Lokasi Je’ne-Je’ne Sappara Akan Dibangun Seperti Pantai Seruni

Gubernur Suslel Karaeng Nurdin bersama Karaeng Baso menuju panggung utama/ foto Andi Hartono/deadline-news.com
foto M.Fathul Fauzy Nurdin putra bungsu Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah duduk bersama Bupati Jeneponto dan Gubernur Suslel NA diatas rumah adat. foto Andi Hartono/deadline-news.com
foto masyarakat Jeneponto sedang menikmati naikperahu dan menonton di lokasi pesta adat Je’ne-Je’ne Sappara. foto Andi Hartono/deadline-news.com
foto Gubernur Nurdin Abdullah bersama Bupati Jeneponto Iksan Iskandar disambut angaruh (ciri khas) penyambutan di daerah Selatan-Selatan Sulsel. foto Andi Hartono/deadline-news.com

Andi Hartono (deadline-news.com)-Jenepontosulsel-Gubernur Sulawesi Selatan Prof Dr.Ir.HM.Nurdin Abdullah, M.Agr dalam sambutannya dihadapan masyarakat Tarowang Kabupaten Jeneponto mengatakan akan membangun dan menata lokasi Pesta Adat Je’ne-Je’ne Sappara seperti Pantai Seruni di Bantaeng.

“Lokasi pesta Adat Je’ne-Je’ne Sappara ini kita akan bangun seperti Pantai Seruni di Bantaeng. Karena budaya peninggalan sejarah itu perlu dilestarikan untuk menjadi kekayaan budaya Nusantara, ”tandas Gubernur Sulsel yang baru menjabat hampir 2 bulanan itu.

Menurut mantan Bupati 2 Periode itu, Pantai Lokasi Pantai Pesta Adat Je’ne-Je’ne Sappara di Desa Balang Loe Tarowang Kecamatan Tarowang Kabupaten Jeneponto akan ditata sebaik mungkin. Dan fasilitas umumnya harus tersedia, seperti Toilet, penampungan air bersih serta rumah adat akan direhabilitasi agar nampak lebih baik dan luas.

“Pak Camat tolong diurus administrasi pembebasan lahannya, agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari saat akan dibangun lokasi Pesta Adat Je’ne-Je’ne Sappara ini,”kata Gubernur Nurdin Abdullah saat menutup Pesta Adat Je’ne-Je’ne Sappara Rabu sore (24/10-2018) sekitar pukul 15:25 wita di Balangloe Tarowang.

Sementara Camat Tarowang Kabupaten Jeneponto Abdurahman Nara,SE, M.Si, yang dikonfirmasi di sela-sela penutupan pesta Adat Je’ne-Je’ne Sappara mengaku bahwa pembebasan lahan lokasi pesta Adat Je’ne-Je’ne Sappara sudah lengkap administrasinya.

Ia menambahkan kecuali yang didepan rumah adat sekitar 20 meter masih berstatus pinjam pakai. Tapi yang disamping kiri sampai ke Pantai sudah dihimbahkan oleh pemiliknya untuk dijadikan lokasi pesta adat Je’ne-Je’ne Sappara.

Bupati Jeneponto Drs.H.Iksan Iskandar Karaeng Ninra bersama forkom Pinda  dan Kabiro Pemerintahan Pemprov Sulsel Dr.HM.Hasan Basri Ambarala hadir dalam acara pesta Adat Je’ne-Je’ne Sappara itu. Selain itu juga nampak putra bungsu Gubernur Nurdin Abdullah, M.Fathul Fauzy Nurdin.

M.Fathul Fauzy Nurdin yang akrab disapa Uji ini, adalah Caleg DPRD Sulsel No.urut 1 di Partai PSI daerah pemilihan Bantaeng, jeneponto dan Selayar. ***

Walau Hanya Dibuka Camat Tarowang Pesta Adat JJS Ramai

foto M.Arief Sonda Kr.Kulle, pemangku adat keturunan Raja Tarowang. foto Bang Doel/deadline-news.com

Bang Doel (deadline-news.com)-Walau hanya dibuka secara resmi oleh Kepala Kecamatan Tarowang, Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan Abdurahman Nara,SE, M.Si pesta adat Je’ne-Je’ne Sappara (JJS), di tepi pantai Balangloe Rabu malam (17/10-2018), sangat meriah.

