“Sampah Tukar Dengan Beras”
Kebijakan pemerintah kota Palu menaikkan biaya retribusi dan pajak dianggap banyak kalangan sebagai bentuk pembebanan bagi masyarakat.
Apalagi jika membebani pegawai negeri sipil (PNS) dengan langsung memotong dari gaji mereka terkait retribusi kebersihan.
Masyarakat kota Palu termasuk PNS masih trauma dengan bencana alam, gempa bumi, likuifaksi dan tsunami. Belum lagi pembatasan aktifitas akibat pandemi covid19. Harga kebutuhan pokok pun makin terasa merangkak naik.
Makin membuat masyarakat kesulitan secara ekonomi. Sehingga perekonomiannyapun masih butuh waktu untuk bisa hidup normal.
Bahkan masih ada masyarakat yang belum mendapatan hunian tetap (Huntap), dan masih tinggal di hunian sementara (Huntara).
Ada juga yang rumahnya rusak belum mendapatkan bantuan biaya perbaikan. Olehnya cara-cara pemerintah menarik retribusi sampah dari masyarakat dan PNS dianggap cara instan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Ini adalah cara instan pemerintah (Pimpinan daerah) semisal kepala daerah mencari dan memperoleh uang, dengan membebani masyarakat dan PNS harus bayar retribusi sampah (Kebersihan).”
Padahal banya sumber-sumber pendapatan daerah, hanya saja perlu dioptimalkan, seperti biaya parkir, pajak rumah makan, hotel dan retribusi pedagang di pasar-pasar.
Bayangkan kita masuk warung makan, minum dan makan sudah dibebankan pajak 10 persen untuk daerah setiap transaksi.
Belum lagi biaya parkir. Lalu kemana biaya-biaya itu? Apakah sudah dioptimalkan penarikannya dan pengelolaannya?
Kalau dikota-kota besar seperti Makassar, pemerintah kota Makassar malah menukar beras dengan sampah rumah tangga masyarakat.
Walikota Makassar Dany Pomanto memprogramkan sampah tukar beras. Bayangkan sampah ditukar beras 3 kg – 5 kg setiap rumah.
Dan sampah-sampah rumah tanggapun hanya dikumpulkan dan digantung dipagar depan rumah, kemudian dijemput petugas kebersihan kota Makassar.
Sehingga masyarakat kota Makassar tidak membuang sembarang sampahnya, tapi mengumpulkannya untuk ditukar beras.
Tapi di kota Palu, malah masyarakat dan pegawai dibebankan pembayaran retribusi sampah (kebersihan) dengan nominal Rp,35,000/ rumah setiap bulan.
Mestinya pemimpin daerah pandai-pandai mencari sumber-sumber pendapatan. Misalnya mengoptimalkan penagihan pajak bumi dan bangunan, perparkiran dan pajak rumah makan, restoran dan perhotelan. Sehingga tidak lagi membebani masyarakat dan pegawai bayar retribusi kebersihan.
Walikota Palu Hadianto Rasyid perlu studi banding ke kota Makassar, dimana walikota Makassar Moh.Ramdhan Pomanto (Dany) justru memberikan beras bagi masyarakatnya yang mengumpulkan sampah rumah tangganya dan dijemput petugas kebersihan, sehingga masyarakat tidak membuang sampah sembarangan.
Retribusi sampah rumah makan misalnya di kota Palu dibebankan Rp, 400 ribu perbulan, bahkan ada yang sampai Rp,800 ribu perbulan.
Dari usaha rumah makan saja pemerintah kota Palu sudah dapat meraup dana ratusan juta rupiah pertahun.
Termasuk retribusi sampah toko-toko didalam kota Palu dikisaran Rp, 400 ribu perbulan. Sedangkan perhotelan biaya retribusi sampahnya dikisaran Rp,900 ribu perbulannya.
Belum lagi setoran pajak 10 persen dari pendapatan pajak tamu atau orang makan. Pajak orang makan inilah mestinya dioptimalkan sehingga tidak perlu lagi membebani masyarakat retribusi sampah.
Toh pemerintah memang berkewajiban membersihkan kota ini. Apalagi jika mau mengejar prestise kota Adi Pura. ***