Antasena (deadline-news.com)-Jakarta-Direktur Riset dan Program Lembaga Riset dan Konsultansi Politik ALGORITMA Fajar Nursahid menyampaikan bahwa proyeksi angka elektoral untuk figur calon presiden dan calon wakil presiden (capres & cawapres) cenderung tidak banyak berubah pascapenetapan partai politik peserta pemilu pada Desember lalu.
Dalam keterangan pers lembaga riset tersebut yang diterima Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Rabu (25/1/2023) menyebutkan, beriringan angka-angka elektoral tersebut masih dibayang-bayangi oleh potensi resistensi elektoral dari calon pemilih baik terhadap figur capres & cawapres maupun kepada partai politik.
Hal tersebut diungkapkan oleh Fajar merujuk pada survei nasional yang baru saja dirilis oleh lembaganya tersebut.
Pada survei nasional yang dilakukan ALGORITMA Research and Consulting ini tiga nama masih konsisten menempati posisi elektoral tertinggi yaitu secara berurutan untuk capres adalah Ganjar Pranowo (25,1%), Anies Baswedan (18,7%) serta Prabowo Subianto (16,6 %). Ketiga nama tersebut memimpin bursa elektoral.
“Jarak dengan nama-nama di urutan bawahnya cukup besar. Yang terdekat adalah Ridwan Kamil di angka elektoral 7,2% poin serta Sandiaga Salahudin Uno dan Agus Harimurti Yudhoyono dengan angka sama 2,3% poin. Namun ada tingkat volatilitas kemungkinan berubah pilihan yang cukup signifikan terkonfirmasi pada nama-nama yang memuncaki elektabilitas, sehingga dinamika persaingan masih akan sangat terbuka,” terang Fajar.
Sementara untuk cawapres ada empat nama yang memiliki peluang elektoral yang besar yaitu Ridwan Kamil (11,8%), Sandiaga Uno (7,4%), Erick Thohir (6%), serta Agus Harimurti Yudhoyono (5,6%%).
Survei juga memuat simulasi nama-nama bakal calon Presiden yang dibuat berhadapan secara “head to head” –baik secara nama tunggal maupun berpasang-pasangan.
Berdasarkan simulasi tiga nama tunggal, jika pemilu menyisakan tiga nama (Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan), elektabilitas Ganjar Pranowo adalah 33%; unggul atas Anies Baswedan (26,8%) dan Prabowo Subianto (24,1%). kendati demikian, masih terdapat sekitar 15% masyarakat yang belum terbuka dengan pilihannya.
Dari skenario simulasi berpasangan tiga atau dua pasang calon, nampak determinasi Ganjar Pranowo relatif kuat berpeluang memenangi pasangan kandidat lain.
Namun demikian, terdapat temuan menarik dimana elektabilitas Ganjar justru akan turun ketika dipasangkan dengan Puan Maharani.
Tidak hanya jika berpasangan dengan Ganjar, tokoh-tokoh yang lain juga akan mengalami “defisit” elektoral jika dipasangkan dengan sosok politisi dari PDI-P ini.
Hal ini berkaitan dengan tingginya resistensi Puan Maharani dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Ini penting bagi PDI-P dalam menentukan calon presiden yang akan didukungnya secara tepat dalam kompetisi elektroal Capres/Cawapres di Pemilu 2024 yang akan datang.
“Dalam survei ini selain level elektabilitas tokoh dalam bursa capres/cawapres, kami secara khusus mengukur level resistensi publik terhadap tiap tokoh yang namanya muncul di bursa capres. Kami menyampaikan pertanyaan siapakah yang paling tidak akan dipilih sebagai presiden dan mendapatkan temuan menarik,” ujar Fajar.
Secara berurutan tokoh dengan resistensi publik tertinggi untuk posisi capres adalah Puan Maharani (18,6%), Prabowo Subianto (4,8%), Anies Baswedan (3,7%), Agus Harimurti Yudhoyono (3,3%), Erick Thohir (2,8%), Zulkifli Hasan (2%), serta Ganjar Pranowo (1,2%).