Pesta adat JJS itu, diisi dengan berbagai lomba, diantaranya Takraw, Pasempa (duel) dengan menggunakan kaki, Tari-Tarian tradisional, dan pemilihan Tau Rungkana dan Tau Lolonna (putra dan putri) yang terganteng dan tercantik dari yang paling gaga/ganteng dan paling cantik.

Lomba ini diikuti dari Kabupaten Tetangga, seperti Bulukumba, Bantaeng, Takalar, Gowa dan Makassar.

Pesta adat JJS itu berlangsung 7 hari 7 malam. Dan puncaknya pada tanggal 24 Oktober 2018. Rencananya Gubernur Sulsel Prof Dr.Ir.HM.Nurdin Abdullah, M.Agr akan hadir pada puncak acara JJS itu.

“Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, sekitar 10 ribuan masyarakat yang hadir memeriahkan puncak acara JJS ini. Biasanya warga keturunan asal Tarowoang yang berada di luar daerah hadir menyaksikan dan memeriahkan acara JJS ini,”ujar Asis Dg Genda, SE menjawab deadline-news.com Rabu malam (17/10-2018) di Lokasi Pesta Adat JJS.

Hadir dalam pembukaan pesta adat JJS itu, yakni Ketua pemangku adat Kerajaan Tarowang M.Arief Sonda Karaeng Kulle, keturunan Raja Tarowang ke IX-XI Andi Qomar Patta Ambarala Karaeng Baso Lompo Bongga, Kapolsek Tarowang Ipda Kamaruddin,SE dan puluhan keturunan Raja-Raja Tarowang. ***

Jajanan Khas Palu Manjakan Lidah Pengunjung

Asnawi (deadline-news.com) – Palusulteng – Teluk Palu, disamping pesona budayanya yang khas, juga memiliki daya tarik tersendiri yang bisa memanjakan mata pengunjung. Kota yang terkenal dengan sebutan tiga dimensi (Gunung, Teluk dan Lembah) ini memang pantas jadi incaran pelancong, sebab selain pemandangannya yang eksotis, suguhan makanan khas yang lekat dengan semua lidah juga menjadi daya tarik tersendiri.

Masyarakat lokal menyuguhkan makanan khas Palu, seperti burasa, putu, nasi kuning dan lainnya. Kebanyakan makanan khas itu disuguhkan saat sore hingga malam hari di sepanjang pantai Teluk Palu.

Nasi kuning khas Palu, misalnya yang biasanya disajikan dengan kuah santan dan taburan bawang goreng Khas Palu, lalu dikemas dengan daun pisang, menambah citarasa yang lebih.

Sama halnya dengan nasi kuning, kue putu juga mudah ditemukan. Jajanan khas Palu ini terbuat dari ketan yang berbentuk silinder dicampur dengan bumbu khusus dan ditaburi dengan parutan kelapa. Putu disajikan bersama dengan ebi yang dibumbui saus tomat.
Makanan khas lainnya yang juga tidak kalah nikmatnya adalah burasa.

Jajanan ini bisa awet hingga 3 hari, karena dimasak dengan cara direbus selama lebih dari 4 jam. Burasa ini terbuat dari bahan beras yang diolah dengan santan kelapa dan garam, sehingga rasanya gurih.

Salah satu pedagang makanan khas, di Teluk Kota Palu, Ifonilawati (45) kepada wartawan Pesona.Com, Ahad siang mengatakan, akhir pekan memang banyak pengunjung yang datang menikmati keindahan Teluk Palu, ada yang mandi laut, berselfie, adapula yang hanya menikmati keindahan mentari pagi.

“Banyak yang datang mandi-mandi. Ada yang dari luar daerah maupun orang lokal,” kata dia.

Untuk menemani para pengunjung, warga Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi itu menyuguhkan makanan khas Kaili, seperti nasi kuning, burasa, dan kue putu.
“Banyak pengunjung yang minat,” tutur Ifon.

Di akhir pekan seperti ini, ia bahkan menyiapkan kue Putu hingga 400 bungkus, burasa 150 bungkus dan nasi kuning 150 bungkus. Harganya memanjakan isi dompet, dan mampu mengganjal perut.

Untuk kue putu dijual Rp5 ribu per bungkus, burasa Rp3 ribu per bungkus, sementra nasi kuning Rp8 hingga 15 ribu (tergantung pesanan). Dalam sehari, ia bisa meraup keuntungan hingga Rp 2 juta. Jika sepi pengunjung hanya Rp 1,5 juta.
“Kalau hari Minggu, saya jualan dari jam 6 pagi. Bisanya jam 9 sudah habis,” bebernya.

