Akhir-akhir ini Pancasila disoal. Betapa tidak, muncul berbagai versi tentang pemaknaan pancasila itu sendiri. Bahkan ada kelompok menuduh kelompok lain tidak pancasilais.
Lebih ironis lagi ada kelompok yang mau “mempermak” Pancasila jadi eka sila dan trisila. Sejak Orde Lama dijaman pemerintahan Presiden Ir.Soekarno Pancasila selalu dironrong melalui paham-paham tertentu yang mencerminkan bahwa itu bertentangan dengan nilai-nilai pancasila.
Begitupun di jaman pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Jendral TNI Purnawirawan Soeharto. Namun lagi-lagi Pancasila tetap kokoh sebagai dasar Negara, pemersatu dari berbagai macam perbedaan ditengah-tengah masyarakat.
Kenapa? Karena Pancasila sangat luas makna yang terkandung didalamnya.
Misalnya sila pertama (1) Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya bahwa Bangsa Indonesia meyakini adanya Tuhan, Bertaqwa dan beriman tentang adanya Zat Yang Maha Kuasa itu, pencipta alam semesta, menghidupkan dan mematikan seluruh makhlu di muka bumi ini.
Manusia Indonesia yang memahami pancasila dapat hidup berdampingan dalam suasana Religius, dan menghargai perbedaan Agama, Keyakinan dan kepercayaan masing-masing.
Contoh kita tidak boleh mengganggu dan menghalangi orang lain melaksanakan ibadahnya sesuai keyakinan dan kepercayaannya.
Bukan itu saja, tapi kita tidak boleh memandang rendah dan menghina penganut agama dan kepercayaan orang lain.
Dan kita tidak boleh memaksakan kehenda kepada orang lain yang berbeda agama dan keyakinan untuk menganut dan meyakini agama serta kepercayaan kita.
“Tegasnya kita harus saling menghargai dan menghormati antara peluk agama, keyakinan dan kepercayaan masing-masing.”
Kemudian sila ke 2. Kemanusiaan Yang Adik dan Beradab.
Artinya sebagai anak Bangsa kita perlun saling memanusiakan sesama manusia. Menghormati yang tua, menyayangi yang muda, saling tolong menolong dan beretika, punya adab serta sopan santun dalam pergaulan dimanapun kita berada.
Karena karakter itulah ciri manusia pancasilais yang membedakan Bangsa lain.
Kemudian pemerintah dan aparat hukum harus memberikan perlakuan yang sama dalam memberikan pelayanan kepada masyarat, dengan tanpa pandang buluh/tebang pilih.
Manusia pancasilais itu memiliki kepekaan sosial bagi manusia-manusia lainnya yang tidak beruntung.
Misalnya ada masyarakat disekitar kita yang memiliki keterbatasan ekonomi (Miskin) tentunya kita perlu membantunya.
Atau lagi sakit, kita perlu memberikan pertolongan, baik materil, tenaga dan do’a terbaik.
Atau misalnya berduka, kita mesti turut berduka cita dan memberikan bantuan dalam bentuk apapun sesuai kemampuan kita.
Sila ke 3 Persatuan Indonesia mengajarakan kepada kita bahwa nilai-nilai kebersamaan, kegotong Royongan perlu dipupuk dan ditumbuh suburkan dimanapun kita berada. Baik dalam lingkungan keluarga, tetangga dan masyarakat luas.
Karena dengan persatuan kita bisa kuat sekalipun dalam tantangan dan persoalan rumit yang dihadapi, seperti sekarang ini bencana alam dimana-mana.
Bahkan bencana covid19 melanda seluruh dunia, tentunya perlu kebersamaan untuk memeranginya dengan taat dan patuh pada aturan pemerintah yakni mengikuti protokol kesehatan.
Artinya tantangan dan ancaman bagaimanapun, baik dari luar maupun dari dalam.
Sila ke 4 Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Sila ke 4 ini mestinya dimaknai bahwa rakyat yang berdaulat dapat menghasilkan kepemimpinan yang memiliki suri tauladan dan patut dihormati dan dihargai.
Karena segala keputusan dan kebijakannya selalu mengutamakan dan mendahulukan musyawarah untuk mufakat yang diliputih suasana kebatinan dan kekeluargaan.
Hanya saja tentunya tidak mesti melibatkan semua masyarakat, tapi melalui seseorang/perwakilan atau beberapa orang yang dipilih dan dipercaya rakyat, dengan ketentuan mampu menyuarakan, memperjuangkan dan mengejawatahkan keinginan rakyat didalam bermusyawarah untuk mufakat.
Sila ke 5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sebagai rakyat kita sering kali merasakan perlakuan yang tidak adil oleh aparat pemerintah. Misalnya dalam urusan kepentingan umum yakni pembangunan infrastruktur baik jalan, jembatan maupu kebutuhan air di daerah kita.
