PINRANG (Deadline News/koranpedoman.com)–Keberadaan Villa Donadei di Puncak Karomba, atau disebut Negeri di Atas Awan Pinrang, yang dibangun di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 80 hektar (Ha) di Lekke Bossing, Desa Sali-sali, Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang, mendapat perhatian serius dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel).
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulsel Muhammad Al Amin mengatakan, Dari data sementara, kata Muhammad, setidaknya ada tiga aturan yang telah dilanggar pengelola industri wisata tersebut. Diantaranya UU lingkungan hidup nomo 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU tentang tata ruang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang dan UU nomor 41 tahun 1999 tentang izin pemanfaatan hutan.
Pihaknya, akan mengkaji aturan-aturan yang terindikasi teoah dilanggar pengelola kawasan wisata yang lebih dikenal dengan sebutan Puncak Karomba tersebut. Pasalnya, untuk setiap kegiatan apappun, terlebih yang menyangkut pemanfaatan alam dan pengolahan fungsi lahan, wajib didahulukan pengurusan dokumen perizinan.
“Ulah warga yang membangun lokasi begitu mewah di tengah HPT dengan rentan 11 tahun secara terus menerus dan tanpa izin, menunjukkan kalau dia tidak menganggap ada pemerintahan di daerah itu. Dan itu adalah pelanggaran berat” katanya
Jika terbukti tanpa izin dan merugikan lingkungan sekitar, Walhi akan mempidanakan yang bersangkutan dengan melaporkan ke kementerian dan Polda Sulsel terkait indikasi pelanggaran yang ada di lokasi itu. Pihaknya juga akan memastikan, apakah keberadaan Donadei, memberi manfaat besar bagi warga sekitar atau hanya untuk kepentingan pribadi.
“Kita ini negara hukum. Ada mekanisme yang tidak boleh dilanggar. Izin dulu baru beroperasi. Pembangunan Donadei terindikasi pidana,” tegasnya.
Sementara staf ahli Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulsel Sri Endang Sukarsih yang juga aktif dengan isu managemen hutan dan kehutanan sosial menegaskan, sesuai undang-undang, kawasan hutan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan tanpa melalui prospek. Dan tanpa sepengetahuan pihak kehutanan, kawasan hutan tidak boleh disertifikatkan.
Klaim pengelola Donadei yang menyebut lahan seluas 80 hektar tersebut adalah tanah leluhur pun, harus melalui kajian fisik maupun administrasi. Yang diakui oleh negara sebagai tanah turun temurun ialah tanah adat yang kepemilikannya komunal dan harus melalui keputusan MK 35 untuk menetapkan tanah adat bukan tanah negara
Seyokyanya, tambah Sri, pemda setempat melakukan pengecekan ke lokasi tersebut agar tidak menambah keresahan warga di kawasan wisata itu agar tidak menambah kerugian yang ditimbulkan.
“Wajib penghentian aktivitas apapun terlebih karena tak ada izin yang dikantongi pengelola (Donadei),” ujarnya.
Terpisah, Kadis Kehutanan Pinrang Moch Zaenal Hafied mengakui jika pembangunan villa Donadei menjadi persoalan pelik yang mau tidak mau harus tetap menjadi. Pihaknya ikut menyesalkan pemilik villa tersebut, yang seenaknya melakukan perambahan hutan dengan areal yang begitu luas, tanpa izin.
Zaenal bahkan mengeluarkan statmen, jika jajarannya mengharamkan menginjak lokasi wisata itu jika sebatas untuk berwisata. Zaenal juga mengaku, belum pernah melihat langsung lokasi tersebut, hingga menjadi tujuan wisata saat ini.
Sebagai tindakan tegas, langkah awal yang ditempuh pihaknya, kata Zaenal, telah dilayangkan surat teguran pada pengelola Donadei agar menghentikan segala aktifitasnya dan menutup lokasi itu, karena telah melanggar aturan. Penutupan lokasi itum tegasnya, hingga yang bersangkutan telah memenuhi seluruh persyaratan terkait pengalihfungsian dan pengelolaan hutan.
“Kami juga tengah berupaya mencari jalan agar semua berjalan baik. Termasuk terus mendorong pengelola Donadei untuk melengkapi dokumen perizinannya. Karena ini masalah aturan,” tandasnya. (Pojoksulsel.com).***