Meski begitu, dirinya hanya menjual makanan khas Palu pada akhir pekan atau hari libur saja. Dirinya lebih banyak berjualan di SMA Negeri 4 Palu. “Dari hari Senin hingga Sabtu kecuali libur, saya jualan di sekolah. Ada nasi kuning, nasi putih, gorengan dan minuman dingin. Hasilnya, Alhamdulillah,” kata Ifonilawati.

Ia menambahkan, Teluk Kota Palu lebih banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara saat akhir tahun. Sebab, wisatawan datang untuk merayakan natal maupun tahun baru di kota Palu. (dikutip di Pesonasultengblogspot.com).***

Penataan Teluk Palu Kurang Baik, Hunian Hotel Menurun

Abdul Ripai (deadline-news.com) – Palusulteng – Kota Palu adalah ikon Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) yang senantiasa menggaungkan dirinya sebagai kota jasa. Keterbatasan sumber daya alam seperti pertanian dan peternakan menjadikan pemerintah kota setempat harus memutar otak agar pendapatan daerah bisa meningkat, tanpa bersandar pada sisi pertanian maupun peternakan.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah memoles wajah kota, utamanya di wilayah teluknya, agar menjadi daya tarik dan destinasi wisata baru yang bisa dikunjungi pelancong domestik maupun mancanegara.

Sayangnya, upaya ini belumlah maksimal. Penataan teluk yang dianggap sudah berjalan sebagaimana mestinya (reklamasi di sepanjang bibir teluk), ternyata tidak berbanding lurus dengan tingginya kunjungan wisata di daerah ini. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya tingkat hunian hotel, bahkan yang berlokasi langsung di area teluk.

“Tingkat hunian di tahun 2017 agak menurun karena terus terang saja, kita di Palu ini hanya mengandalkan tamu-tamu kantor yang membuat kegiatan. Jadi ketika dikurangi kegiatan di hotel maka terasa bagi industri perhotelan. Kaitannya dengan wisata, dulu ketika hotel ini berdiri tahun 2007, wilayah teluk ini masih alami, belum ada kios-kios dan sangat diminati oleh wisatawan mancanegara,” kata Pemilik Wina Hotel, I Ketut Winaya, S.Sos., M.Si ketika ditemui, Ahad siang (6/5-2018) di Palu.

Sebelumnya, kata dia, pihaknya hanya mendirikan seperti Tourism Information di Bali. Kala itu, ketika Dinas Pariwisita masih dijabat Kepala Dinas Syuaif Djafar.
“Kita bekerja sama dengan Dinas Pariwisata mendatangkan wisatawan ke Sulawesi Tengah,” katanya.

Saat itu, tutur Ketut, pintu masuk wisatawan melalui Makassar, lalu keToraja-Pendolo-Tentena-Togean-Palu.

“Kita berusaha untuk balik arah, supaya long stay-nya disini, di Palu. Kan mereka capek perjalanan, jadi istrahat di Palu dulu. Waktu itu kami bisa membuat paket tour disini tiga hari. Satu hari city tour, satu hari mountain tour dan satu hari lagi leisure,” urainya.

Sejak saat itu, kata dia, dalam kurun waktu setahun, dengan sajian clasic seperti resort, masih terasa tingginya tingkat hunian hotel.

“Tapi sekarang-sekarang ini sudah banyaknya kios-kios dan berbagai keramaian. Sebenarnya itu bukannya tidak bagus, cuma persoalannya bagi turis mancanegara, bukan itu yang mereka cari. Akhirya dari situ kami mulai bergeser, kami tampil berbalik haluan ke bisnis hotel. Semakin bising, semakin ditinggalkan turis,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, sentuhan budaya sebenarnya menjadi unsur penting tingginya minat pengunjung. Dia mencontohkan konsep Bali klasik yang pernah diterapkannnya bagi wisatawan domestik dari Bali.

“Bagi orang mungkin itu menjadi suatu tren karena mereka ingin berada di Bali yang jauh dari Bali,” ujarnya.

Namun, lanjut dia, seiring pergantian Kadis Pariwisata ke Norma Mardjanu yang terkesan lebih fokus pada budaya lokal, maka dirinya yang notabene berprofesi sebagai guru menerjemahkannya dengan mengubah konsep usahanya menjadi cafe.