Gambaran level resistensi ini menjadi angin segar bagi demokrasi Indonesia yang selama ini dipenuhi kekhawatiran akan keterbelahan masyarakat karena urusan pilihan politik dalam Pemilu.
Nama-nama yang memuncaki bursa capres maupun cawapres ternyata tidak memiliki level resistensi yang terlalu tinggi dari masyarakat.
Jadi sekalipun misalnya pendukung Ganjar, Anies maupun Prabowo belum tentu saling melimpahkan dukungan, setidaknya level resistensinya tidak mengkhawatirkan,” jelas Fajar.
Proyeksi Bursa Elektoral Partai
PDIP masih memuncaki kompetisi elektoral dengan raihan sebesar 22,1%, diikuti oleh Partai Gerindra (12,2%), Partai Nasdem (7,9%) dan Golkar (7,6%).
Pada umumnya partai-partai yang saat ini memiliki kursi di parlemen seperti PKB, Demokrat, PKS diperkirakan lolos ambang batas parlemen karena mendapat raihan suara di atas 4%.
Namun PPP dan PAN berpotensi rawan tidak lolos ke parlemen. Sementara itu, peluang partai-partai baru dalam kompetisi elektoral tidak cukup menjanjikan.
Berikut ini adalah level elektoral partai dari yang terbesar yaitu; PDIP (22,1%), Gerindra (12,2%), Nasdem (7,9%), Golkar (7,6%), PKB (6,8%), Demokrat (5,3 %), PKS (4,2%), PPP (2,2%), PAN (1,9%), Perindo (1,6%), Partai Buruh (0,8%), PBB (0,5%), Partai Gelora (0,4%), PSI (0,2%), Partai Hanura (0,2%).
Di luar itu 1,4% responden menyatakan tidak akan memilih (golput), 15,1% merahasiakan pilihannya dan 9,7% tidak menjawab.
Pada saat survei dilakukan Partai Ummat belum dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2024 sehingga namanya belum masuk ke dalam survei.
Fajar menuturkan bahwa pemilih cukup rasional karena menimbang program kerja (43%) sebagai pertimbangan utama dalam memilih partai politik.
Selain itu, calon presiden yang diusung (18%) juga menjadi alasan yang ditimbang oleh pemilih.
Hal ini memungkinkan terjadinya “efek ekor jas” dalam Pemilu 2024 nanti, dimana Capres yang diusung berdampak terhadap raihan elektoral partai politik.
Hasil survei menunjukkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi partai politik baru karena peta politik sudah jenuh.
Partai lama relatif dominan menjadi pilihan masyarakat (65%), hanya sedikit (8%) masyarakat yang menimbang akan memilih partai baru.
Dengan demikian, kehadiran partai baru tidak cukup punya peluang dalam dinamika kontestasi elektoral.
Selain memiliki elektabilitas, partai-partai politik juga memilliki resistensi. Tingkat resistensi yang dimiliki partai menjadi gambaran, partai yang memiliki elektabilitas tinggi juga menghadapi tingkat penolakan dari mereka yang bukan pemilih partai tersebut.
Hal ini ditunjukkan, PDIP sebagai contoh, memiliki resistensi sebesar 17% di luar pemilihnya. Demikian pula dengan beberapa partai lain seperti PKS, resistensi publik di luar pemilihnya ada sebesar 4,5%. Sementara PSI memiliki resistensi sebesar 5,5%.
Faktor Jokowi
Direktur Eksekutif ALGORITMA reseacrh & Consulting Aditya Perdana di tempat yang sama menjelaskan bahwa menjelang tahun-tahun terakhir pemerintahannya, pamor Presiden Joko Widodo (Jokowi) cenderung meredup.
Baik pendukung maupun non pendukungnya cenderung menolak isu-isu politik yang selama ini dikaitkan dengan kepentingan politik Jokowi pasca mengakhiri jabatan presidennya.
