Bang Doel (deadline-news.com)-Palu-Diduga ada kolaborasi pengusaha tambang galian C dengan agen kapal memua pasir tambang tanpa izin usaha pertambangan (IUP) dari Palu, Donggala ke Kalimantan Timur.
Diduga setiap pengapalan batu pecah, pasir juga diikutkan. Tidak tanggung-tanggung diduga seper dua dari isi kapal tongkang sebahagian pasir sungai.
Padahal rata-rata perusahaan tambang galian C di Palu tidak memproduksi pasir. Makanya pasir sungai dari daerah lain seperti Sigi yang dibeli dan ditampung di Jetty lalu diikutkan saat pengapalan.
“Memang tidak setiap pengapalan material hasil tambang galian C ada pasir sungai diikutkan. Tapi tergantung permintaan,”kata sumber itu kepada deadline-news.com di salah satu warung kopi (warkop) di Palu.
Pengambilan material pasir ini berasal dari daerah lain. Makanya pihak Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota tidak berani melakukan pengukuran dan pungutan pajak material pasir dari daerah lain yang dimuat di kapal tongkang setelah ditampung di jetty pengusaha tambang galian C di Palu.
Menariknya kata sumber, pasir hasil tambang rakyat ini harganya mencapai kurang lebih Rp, 260 ribu sampai Rp,300 ribu perkubik terima di jetty milik pengusaha tambang galian C.
Sumber itu mengatakan celakanya daerah penghasil tidak mendapatkan apa-apa. Sebab pemerintah daerah asal material pasir itu tidak berani melakukan pemberlakuan pajak retribusi pasir sungai.
“Sebab tidak ada payung hukumnya. Baik peraturan daerah (Perda) maupun izin usaha pertambangan (IUP),”tutur sumber itu.
Salah seorang pengusaha pembeli pasir tambang rakyat yang minta namanya tidak dituliskan dalam berita ini mengatakan jika ada permintaan dirinya biasa mengirimkan pasir yang telah dibelinya dalam jumlah banyak itu dikirim ke Kalimantan dan dicampur dengan material tambang lainnya.
Ia juga menjelaskan bahwa ada pembayaran pajak ke daerah dimana jetty tempat memuat sebesar 11,5 persen.
“Misalnya jettynya diwilayah Palu, maka Bapenda Palu yang melakukan pungutan pajak. Begitupun kalau jettynya di wilayah Donggala, maka pajaknya yang rata-rata 11,5 persen dari total harga kubikasi yang diangkut kapal tongkang itu masuk ke Donggala,”katanya.
Sumber lain mengatakan jika dibandingkan di wilayah morowali utara (Morut) para penambang pasir ini memiliki IUP yang dikelola badan usaha milik desa (Bumdes).
“Sehingga ada pemasukan untuk desa sebesar kurang lebih Rp, 5000 perkubik dari harga Rp,145 ribu per kubik, beberapa tahun lali,”jelas sumber itu.
Kata sumber itu mestinya pemerintah kabupaten Sigi sebagai daerah penghasil tambang pasir membuat perdar retribusi dan Bumdes diberdayakan mengurus IUP, sehingga ada pemasukan untuk daerah atau desa.
“Celakanya lagi diduga ada pungutan atau setoran jatah sekitar Rp, 1500 – Rp, 4000 perkubik ke oknum aparat tertentu,”kata sumber itu yang minta namanya tidak dimediakan.
Pengusaha agen kapal tongkang di Palu Gafri menjawab konfirmasi deadline-news.com mengatakan pihaknya tidak pernah memuat pasir.
“Kapal kami tidak pernah memuat pasir pak,”jelas Gafri.
Ketua asosiasi pengusaha tambang (Aspeta) kota Palu H.Said mengatakan soal muatan pasir tergantung orderan.
“Tergantung orderan Pak,”tulis H.Said.
Sementara itu H.Rais mengaku tidak tahu soal pemuatan pasir.
“Karena yang clarence in out kapal bahagian oprasional saya jadi saya tidak mengetahui itu ndan dan kapal saya jarang muat di kota palu tks🙏,”tulis H.Rais.
Sekretaris Dinas Pekerjaan umum dan penataan ruang (PUPR) Kabupaten Sigi Edy membenarkan adanya pengambilan material pasir dari wilayahnya. Namun yang menikmati pajaknya daerah lain.
Oleh sebab itu kita perlu ada payung hukum untuk pemberdayaan masyarakat petambang rakyat dan ada penghasilan untuk daerah.
“Kami berharap agar tambang pasir di Sigi dapat dikelola dengan baik, sehingga masyarakat dapat diberdayakan dan material sidementasi dari hulu sungai saat banjir dapat dimanfaatkan, sehingga bisa mengurangi resiko bencana banjir dengan pengerukan sidementasi material pasir yang kwalitasnya cukup bagus,”tandas Edy.
Kata Edy sebenarnya daerah Sigi sangat di rugikan dengan pengambilan material di sungai di wilayah Sigi. Sebab sebagai daerah penghasil, tidak ada nilai tambahnya masuk ke daerah Sigi.
“Masalahnya pemerintah Sigi belum memiliki payung hukum untuk melakukan pungutan retribusi. Oleh sebab itu kami dorong agar tambang pasir rakyat itu dapat dilegalkan dengan pemberian IUP, apalagi pengurusan IUP tambang galian C sudah dikembalikan ke Provinsi,”kata Edy.
Menurut Edy sebetulnya jika tambang pasir di Sigi lebih bagus jika dikelola dengan baik yang dilandasi dengan legalitas dari negara, misalnya ada IUPnya, sehingga Pemda juga dapat membuat perda retribusi tambang galian C jenis pasir.
“Apalagi kata Edy material sidementasi dari sungai di Sigi cukup banyak. Olehnya jika dikeruk dapat mengurangi resiko bencana banjir dan meringankan pengerukan sedimentasi yang ada di sungai,”jelas Edy.
Ia mengatakan pemerintah daerah Sigi melalui dinas terkait diantaranya Dinas PUPR, Pertambang dan Bapenda sudah melakukan study banding ke daerah lain untuk mempelajari bagaimana cara merumuskan Perda retribusi tambang pasir ini. Namun masih terbentur karena harus ada IUP.
“Sudah saatnya masyarakat nambang pasit dengan pengelolaan tradisional (tambang rakyat) diberdayakan seoptimal mungking dan dilindungi melalui IUP dan perda,”ucap Edy. ***