“Dari situ, orang mulai mundur karena rupanya di tempat lain konsepnya juga sama,” ujarnya.

Dia menyarankan kepada pemerintah untuk memasukkan budaya luar dalam konsep wisatanya dalam rangka memperkaya khazanah budaya lokal.

“Itu salah satu saran saya, sehingga orang yang datang disini bisa merasakan sentuhan budaya lain di suatu daerah, tanpa harus ke daerah yang menjadi asal budaya itu. Sebab hampir 90 persen turis yang berkunjung mengatakan bahwa Palu is very very beautiful. Tapi sekarang tingkat kunjungan biasa-biasa saja, bukannya naik malah turun,” tegasnya.(dikutip di Pesonasultengblogspot.com). ***

Pengelolaan Potensi Wisata Teluk Palu Perlu Dimaksimalkan

Agung S (deadline-news.com)-Palusulteng – Potensi wisata di Kota Palu cukup menjanjikan untuk menarik wisatawan. Salah satu primadonanya, yakni Pantai Teluk Palu. Sayang potensi yang ada ini belum dikelola secara maksimal, untuk menarik wisatawan asing datang berkunjung.

Teluk dengan panjang garis pantai kurang lebih sekitar 30 kilometer ini, dapat menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Pemandangan yang ada itu pun, ditunjang oleh view pegunungan yang mengelilingi Kota Palu. Namun sayangnya, beberapa titik yang menjadi “jualan” pihak pemerintah daerah, terlihat kurang terawat.

Sebut saja pantai Taman Ria, yang seharusnya bisa dilihat ketika orang melintas sepanjang Jalan Cumi-Cumi tertutup oleh sejumlah café-café. Sejumlah café ini, nampak dibangun tidak teratur, dan malah mengganggu mata untuk memandang indahnya laut Teluk Palu. Begitu juga di lokasi pantai Talise tepatnya di Anjungan Nusantara, masih nampak sampah berserakan.

Begitu juga adanya kampung kaili, yang masih satu kesatuan dengan destinasi Teluk Palu, mulai tidak terawat. Beberapa sokii-soki atau pondok yang disiapkan untuk pedagang kuliner juga mulai tidak terurus lagi.

Belum lagi di sejumlah titik terdapat reklamasi atau penimbunan laut, oleh sejumlah perusahaan yang tidak dilanjutkan, sehingga membuat pantai yang ada tidak alami lagi. Otang, salah seorang warga Kota Palu yang kerap berkunjung ke pantai Teluk Palu, mengungkapkan, bahwa adanya reklamasi tersebut, memang sangat mengganggu keindahan. Sebab, kealamian pantai Teluk Palu telah berkurang akibat adanya reklamasi. “Orang dari luar mau berkunjung kan pasti lihat alaminya pantai ini, kalau sudah ada reklamasi begitu kan jadi tidak enak dilihat,” terang warga Kelurahan Silae ini, ditemui Minggu (6/5/2018).

Dia juga mengungkapkan, bahwa kebersihan pantai Teluk Palu, juga belum terjaga dengan baik. Terbukti, dengan banyaknya sampah yang ada di pinggir pantai. Khusus para pedagang makanan khas yang ada saat ini, dia berharap pemerintah mau membuatkan tempat yang layak namun tetap teratur.
“Tentu memang ini tidak harus kita serahkan seluruhnya ke pemerintah, ada juga peran masyarakat bagaimana menjaga pantai ini agar tetap bersih dan alami agar menarik wisatawan dari luar Kota Palu,” jelasnya.

Sementara itu Praktisi Pariwisata Sulawesi Tengah, I Ketut Winaya SSos MSi mengakui, usaha wisata di Kota Palu mengalami kelesuhan. Padahal Palu sendiri, memiliki potensi yang cukup banyak di bidang pariwisata. “Hampir 90 persen tamu saya warga Negara asing, mereka menyebut bahwa Kota Palu ini very very beautiful. Artinya apa? Orang luar saja mengakui potensi yang kita miliki,” kata Ketut.