“Isu perpanjangan masa jabatan presiden, tiga periode presiden, sampai pada perlunya Jokowi membentuk partai politik cenderung kurang disambut positif, baik oleh pendukungnya maupun non pendukungnya. Selain itu, pengaruh Jokowi terhadap pilihan Capres di 2024 juga tidak serta merta akan memberikan insentif elektoral bagi capres yang diusungnya. Kami rasa temuan ini bisa jadi masukan berharga untuk Bapak Presiden dalam menentukan langkah-langkahnya baik dari sisi tugas kepresidenan maupun langkah politiknya,” terang Aditya.
Khusus terkait dengan wacana penundaan pemilu dan/atau perpanjangan masa jabatan presiden yang digulirkan sekelompok elit politik, masyarakat merespon negatif baik wacana penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan Presiden. Sebanyak 76% masyarakat tidak setuju jika pemilu ditunda, sedangkan yang menyatakan ketidaksetujuannya jika masa jabatan presiden diperpanjang ada sebanyak 66%.
“Penyikapan masyarakat yang cenderung tidak setuju tersebut dikemukakan relatif merata, baik oleh pendukung maupun non pendukung Jokowi. Penolakan yang merata tersebut menggambarkan bahwa publik menginginkan Pemilu 2024 berjalan seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” tambah Aditya.
Kepuasan terhadap Kinerja Pemerintahan Jokowi – Ma’ruf
Hasil survei menunjukkan, secara umum masyarakat puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi- Ma’ruf. Tingkat kepuasannya berada di angka yang relatif moderat (61%).
Terdapat kecenderungan penilaian kepuasan terhadap kinerja pemerintah masih dipengaruhi oleh sikap partisan (partisanship):
pendukung Jokowi lebih mengapresiasi kinerja pemerintah (ditunjukkan oleh 78% responden yang puas) dibandingkan yang bukan pemilih Jokowi (38%).
Kondisi penyelenggaraan pemerintahan seperti menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan dan penyediaan infrastruktur dipersepsi relatif baik oleh masyarakat, dengan tingkat kepuasan di atas 70%.
Sementara itu, pendapat masyarakat terkait penyediaan jaminan berpendapat dan peningkatan kesejahteraan sosial relatif moderat (60%).
Terkait hal ini, penting dicatat bahwa pemberantasan korupsi, penguatan kondisi ekonomi dan penegakan hukum merupakan aspek penyelenggaraan pemerintahan dengan tingkat penilaian ketidakpuasan tertinggi dibandingkan lainnya.
Pembangunan infrastruktur merupakan program yang dianggap paling berhasil di mata masyarakat. Sebaliknya, program perekonomian (seperti KUR dan penanganan UMKM) dinilai sebagai program yang tidak berhasil atau gagal.
Pada saat yang sama, penyelenggaraan bantuan sosial oleh pemerintah dinilai berhasil sekaligus gagal oleh masyarakat.
Hal ini terkait dengan polarisasi masyarakat penerima bantuan dan non-penerima bantuan, yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat di antara kedua kelompok masyarakat tersebut.
Masyarakat relatif yakin (63%) kinerja pemerintahan Jokowi dalam sisa periodenya dua tahun ke depan dapat lebih baik lagi. Keyakinan masyarakat terkonfirmasi baik pada pemilih Jokowi- Ma’ruf (76%) maupun pemilih Prabowo-Sandiaga (51%).
Survei ALGORITMA dilakukan melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terhadap 1.214 responden di seluruh Indonesia terbagi secara proporsional berdasarkan data pemilih di seluruh Indonesia.
Hasil survei mewakili penduduk usia dewasa (usia pilih) secara nasional. Margin of error diperkirakan +/- 3% pada tingkat kepercayaan 95%. Pengumpulan data dilakukan pada 19 s/d 30 Januari 2023, yang dilakukan oleh 66 orang enumerator. (Sumber SMSI Pusat).***