Begitupun dalam urusan-urusan lainnya. Olehnya untuk pengejawatahan sila ini harus dimulai dari diri kita masing-masing. Sehingga dapat ditularkan ke anak cucu kita, keluarga, tetangga, lingkungan kita dan ke masyarakat luas.
Nilai-nilai Pancasila ini telah luntur seiring dengan reformasi dan kencangnya arus informasi global melalui teknologi informasi yang begitu cepat.
Makanya tidak heran jika banyak oknum pejabat termasuk wakil rakyat yang menyalah gunakan wewenangnya, cenderung koruptif, pura-pura membela rakyat, tapi mencuri uang rakyat, dan mengambil lokasi tanah negara untuk kepentingan pribadi dan kelompok bisnisnya, contoh dibidang pertambangan.
Bukan itu saja, tapi memanfaatkan jabatan politiknya atau partainya untuk mendominasi keuntungan-keuntungan pribadi dan kelompoknya. Sedangkan rakyat tetap sengsara menerima akibatnya dalam bentuk bencana alam.
Mengutip pendapat Dede Yusuf bahwa pendidikan nilai-nilai pancasila bukan sekedar di hafalkan. Tapi harus menjadi karakter anak Bangsa, terkhusus bagi anak-anak kita dialam mileniel ini.
Pancasila harus menjadi Karakter bagi kita Bangsa Indonesia. Olehnya nilai-nilai Pancasila itu harus ditanamkan dan diajarkan diberbagai bidang kehidupan, berbangsa dan bermasyarakat. Bukan hanya sekedar diucapkan atau dihafalkan secara lisan.
Namun dimengerti, dan diemplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, yakni-nilai saling menghargai, menghormati, beretika, memiliki adab sopan santun terhadap siapapun, terutama menghargai para guru, orang tua kita dan senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dulu jaman orde Baru ada yang namanya penataraan pedoman penghayatan pancasila (P4), kemudian ada pelajaran pendidika moral pancasila (PMP) mulai dari SD,SMP, SMA/SMK dan Yang sederajat serta di bangku kuliahpun ada pendidikan kewiraan.
Tapi sekarang sejak pendidikan tentang nilai-nilai Pancasila itu sudah tidak ada. Padahal jaman orde baru, para pemudapun ditatar dan dilatih tentang penghayatan dan pedoman pancasila itu.
Karena pancasila itu sekalipun hanya 5 poin, tapi maknanya sangat luas. Semua sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tersirat dan tersurat didalamnya, tinggal digali untuk diemplementasikan didalam kehidupan kita sehari-hari.
Memang saat ini tidak dapat dilungkiri, bahwa anak-anak kita sebagian besar telah mengejawatahkan nilai-nilai pancasila khususnya sila ke 2 dengan sangat peduli masyarakat atau saudara-saudara kita yang tertimpa bencana.
Dengan sigap, tanggap dan cepat mereka turun ke jalan, berkumpul di prampatan jalan lampu merah mengumpulkan sumbanga untuk didonasikan ke masyarakat korban bencana.
Sikap anak-anak kita itu sebenarnya sedang mempraktekkan nilai-nilai pancasila dari sisi kemanusian dan kegotong royongan. Namun demikian ada juga sebagian anak-anak kita yang tidak mengerti dan paham nilai-nilai pancasila. Misalnya ada oknum murid, pelajar, siswa atau mahasiswa memukuli gurunya.
Padahal jaman kita sekolah dulu, dengar suara keras guru saja kita sudah ketakutan.
Bukan itu saja, tapi ada juga sekelompok orang berteriak-teriak Pancasila harga mati.
Tapi dalam kehidupan sehari-harinya prilakunya tidak pancasalais. Misalnya menghardik yang lebih tua,memaki-makin yang lebih muda dan tidak memiliki adab, etika dan sopan santun dalam pergaulan dan bermasyarakat.
Dalam kehidupan Bugis Makassar, Mandar, Toraja, Kaili, dan Jawa sangat kental nilai-nilai pancasila itu dijunjung tinggi. Prilaku masyarakatnya yang penuh etika, adab, saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Contoh ketika berjalan dalam suatu ruangan, dan melewati orang lain pasti berucap “Tabe” sambil menjulurkan tangannya kedepan dan membungkukkan badannya.
Tapi apakah tata krama seperti itu masih dimiliki dan tertanam dalam prilaku dan pergaulan anak-anak kita kekinian?
Apalagi dengan hadirnya media sosial yang tanpa batas pengaruhinya bagi kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita. Olehnya pendidikan nilai-nilai pancasila itu perlu ditanamkan dalam diri kita dan anak cucu kita. Tapi bukan sekedar dihafalkan. Namun menjadi karakter. ***