Namun memang kata dia, potensi wisata Kota Palu, seperti pantai Teluk Palu belum dikelola secara maksimal. Saat ini kata dia, upaya memajukan pariwisata di Kota Palu, hanya fokus bagaimana menjual, tanpa memikirkan, bagaimana caranya memberikan kesan kepada wisatawan, agar bisa kembali lagi.
“Kalau hanya menjual, berarti bukan jasa, tapi jual barang. Harusnya ada kenangan yang diberikan kepada wisatawan sehingga besok dia datang lagi dan merasa bahwa temoat ini seperti rumahnya sendiri,” terangnya

Potensi alam yang indah sudah dimiliki Kota Palu, namun kata dia harus tetap dikelola dengan baik dan memberikan rasa aman dan nyaman kepada para wisatawan. Salah satunya, menjadikan kawasan pantai Teluk Palu menjadi kawasan yang bersih bebas dari sampah. Dia pun berpendapat, bahwa bila ingin pantai Teluk Palu dikenal oleh wisatawan, memang harus memiliki konsep tersendiri.

“Terserah, konsepnya apakah tradisional, itu berarti sepanjang pantai harus ada nuansa tradisional. Atau kah modern, tapi tanpa mengenyampingkan konservasi alam artinya tidak melakukan aktifitas reklamasi,” tegas Ketut, yang juga salah satu Tim Penilai Kelompok Sadar Wisata.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Destinasi dan Industri Pariwisata Dinas Pariwisata Kota Palu, Goenawan SSTP, mengungkapkan, khusus tahun ini pihak Pemerintah Kota Palu masih fokus mengembangkan sejumlah tempat di wilayah pegunungan. Khusus penataan pantai Teluk Palu, pihaknya sudah memberikan nuansa untuk menambah daya tarik.

Disinggung terkait tidak terurusnya lagi kampung kaili, Goenawan mengatakan, bakal kembali membangun kampung kaili untuk benar-benar menjual makanan khas. Pihak Pemerintah Kota Palu pun bakal bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mendesain kembali pantai Teluk Palu. Untuk wisatawan sendiri yang masuk ke Kota Palu, dia mengaku ada peningkatan. Meski demikian, dirinya tidak mengingat data pasti jumlah wisatawan. “Saya kebetulan tidak di kantor, datanya ada di kantor,” pungkas Goenawan. (dikutip di Pesonasultengblogspot.com).***

TELUK PALU PERLU PENATAAN YANG RAMAH LINGKUNGAN

Keperawanan Teluk Palu mulai terusik. Bagaimana tidak, proyek reklamasi mulai digalakkan Pemerintah Kota Palu, sejak 2013-2014 bersama investor, sehingga membuat Teluk Palu mulai tercemar.

Pencemaran kawasan laut Teluk Palu, bukan hanya akibat reklamasi, tapi juga terdapat tambang galian C di sepanjang gunung di wilayah barat Kota Palu, tepatnya jalur Palu-Donggala.

Teluk Palu ini berada di tengah-tengah kota Provinsi Sulawesi Tengah.
Menurut data BMKG di bagian timur Teluk Palu ini adalah daerah terkering di Indonesia, curah hujan hanya berkisar 500 mm hingga 600 mm per tahun .

Di ujung Teluk Palu terdapat Pantai Talise yang berada di Jalan Rajamoli, Jalan Cut Mutia dan Jalan Cumi-Cumi, Kota Palu. Pantai ini banyak dikunjungi wisatawan dan penduduk Palu sendiri baik di pagi hari maupun di sore hari. Teluk Palu memberi pesona keindahan alam laut.

Menjelang matahari terbenam, pantai ini diramaikan oleh jajanan kuliner dan minuman ringan. Pantai ini kurang cocok untuk dikunjungi pada siang hari, karena panas. Pantai Talise adalah salah satu tempat wisata utama di Kota Palu.

Namun sayangnya keperawanannya telah terenggut oleh laju pembangunan kota yang didalamnya terdapat investor dan mendapat lampu hijau dari Pemerintah Kota Palu.
Walau sudah tercemar, namun tidak mengurangi keindahannya. Oleh sebab itu, perlu penataan teluk yang ramah lingkungan. Penanaman pohon penghijauan sepanjang panti mulai dari utara sampai ke barat Pantai Teluk Palu (Talise-Taman Ria), sehingga nampak asri dan hijau.

Penataan para penjual jajanan kuliner juga tidak kalah pentingnya, sebab kelihatan semrawut dan kumuh. Padahal secara ekonomi, dapat memberikan income bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pungutan retribusi daerah dan pajak rumah makan dan restoran, yang saban malam dipungut pihak Dinas Pendapatan Kota Palu. Semoga saja hal ini menjadi perhatian pemerintah Kota Palu.***

Arief : Walau Terlambat, Pertumbuhan Pariwisata Indonesia Cepat

mengatakan Indonesia terlambat dalam membangun pariwisata. Namun kini pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan negara lain.

