan soal beberapa proyek terindikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) diduga kuat melibatkan Gubernur Sulteng, Longki Djanggola. Beberapa kasus ikut dilaporkan FPPD ke KPK tersebut diantaranya:
1. Proyek Pengadaan KTP Kabupaten Parigi Moutong tahun 2004, senilai Rp8 miliar, kontraktor PT Utama Beton.
2. Proyek Pembangunan Pasar Sentral Parigi senilai Rp46 miliar (secara bertahap), kontraktor PT Waskita Karya.
3. Proyek pembangunan Pasar Kota Raya bertahap Rp10 miliar.
4. Pembangunan Kantor Bupati Parimo dengan total nilai Rp74 miliar, oleh PT Global.
5. Pembangunan Gedung DPRD Psrimo senilai Rp 32 miliar.
6. Pengadaan Mobil pembakaran sampah Rp1,8 miliar.
7. Pekerjaan pengadaan spare parts alat berat di Towera, senilai Rp1,5 miliar.
8. Pekerjaan pembangunan Terminal Tiboli Rp12 miliar (bertahap).
9. Pekerjaan pembangunan Jembatan Ponulele Rp50miliar
10. Pekerjaan Pembangunan Balai Sungai Napu Rp13 miliar.
11. Pekerjaan pengadaan Mobil Pick Up 10 unit Rp 1,4 miliar.
12. Pekerjaan program rehabilitasi lahan dan hutan (RHL) sejak tahun anggaran 2011-2013, lokasi tersebar di seluruh propinsi sulteng khusus di taman Lore Lindu, lokasi Lembah Bosowa.dikutif di Smartcelebes.com.
Sementara itu Gubernur Sulteng Drs.H.Longki Djanggola, M.Si yang dikonfirmasi Sabtu (10/12-2016) via pesan singkat di Whatsaapp dan sms di no handpone 081145005X terkait pelaporan LSM FPPD atas nama Eko Arianto, tidak memberikan jawaban atau tanggapan. ***