Andi Attas Abdullah (deadline-news.com)-Palusulteng -Adalah kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP), yang menjadi persoalan dalam Pilkada tahun 2018 ini. Mengapa sebab undang-undang Pemilu mensyaratkan setiap wajib pilih adalah pemegang sah E-KTP dimana dia berdomisili dan terdaftar sebagai pemilih.
Namun yang terjadi, banyak wajib pilih yang hanya didaftar menggunakan kartu keluarga dan surat keterangan domisili. Hal ini sangat berbahaya, dan dapat menimbulkan pilkada yang curang, tak adil, bahkan tidak jujur dan tidak demokratis.
Betapa tidak, warga yang sudah wajib pilih, namun tidak memiliki E-KTP, sangat rawan untuk dimainkan oleh burjois-borjois politik. Sebut saja disalah satu desa, yang kepala desanya pro pasangan Kepala Daerah yang berstatus incumbent, tentu saja akan berupaya keras memenangkan calon incumbent itu dengan cara menerbitkan surat keterangan pengganti KTP untuk dapat digunakan menjadi berkas administrasi, sehingga diperbolehkan mencoblos.
Anggota Bawaslu Sulteng Zatriawati menjawab pertanyaan Andi Attas Abdullah dari deadline-news.com Sabtu malam (5/5-2018) sekitar pukul 17:15 wita, di Zamrud hotel Palu, membenarkan adanya calon pemilih di Kabupaten Donggala yang belum memiliki E-KTP. Jumlahnyapun fantastis karena mencapai 30.000 wajib pilih.
“Ada 30 000 wajib pilih di Donggala belum memiliki E-KTP. Olehnya kami telah mendorong pemerintah daerah Donggala, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Ducapil) untuk segera mengurus dan menerbitkan E-KTP bagi masyarakat tersebut. Sehingga hak-hak pilihnya dapat mereka gunakan,”tandas wanita berjilbab itu.
Menurutnya bukan hanya E-KTP yang bermasalah dalam Pelkada tahun 2018 di beberapa kabupaten di Sulteng ini. Tapi keterlibatan aparatur sipil Negara (ASN) dalam mendukung salah satu pasangan calon (Paslon) Kepala daerah – wakil kepala daerah.
Padahal sebenarnya Netralitas ASN ini sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) No.5 tahun 2014 tentang ASN yang secara tegas menyatakan bahwa ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan penyelenggaran tugas umum pemerintahan dalam peran nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Sebetulnya bukan hanya UU No.5 tahun 2014 tentang ASN saja, tapi ada beberapa dasar hukum lain yang menyatakan ASN harus bersikap netral. Dasar hukum tersebut adalah UU No.10 tahun 2016 tentang penetapan PP No.1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Secara teknis, hal itu juga diatur dalam PP No.42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dan PP No.53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Kata Zatriawati ASN yang diduga terlibat dalam politik praktis dengan cara mendukung salah satu pasangan calon Kepala dan wakil kepala daerah telah dilaporkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)
“Sebagai tugas pokok pengawasan, Bawaslu Sulteng telah melakukan verifikasi data terkait oknum ASN yang tidak netral di Pilkada tahun 2018 ini. Dan oknum ASN tersebut telah kami laporkan ke KASN untuk ditindaki sesuai aturan yang berlaku,”jelas Zatriawan.
Zatriawati menegaskan jika para ASN yang diduga tidak netral itu terbukti melanggar, maka sanksinya adalah pemecatan.
Olehnya tugas Bawaslu dan teman-teman pers untuk melakukan pengawasan dan pencerahan kepada masyarakat, khususnya ASN jangan terlibat dalam dukung mendukung Paslon atau partai Politik tertentu pada tahun pemilu Kada 2018 dan Pelig dan Pilpres 2019 mendatang.
“Kami harap peran pers bersama-sama Bawaslu terlibat untuk melakukan pengawasan pada Pilkada tahun ini dan Pileg serta Pilpres 2019 mendatang,”ujar Zatriawati. ***