“Kekayaan wisata Indonesia sangat besar dan harganya sangat bagus, tetapi tidak laku di pasar wisata international. Kenapa? Kurang promosi,” kata Arief pada Seminar Nasional Menata Potensi dan Dukungan Infrastruktur Menuju Industri Pariwisata yang Modern di Hotel Grand Inna, Padang, Sumatera Barat, Rabu (7/2-2018).

Arief mengatakan, sebelum menjadi menteri, Indonesia hanya dikunjungi 10 juta wisatawan asing (wisman). Sementara Thailand dikunjungi 35 juta dan Singapura 30 juta wisman. “Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan negara tetangga, meskipun potensi wisata Indonesia jauh lebih besar,” katanya pada acara yang terangkai dengan Hari Pers Nasional (HPN) 2018.

Ketika itu. Arief manambahkan, peringkat pariwisata Indonesia ada di nomor 100 dari 147 negara. “Alhamdulillah, kita sekarang rangkingnya sudah naik di angka 40 dengan pertumbuhan pariwisata di atas 22 persen, ” katanya. (dikutip di harian momentum.com). ***

Disbudpar Promosikan Pesona Wisata Vovasanggayu

Firmansyah Bira (dealine-news.com)-Pangkayusulbar-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Mamuju Utara, Sulawesi Barat, sosialisasikan destinasi wisata di daerah itu, dengan membagi-bagikan brosur pesona wisata yang patut dikunjungi para pelancong, baik wisatawan lokal maupun turis mancanegara di bumi Vovasanggayu.

Brosur pesona wisata Matra dibagikan kepada para pengunjung pantai Tanjung Babia, Minggu, 10 September 2017. Dengan melibatkan masyarakat setempat, sedang asik menikmati panorama keindahan pantai tanjung babia tersebut.

Kepala Disbudpar Matra, I Nyoman Suandi SPd, melalui Kepala Sub Bagian (Kasubag) Keuangan dan Program Kegiatan Disbudpar Matra, Rina Ariani SSOs, mengatakan, kegiatan sosialisasi ini merupakan proyek perubahan pariwisata terkait pesona wisata Vovasanggayu.

Adapun sasarannya, kata dia, masyarakat Matra belum banyak mengetahui destinasi wisata apa saja yang ada di daerahnya. Sehingga kurangnya wisatawan yang ingin berkunjung.

“Dengan promosi tempat wisata seperti ini, maka diharap menghasilkan informasi berkualitas dan akurat bagi wisatawan,” ungkapnya.

Menurut Rina Ariani, beberapa tempat yang dipromosikan itu, yakni, pertama Pantai Cinoki yang terletak di Desa Sarudu, yang berjarak 75 Km dari Kota Pasangkayu. Pantai ini memiliki keindahan pasir putih, laut biru dengan panorama yang indah.

Kemudian objek wisata kedua, pantai Tanjung Babia yang terletak dijantung Kota Pasangkayu. Ketiga, pantai Khayalan Baliri terletak di Desa Maponu.

“Beberapa pantai yang disebut tadi begitu alami keindahanya, sehingga mulai dikenal oleh para wisatawan,” terangnya.

Dia menambahkan, selain pantai ada pula destinasi wisata Goa di Matra, seperti Goa Gumbasalu berada di Desa Kalola. Kemudian juga ada Goa Lawa’ di Pasangkayu, dan terakhir Goa Ape di desa Bambaira.

“Dari segi interaksi, Goa ini menampilkan keindahan, terbilang alami dibawah lereng gunung, dan di dalam Goa banyak terdapat kelelawar,” jelasnya.

Selain itu, ada pula destinasi wisata air terjun Kastabuana dengan kondisi alam yang alami, dan air terjun Ho’ Barubu yang berada di Bukit Harapan.

“Destinasi wisata Air terjun ini patut dijaga dan dilestarikan nantinya,” pungkasnya. ***

 

Gerbong Maut Bondowoso Tewaskan 48 Orang Pejuang NKRI

Zwaeb Laibe-(deadline-news.com)-Bondowoso-Namanya ‘Monumen Gerbong Maut’. Monumen yang terletak di tengah Kota Bondosowo-Jawa Timur ini, yang berdiri tepat di depan kantor Bupati Bondowoso, sengaja dibangun untuk mengenang peristiwa ‘maut’ yang menyebabkan tewasnya 48 orang pejuang kemerdekaan RI di Bondowoso. Mereka adalah tawanan Kolonial Belanda. Mereka tewas di dalam gerbong kereta api dalam perjalanan saat dipindah dari penjara Bondowoso ke penjara di Surabaya.

Mereka dipindahkan menggunaka gerbong kereta api barang yang tak berventilasi. Di dalamnya gelap gulita, panas, penuh sesak yang mengakibatkan kekurangan oksigen untuk bernafas. Tak ada makanan dan minuman untuk mereka.

Peristiwa maut ini terjadi pada tanggal 23 November 1947. Walau eaktu itu Soekarno-Hatta sudah memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, namun Belanda kembali ingin menduduki Indonesia. Mereka pun menginvasi berbagai daerah di wilayah Indonesia, termasuk mendaratkan tentaranya di bagian Timur Pulau Jawa melalui Pantai Pasir Putih Situbondo.
Dari sanalah Belanda mulai melakukan aksi milternya, tak terkecuali menyerang dan menangkap para pejuang kemerdekaan republik ini hingga ke daerah Bondowoso.

Mereka ditangkap, disiksa, dan dipenjarakan. Dalam waktu sekejap penjara Bondowoso penuh. Dercatat ada sekitar 637 orang pejuang asal Bondowoso yang menghuni penjara itu. Belanda pun memutuskan, tahanan yang termasuk dalam ‘pelanggaran berat’ akan dipindahkan ke penjara di Surabaya.

Dari sinilah proses kematian mereka berawal. Mereka dipindahkan dengan menggunakan kereta api dalam tiga tahap. Setiap tahap mengangkut 100 orang tahanan. Pemindahan tahap I dan II berjalan dengan baik, karena gerbong yang digunakan terdapat ventilasi udara seluas 10-15 cm, Di setiap stasiun yang disinggahi para tahanan mendapatkan makanan dari orang yang mendekati gerbong sehingga tidak kelaparan.

Namun, pada pemindahan tahap III petaka ‘maut’ yang membuat mereka meregang nyawa terjadi. Sebab, gerbong yang digunakan berbeda dengan gerbong yang digunakan pada pemindahan tahanan tahap I dan II. Gerbong tahap III ini tanpa ventilasi. Para tahanan pun tak mendapatkan makanan. Tentara Belanda melarang orang-orang mendekati gerbong saat berhenti di setiap stasiun yang dilalui.

Pemindahan tahap III ini diberangkatkan menggunakan tiga gerbong. Gerbong I diisi 32 orang, gerbong II 30 orang, dan gerbong III 38 orang. Para tahanan dinaikkan ke gerbong secara paksa 30 menit sebelum lokomotif dari Situbondo yang akan menarik gerbong itu mampir di stasiun Bondowoso. Setelah semua tahanan masuk, gerbong ditutup dan dikunci rapat dari luar.

Tepat pukul 07.30 kereta yang mengangkut para tahanan diberangkatkan dari stasiun Bondowoso menuju Surabaya.
Suasana di dalam gerbong gelap gulita, udara terasa panas. Mereka mulai sesak akibat oksigen yang sangat terbatas. Saat dalam perjalanan para tahanan mencoba menggedor-gedor dinding gerbong namun tak digubris tentara Belanda yang mengawal mereka.

Pagi beranjak siang, suasana di dalam gerbong yang terbuat dari plat baja itu kian panas menyiksa. Tak ada air minum apalagi makanan. Beberapa tahanan yang kehausan terpaksa meminum air kencing temannya sendiri. Sepanjang perjalanan, mereka hanya bisa pasrah tanpa bisa melakukan apa-apa. Hidup mereka sepenuhnya dissrahkan kepada Tuhan.

Setelah menempuh perjalanan yang begitu menyiksa selama 13 jam lebih, kereta akhirnya tiba di stasiun Wonokromo, Surabaya. Sekitar pukul 20.00, para petugas Belanda mulai membuka gerbong dan menyuruh para tahanan untuk keluar, namun tak ada jawaban dari dalam gerbong.

Saat gerbong diperiksa, sebanyak 48 orang tahanan meninggal akibat lapar, haus, dan kepanasan. Pada gerbong III yang berisi 38 tahanan, semuanya meninggal, gerbong II terdapat 8 orang yang meninggal, dan gerbong I ada 2 orang yg meninggal. Hampir semua yang meninggal kulitnya melepuh dan terkelupas akibat terpanggang panasnya gerbong yang terbuat dari besi baja.

Kini, gerbong-gerbong yang menjadi saksi bisu perjuangan mereka diabadikan di tengah kota Bondowoso yang terkenal dengan nama ‘Monumen Gerbong Maut’.***

Malahayati, Perempuan Tangguh Dari Tanah Rencong

Zwaeb Laibe (deadline-news.com)-ACEH – Orang Aceh patut berbangga memiliki seorang perempuan tangguh, Laksamana Malahayati. Laksamana perempuan pertama di dunia, perempuan yang membunuh Cornelis De Houtman, pemimpin armada kapal dagang Belanda. Dia juga dikenal sebagai seorang diplomat ulung.

Nama aslinya Keumalahayati, putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya, ayah dari Mahmud Syah, juga seorang laksamana, namanya Laksamana Muhammad Said Syah. Sang kakek adalah putra Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Kerajaan Aceh sekitar tahun 1530 – 1539 Masehi. Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang pendiri Kesultanan Aceh Darussalam. Ibunya meninggal dunia saat Malahayati masih kecil.

Malahayati menjabat sebagai laksamana Kesultanan Aceh selama masa pemerintahan Sultan Alauddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil, sekitar tahun 1589 – 1604 Masehi. Dizamannya, perempuan tangguh yang diperkirakan lahir pada tahun 1575 ini, berhasil mengantarkan Aceh menjadi kerajaan yang sangat disegani. Kehebatannya diakui semua bangsa yang berhubungan dengan Kerajaan Aceh ketika itu. Dia berhasil menjaga stabilitas Selat Malaka.

Malahayati mendapat pendidikan militer pada Mahad Baital Makdis, sebuah Akademi Militer milik Kesultanan Aceh. Dia memilih jurusan Angkatan Laut. Di akademi ini, Malahayati berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior. Keduanya saling jatuh cinta. Sepasang kekasih ini pun sepakat menikah setelah sama-sama lulus dan menyandang gelar perwira angkatan laut.

Dalam suatu pertempuram melawan Portugis di Teluk Haru, armada Aceh sukses menghancurkan para tentara Portugis. Namun, kesuksesan perang yang dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil itu harus dibayar mahal dengan gugurnya sekitar seribu orang pasukan tempur Kesultanan Aceh, termasuk suami Malahayati yang juga seorang laksamana yang saat itu menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia.

Sejak suaminya gugur dalam perang itu, Malahayati berjanji akan menuntut balas dan bertekad meneruskan perjuangan sang suami, meski seorang diri. Dia pun meminta kepada Sultan Al-Mukammil untuk membentuk armada laut Aceh, yang semua prajuritnya terdiri dari janda-janda yang suaminya gugur dalam perang Teluk Haru. Armada ini dikenal dengan nama Inong Balee, berkekuatan 2.000 orang janda.

Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Mahayati mengkoordinir pasukannya di laut, mengawasi berbagai pelabuhan yang berada di bawah penguasaan Syahbandar Kesultanan Aceh. Teluk Lamreh Krueng Raya dijadikan sebagai pangkalan militernya. Di sekitar teluk ini, ia membangun Benteng Inong Balee di atas perbukitan yang ketinggiannya 100 meter dari permukaan laut. Benteng batu yang dindingnya selebar 3 meter ini menghadap ke laut dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu teluk.
Dari balik benteng, pasukan Inong Balee mengintai armada-armada Portugis, Belanda, dan Inggris di Selat Malaka.

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan Malahayati, ketika dua kapal dagang Belanda yang dipimpin dua bersaudara, Cornelis dan Frederick De Houtman mengunjungi Aceh . Sejumlah orang Belanda terbunuh, termasuk Cornelis de Houtman yang terbunuh di ujung rencong Malahayati.

Peristiwa itu terjadi saat dua buah kapal Belanda bernama De Leeuw dan De Leeuwin yang masing-masing dipimpin oleh Cornelis dan Frederick De Houtman, berlabuh di ibukota Kesultanan Aceh. Awalnya, kedatangan rombongan ini mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena kepentingan hubungan perdagangan.

Namun, dalam perkembangannya, Sultan Al-Mukammil tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut, lalu memerintahkan Laksamana Malahayati dan pasukannya untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya. Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Cornelis terbunuh di ujung rencong Malahayati.***